Rabu, 10 Juni 2015

Menubuhkan, bukan Menumbuhkan Pancasila

Menubuhkan, bukan Menumbuhkan Pancasila

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
To be playful and serious at the same time is possible, and it defines the ideal mental condition (John Dewey).

ADA banyak harapan dan keinginan dari para petinggi negara saat ini untuk menjadikan ingatan kolektif masyarakat-bangsa tertuju pada Pancasila sebagai ideologi negara. Kampanye dan sosialisasi, baik melalui workshop maupun seminar, mulai lagi orang bicarakan terkait dengan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang pas dan dapat menaungi seluruh masyarakat Indonesia yang sarat dengan keragaman etnik, tradisi, budaya, dan agama. Akan tetapi, pertanyaan mendasarnya ialah bagaimana strategi pendidikan kita dalam merancang dan melakukan proses ideologisasi Pancasila ini dalam proses belajar-mengajar di sekolahsekolah?

Seperti kutipan John Dewey di atas, saya kira akan sangat pas jika pengenalan Pancasila sebagai dasar negara dapat dilakukan kepada para siswa melalui medium afeksi. Caranya? Dengan menyisipkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam seluruh mata ajar di sekolah. Model semacam ini akan sangat mungkin lebih efektif karena Pancasila pernah gagal ketika disajikan sebagai mata ajar di era Orde Baru. Yang diperlukan saat ini ialah melatih pemahaman guru-guru secara benar tentang Pancasila, dengan cara meningkatkan keterampilan pedagogis mereka dalam mengajar.

Mengapa Pancasila harus ditubuhkan ke dalam semua mata ajar yang ada di sekolah? Ada beberapa contoh yang bisa dikemukakan di sini. Misalnya, meskipun sila ketiga menggambarkan perlu dan pentingnya ‘persatuan Indonesia’, beban bahasa yang disandangnya terlalu berorientasi pada heroisme. Tak secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia merupakan ragam budaya, tradisi, bahasa, dan adat istiadat. Lagi, meskipun ada kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika’ di bawah kaki garuda, dalam praktik bersekolah yang ada hanya kesemuan pemahaman tentang keragaman karena kebijakan pendidikan tidak pro pada keragaman, melainkan pro pada keseragaman.

Lihatlah seragam sekolah, seragam kurikulum, seragam pengawasan, hingga seragam warna sekolah. Hampir tak ada lagi sekolah yang dihuni ragam etnik seperi dulu; Melayu, Tiongkok, India, Arab, hingga keturunan Portugis. Orang Tionghoa, Arab, dan India sekarang ini secara eksklusif memiliki sekolah untuk lingkungan masing-masing. Mereka seperti enggan untuk singgah di sekolah dasar milik negara yang sepenuhnya dimiliki negara, bukan milik masyarakat sekitar. Anak-anak Tionghoa, India, dan Arab lebih senang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang mereka dirikan sendiri meski jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggal mereka.

Kesalahan dalam mengenalkan Pancasila sebagai ideologi bernegara yang tertutup telah dilakukan Orde Baru. Karena takut dibilang tak reformis dan cenderung menghindari kata Pancasila secara terbuka dalam muatan kurikulum, otoritas pendidikan kita menggantinya dengan PPKN atau pendidikan kewarganegaraan. Karena itu, kita terus khawatir, sebagai ideologi yang seharusnya terbuka dan anak kandung semua bangsa, Pancasila akhirnya seperti musuh dalam selimut yang tak harus diajarkan secara terbuka. Pancasila hanya sekumpulan teks yang harus dihafal para siswa ketika upacara, tanpa tafsir yang jitu ke dalam tubuh semua mata ajar yang ada.

Fakta keragaman

Dalam terminologi pendidikan modern, penting ditimbang untuk memasukkan nilai-nilai Pancasila sebagai substansi lintas kurikulum. Cross-curricular approach, dengan demikian, harus lebih berani diskemakan dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Mengapa cross-curricular approach nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi proses pengembangan kepribadian berbangsa dan bernegara?

Pertama, hampir semua bidang studi atau mata ajar di sekolah seperti sains, ilmu sosial, seni, bahasa, dan olahraga pada dasarnya memiliki karakteristik hibrida. Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa semua mata ajar dan pokok bahasan yang ada dan diajarkan akan dapat disisipi nilai-nilai Pancasila. Dalam bahasa Kirk (1997), mata ajar dan pokok-pokok bahasan yang enggan menyusupi ideide baru yang ada manfaatnya bagi pengembangan budaya damai dan pengembangan kepribadian berbangsa dan bernegara pasti akan cenderung ditinggalkan dan menghilang. “Courses and subjects that fail to reinvent themselves in the face of new circumstances are liable to decline or disappear.“

Kedua, fakta bahwa keragaman (budaya, agama, perilaku, tradisi, dsb) ialah sesuatu yang hakiki di masyarakat mana pun sehingga konflik menjadi persoalan keseharian yang dihadapi masyarakat mana pun di muka bumi ini. Apakah kondisi masyarakat tersebut harmonis maupun homogen, kebutuhan untuk saling memberi solusi melalui nilai-nilai yang sesuai dengan kondisi budaya, tradisi, agama, dan perilaku tertentu ialah sebuah keniscayaan (Jephcote & Davies, 2007). Karena itu, mempelajari nilai-nilai Pancasila dalam rangka menumbuhkan semangat keragaman dalam kesatuan merupakan salah satu kebutuhan sekolah.

Dennis Sale dalam Creative Teaching: An Evidence-Based Approach (2015) juga memperkenalkan pendekatan integratif antara tujuan dan desain belajar yang harus memiliki sinergi yang kuat. Karena itu, ada baiknya skema lain dalam menubuhkan nilainilai Pancasila juga dengan mencoba mengintegrasikan proses pembelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan ke dalam satu paket dan rangkaian yang dapat menimbulkan perasaan kebangsaan yang semakin dewasa.

Salah satu makna penting pengintegrasian pengajaran agama dan kewarganegaraan ke dalam satu paket ialah dalam rangka menumbuhkan semangat toleransi dan kebersamaan siswa sebagai anak bangsa Indonesia. Meskipun Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, pengajaran agama dan kewarganegaraan diharapkan dapat meredam semangat tirani mayoritas yang cenderung melegalkan dan menganggap segala sesuatunya sebagai milik mayoritas.Dengan demikian, pengajaran agama dan kewarganegaraan berpotensi untuk menjadikan siswa kita sebagai warga negara yang baik (good citizenship).

Prinsip-prinsip good citizenship yang diambil dari proses pengajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan juga akan membuat siswa lebih aktif terlibat dalam proses politik secara sehat karena basis pengetahuan mereka secara agamais dan ketatanegaraan pasti akan lebih baik. Pengintegrasian tersebut juga diharapkan akan mampu mendorong sikap-sikap siswa yang lebih toleran dalam rangka membantu penguatan sistem demokrasi yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia (Elizabeth Theiss-Morse and John R Hibbing: Citizenship and Civic Engagement, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar