Kamis, 18 Juni 2015

Islam Nusantara untuk Dunia

Laporan Diskusi Kompas-NU (3)

Islam Nusantara untuk Dunia
KOMPAS, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Islam Nusantara yang berwajah toleran dan moderat dapat menjadi model yang bisa mengubah pandangan negatif negara-negara Barat terhadap Islam selama ini. Oleh karena itu, Islam Nusantara yang lentur dengan budaya lokal perlu lebih dikenalkan ke dunia internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa sering mengundang cendekiawan Muslim Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang Islam yang berkembang di Indonesia atau Islam Nusantara yang wajahnya sama dengan Islam washatiyyah, yaitu Islam yang ada di tengah, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya.

Mereka kagum bagaimana Islam di Indonesia dapat hidup rukun dengan agama lain dan berakulturasi dengan budaya lokal. Terlebih, bagaimana Islam di Indonesia bisa berdampingan dengan demokrasi.

Selama ini agak sulit menemukan model demokrasi di dunia Muslim. "Arab Spring" yang dimulai 2011 sempat memberikan harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab. Namun, yang kemudian terjadi adalah kekacauan dan kembalinya rezim militer ke pusat kekuasaan.

Kondisi ini membuat Indonesia menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi. Indonesia telah memberikan contoh bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi.

Kehadiran Islam Nusantara sebagai model makin dibutuhkan menyusul berkembangnya paham radikal dan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam seperti yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Boko Haram di Nigeria.

Namun, karena pengaruh peradaban dan geopolitik dunia Islam masih didominasi Timur Tengah, yang terjadi di Timur Tengah masih sering dianggap sebagai representasi dari Islam. Sebagian besar masyarakat Barat belum mengetahui Islam Nusantara.

Di benak mayoritas masyarakat Barat, Islam adalah apa yang selama ini terefleksi di Timur Tengah. Kehadiran kelompok seperti NIIS makin memperburuk citra Islam.

Namun, masyarakat Barat tetap meyakini, wajah Islam yang sering diperlihatkan para teroris dan gerakan radikal bukanlah Islam yang sebenarnya. Mereka hanya menggunakan Islam untuk kepentingan politik sesaat sehingga dilihat sebagai Islam politik yang tidak didasarkan pada asas-asas agama.

Hegemoni Islam politik harus diganti dengan Islam yang ditopang oleh nilai-nilai agama, yang berwajah toleran dan menciptakan perdamaian. Dengan pertimbangan ini, Islam Nusantara ini harus lebih dikenalkan ke masyarakat Eropa sehingga mereka bisa memahami wajah Islam yang sebenarnya.

Poros

Selama ini, ada sejumlah penyebab Islam Nusantara belum banyak dikenal masyarakat Barat. Hal itu antara lain karena selama Orde Baru, pemerintah cenderung menutup diri dalam hal keagamaan. Rezim Orde Baru juga cenderung kurang memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan pilar dari Islam Nusantara.

Padahal, Indonesia sejatinya memiliki modal yang cukup untuk menyebarluaskan Islam Nusantara sekaligus menjadi poros utama dunia Islam.

Hal itu karena di Indonesia terdapat hampir 200 juta orang yang beragama Islam. Jauh lebih besar dibandingkan dengan Mesir yang memiliki sekitar 80 juta penduduk atau Arab Saudi yang dihuni sekitar 26,5 juta orang. Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Secara psikologis, Islam Indonesia juga tidak terbebani oleh ironi dan tragedi sejarah seperti yang dialami masyarakat Muslim di Timur Tengah.

Kini, Indonesia harus lebih proaktif menyebarkan Islam Nusantara ke dunia internasional agar pengaruhnya bisa semakin cepat. Guna melakukan hal itu, perlu penguatan jaringan Islam washatiyyah, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Penguatan jaringan ini berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan Islam Nusantara dapat memiliki jaringan yang padu secara internal dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi masyarakat sipil di dunia Muslim ataupun lingkungan internasional yang lebih luas. Dengan demikian, Islam washatiyyah di Indonesia dapat menjadi gerakan yang memiliki dimensi internasional.

Kementerian Luar Negeri dapat bekerja sama dengan Kementerian Agama dan ormas Islam untuk memperluas ekspose Islam Nusantara ke dunia internasional. Ini karena ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak bisa sendirian mengenalkan Islam Nusantara ke dunia internasional.

Sepanjang 2005-2009, Indonesia dengan Islam Nusantaranya pernah sangat aktif memainkan peran sebagai penengah dan pendamai konflik-konflik yang terjadi di negara lain. Saat itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia bekerja sama dengan ormas Islam dan sejumlah tokoh Islam Indonesia mengambil inisiatif dalam sejumlah pertemuan antar-agama dan antar-peradaban yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Pada periode itu, Indonesia juga pernah mengundang pimpinan Hamas dan Fatah serta pimpinan Muslim Thailand selatan (Patani) dalam usaha menyelesaikan konflik di antara pihak-pihak yang bertikai.

Ini selaras dengan amanat konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan Indonesia harus berperan aktif dalam turut membangun perdamaian dunia. Tugas mulia ini terletak di pundak pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia. ●  (M Fajar Marta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar