Melampaui Dana Aspirasi
Paulinus Yan Olla ; Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
|
KOMPAS, 22 Juni 2015
Wacana tentang dana
aspirasi kembali menjadi buah bibir masyarakat. Usulan program pembangunan
daerah pemilihan Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota DPR dipertanyakan
efektivitas dan manfaatnya bagi rakyat. Alih-alih mewujudkan kesejahteraan
rakyat, banyak kalangan melihatnya sebagai pemicu korupsi baru wakil rakyat
(Kompas, 16/6/2015).
Menyerap aspirasi
sejatinya merupakan kerja batin. Para wakil rakyat seharusnya lebih banyak
menjalin batin dengan rakyat untuk memahami kenyataan hidup rakyat.
Meminjam ide teolog
dan pembela rakyat miskin, Jon Sobrino, langkah awal yang harus ditempuh
dalam memperjuangkan mereka yang terlupakan (baca: rakyat miskin) adalah
"kejujuran terhadap kenyataan" (Jon Sobrino, 1988). Maksudnya
adalah perjumpaan para pembela kaum kecil dengan penderitaan, keputusasaan,
dan "kematian" konkret yang dialami rakyat.
Maka, titik tolak
perjuangan para wakil rakyat dalam menyerap kebutuhan dasar rakyat bukanlah
dana, melainkan suatu kerja rohani untuk mencerna segala yang membelenggu
hidup rakyat dan memperjuangkan solusinya lewat lembaga eksekutif.
Sebelum sebuah
aspirasi menjadi keputusan publik, akar aspirasi dibangun dari empati wakil
rakyat pada penderitaan, kegelapan, dan kegelisahan hidup keseharian rakyat
biasa. Empati itu selanjutnya mendorong pertobatan intelektual dan komitmen
untuk membela kepentingan rakyat (Todd Walatka, 2013).
Maka, transformasi
realitas rakyat pertama-tama lahir dari pertobatan intelektual wakil rakyat
karena dari dalam batinnya mereka memperjuangkan apa yang mereka alami
bersama rakyat. Di sana ada solidaritas sosial- religius. Pertobatan
intelektual itu berbasis pengalaman ikut merasa tersakiti oleh realitas yang
mendesak rakyat kecil ke tepi kemiskinan. Mereka tersentuh kesalahan
putusan-putusan yang tidak memihak rakyat.
Aspirasi rakyat yang
akhirnya diusung para wakil rakyat jauh melampaui sekadar urusan dana dan
lebih merupakan perjuangan "kemartiran": mengadakan transformasi
melalui fungsi- fungsi pokok parlemen. Aspirasi itu diperjuangkan menjadi
keputusan publik tanpa menjadikan wakil rakyat sinterklas (baca: tukang bagi
hadiah). Ia mengalir dari dalam batin wakil rakyat sebagai sebuah pengambilan
posisi politik radikal berpihak pada rakyat yang menjadi korban.
Para wakil rakyat
seharusnya mengambil jalan transformasi kenyataan melalui pengawasan agar
anggaran pembangunan memihak seluruh rakyat di negeri ini, bukan hanya
kepentingan sektarian kedaerahan. Perubahan bisa dilakukan melalui produksi
legislasi yang memberikan rasa adil kepada rakyat kecil. Yang paling
esensial, aspirasi rakyat diperjuangkan wakil rakyat dengan tidak ikut ambil
bagian dalam membunuh harapan-harapan rakyat melalui korupsi.
Salah satu
kekhawatiran utama dalam jebakan dana aspirasi adalah bakal makin jauhnya
disparitas antardaerah dan rusaknya dana perimbangan melalui penggelontoran
dana aspirasi. DPR yang seharusnya menjadi representasi kepentingan nasional
digiring hanya menjadi corong pembangunan di daerah pemilihannya (Kompas,
16/6/2015).
Kekhawatiran di atas sangat beralasan karena
negeri ini masih tertatih mendefinisikan diri dalam menyeimbangkan antara
prinsip-prinsip "otonomi" dan prinsip
"subsidiaritas" dalam
kerangka negara kesatuan RI.
Prinsip otonomi
Dalam prinsip otonomi,
instansi yang lebih rendah (baca: pemerintahan daerah) diberi keleluasaan
mengurus diri sendiri. Sedangkan hakikat prinsip subsidiaritas adalah
pengendalian diri instansi yang lebih tinggi (baca: pemerintahan pusat) untuk
tidak mengambil alih tanggung jawab instansi yang lebih rendah. Namun,
institusi yang lebih tinggi bertanggung jawab menolong instansi yang lebih
rendah mencapai kemandirian.
Kegagalan
menyeimbangkan prinsip-prinsip sosial dalam tata kelola pemerintahan memicu
munculnya peraturan daerah yang bertentangan dengan UUD 1945 dan kepala
daerah yang bertindak seakan raja-raja kecil.
Otonomi yang
dimaksudkan bisa memberi diskresi untuk menyejahterakan daerah, dalam
perjalanannya dibajak dan disalahgunakan elite politik yang mengusung
sektarian kedaerahan untuk keuntungan pribadi.
Selain kekhawatiran di
atas, lama dicatat pula, parlemen, terutama DPRD, merupakan lembaga dengan
indikator kinerja paling buruk (Ignas Kleden, 2014). Maka. di tingkat
nasional, banyak pihak mengusulkan agar DPR sebaiknya meningkatkan kinerja
dengan memaksimalkan fungsi-fungsi pokok dibandingkan memboroskan energi
mengurus dana aspirasi. Kenyataannya, banyak negara maju dicekam jebakan
fiskal utang yang membengkak dan Indonesia menghadapi mislokasi fiskal akut.
Dana aspirasi dikhawatirkan melanggengkan mislokasi fiskal itu dan aspirasi
DPR memperjuangkan kesejahteraan rakyat malahan makin sulit terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar