Rabu, 10 Juni 2015

Laporan Harta Kekayaan

Laporan Harta Kekayaan

Hifdzil Alim  ;   Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 06 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
KABARESKRIM Mabes Polri disebutkan menyampaikan ke media massa yang pada intinya tidak perlu melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Menurutnya, tak ada pidana yang mengancam bila tak melaporkan kekayaannya. Namun belakangan ia membantah disebut menolak melaporkan. Ia merasa pernyataannya mengenai hal itu diputarbalikkan oleh media (kompas. com, 2/6/25). Terlepas dari pernyataannya itu, secara umum apakah penyelenggara negara boleh tak melaporkan harta kekayaannya karena tidak ada ancaman hukumannya? Bagaimana seharusnya negara mengatur kebijakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)? Ternyata hukum mengatur tiap pejabat negara harus melaporkan. Pasal 5 Angka 3 Nomor UU 28 Tahun 1999 memerintahkan, ’’Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.” Bahkan kewajiban pelaporan ini disambut oleh Pasal 17 dengan cara menugaskan sebuah komisi pemeriksa supaya melakukan cek dan ricek atas kekayaan itu.

Masih dalam undang-undang yang sama, Pasal 20 Ayat (1) mengingatkan, penyelenggara negara yang tak melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat dikenakan sanksi administratif. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk menyampaikan LHKPN. Tanpa terkecuali, dan kewajiban itu juga memuat sanksi. Sayang, hukuman yang dipatri cuma administratif. Namun bukan hal ini yang menguatkan diaturnya perihal LHKPN.

Dalam filosofinya, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dibentuk karena pengalaman buruk atas kemerebakan korupsi oleh rezim dan pelaku kekuasaan. Korupsi tidak saja dilakukan oleh penyelenggara negara secara individu atau berkelompok namun juga pejabat negara dengan kroninya, pelaku ekonomi, pengusaha, dan kekuatan politik. Korupsi merusak sendi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menghilangkan keberadaan negara.

Atas kemasifan serangan korupsi, negara harus turun tangan menangani. Tugas negara mengikutsertakan masyarakat. Undang-undang memberi porsi lebih banyak bagi publik dalam pengawasan, khususnya jaminan keamanan bagi pelapor dugaan korupsi. Negara sudah mulai sadar dari tidur panjang akibat buaian kenikmataan semu korupsi. Sebelum eksistensi negara terjun bebas, cepat-cepat negara terbangun dan memerintah semua penyelenggara negara untuk bersih-bersih. Untuk perilaku kotor yang bersifat administratif, diberlakukan sanksi administratif. Perilaku pidana, dikenakan sanksi pidana.
Pertanyaannya, kenapa tidak diberlakukan ancaman pidana saja untuk semua perilaku kotor administratif? Negara masih welas lan asih. Mungkin akan terjadi “ledakan” amarah hebat apabila penyelenggara negara langsung dipaksa bersih. Mengingat kebiasaan buruk selama ini yang dipicu oleh rezim dan penguasa.

Bersikap Antikorupsi

Mesti ada langkah gradual dalam mengkreasi semua penyelenggara negara supaya bersikap antikorupsi. Setidaknya, pertama; dipaparkan semua hukum yang melarang korupsi. Kedua; dibuat kebijakan pencegahan sebagai peringatan awal. Ketiga; dipaksakan ancaman hukuman berat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Setiap fase memuat masing-masing kebijakan.

Pelaporan LHKPN adalah salah satu kebijakan yang ada di fase preventif, bersama dengan kebijakan melaporkan aktivitas penyelenggara negara secara berkala. Mengingat bagian dari kebijakan preventif maka cukuplah kala itu ancaman hukuman tidak menyampaikan LHKPN dibuat setingkat hukuman administratif, bukan pidana. Maknanya bukan karena tidak berisi sanksi pidana kemudian pelaporan LHKPN jadi tak penting. Justru laporan itu sangat penting. Logikanya, bila pejabat negara mengirimkan LHKPN dengan jujur , ia sudah memulai usaha untuk tak korupsi. Jika tidak melaporkan, probabilitas bersikap tidak transparan lebih besar.

Bila saat ini ada penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN karena berpendapat tak ada sanksi pidananya maka sebaiknya kebijakan LHKPN diubah saja ke fase ultimum remedium. Perlu merevisi UU Nomor 28 Tahun 1999. Tiap penyelenggara negara yang tidak menyampaikan daftar harta kekayaannya diancam hukuman penjara dan denda, bukan lagi teguran tertulis. Tapi saya kira bakal banyak penolakan dengan kebijakan demikian. Maka dari itu, sementara, biarlah kebijakan LHKPN ini seperti itu adanya.

Penyelenggara negara, sebagai anutan rakyat, harus memberi contoh baik. Apalagi jika pejabatnya sederhana, tentu tak sulit menyampaikan LHKPN-nya bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar