Laporan Diskusi Kompas-NU (3)
Islam Nusantara untuk Dunia
|
KOMPAS, 17 Juni 2015
Islam Nusantara yang
berwajah toleran dan moderat dapat menjadi model yang bisa mengubah pandangan
negatif negara-negara Barat terhadap Islam selama ini. Oleh karena itu, Islam
Nusantara yang lentur dengan budaya lokal perlu lebih dikenalkan ke dunia
internasional.
Dalam beberapa tahun
terakhir, sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa sering mengundang
cendekiawan Muslim Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang
Islam yang berkembang di Indonesia atau Islam Nusantara yang wajahnya sama
dengan Islam washatiyyah, yaitu Islam yang ada di tengah, tidak berada dalam
kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya.
Mereka kagum bagaimana
Islam di Indonesia dapat hidup rukun dengan agama lain dan berakulturasi
dengan budaya lokal. Terlebih, bagaimana Islam di Indonesia bisa berdampingan
dengan demokrasi.
Selama ini agak sulit
menemukan model demokrasi di dunia Muslim. "Arab Spring" yang
dimulai 2011 sempat memberikan harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab.
Namun, yang kemudian terjadi adalah kekacauan dan kembalinya rezim militer ke
pusat kekuasaan.
Kondisi ini membuat
Indonesia menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan
demokrasi. Indonesia telah memberikan contoh bahwa Islam kompatibel dengan
demokrasi.
Kehadiran Islam
Nusantara sebagai model makin dibutuhkan menyusul berkembangnya paham radikal
dan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam seperti yang dilakukan Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Boko Haram di Nigeria.
Namun, karena pengaruh
peradaban dan geopolitik dunia Islam masih didominasi Timur Tengah, yang
terjadi di Timur Tengah masih sering dianggap sebagai representasi dari
Islam. Sebagian besar masyarakat Barat belum mengetahui Islam Nusantara.
Di benak mayoritas
masyarakat Barat, Islam adalah apa yang selama ini terefleksi di Timur
Tengah. Kehadiran kelompok seperti NIIS makin memperburuk citra Islam.
Namun, masyarakat
Barat tetap meyakini, wajah Islam yang sering diperlihatkan para teroris dan
gerakan radikal bukanlah Islam yang sebenarnya. Mereka hanya menggunakan
Islam untuk kepentingan politik sesaat sehingga dilihat sebagai Islam politik
yang tidak didasarkan pada asas-asas agama.
Hegemoni Islam politik
harus diganti dengan Islam yang ditopang oleh nilai-nilai agama, yang
berwajah toleran dan menciptakan perdamaian. Dengan pertimbangan ini, Islam
Nusantara ini harus lebih dikenalkan ke masyarakat Eropa sehingga mereka bisa
memahami wajah Islam yang sebenarnya.
Poros
Selama ini, ada
sejumlah penyebab Islam Nusantara belum banyak dikenal masyarakat Barat. Hal
itu antara lain karena selama Orde Baru, pemerintah cenderung menutup diri
dalam hal keagamaan. Rezim Orde Baru juga cenderung kurang memberikan
kesempatan kepada ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang
merupakan pilar dari Islam Nusantara.
Padahal, Indonesia
sejatinya memiliki modal yang cukup untuk menyebarluaskan Islam Nusantara
sekaligus menjadi poros utama dunia Islam.
Hal itu karena di
Indonesia terdapat hampir 200 juta orang yang beragama Islam. Jauh lebih
besar dibandingkan dengan Mesir yang memiliki sekitar 80 juta penduduk atau
Arab Saudi yang dihuni sekitar 26,5 juta orang. Indonesia merupakan negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Secara psikologis,
Islam Indonesia juga tidak terbebani oleh ironi dan tragedi sejarah seperti
yang dialami masyarakat Muslim di Timur Tengah.
Kini, Indonesia harus
lebih proaktif menyebarkan Islam Nusantara ke dunia internasional agar
pengaruhnya bisa semakin cepat. Guna melakukan hal itu, perlu penguatan
jaringan Islam washatiyyah, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional.
Penguatan jaringan ini
berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan Islam Nusantara dapat memiliki
jaringan yang padu secara internal dan pada saat yang sama mempunyai hubungan
dengan organisasi masyarakat sipil di dunia Muslim ataupun lingkungan
internasional yang lebih luas. Dengan demikian, Islam washatiyyah di Indonesia dapat menjadi gerakan yang memiliki
dimensi internasional.
Kementerian Luar
Negeri dapat bekerja sama dengan Kementerian Agama dan ormas Islam untuk
memperluas ekspose Islam Nusantara ke dunia internasional. Ini karena ormas
Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak bisa sendirian mengenalkan Islam
Nusantara ke dunia internasional.
Sepanjang 2005-2009,
Indonesia dengan Islam Nusantaranya pernah sangat aktif memainkan peran
sebagai penengah dan pendamai konflik-konflik yang terjadi di negara lain.
Saat itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia bekerja sama dengan ormas Islam
dan sejumlah tokoh Islam Indonesia mengambil inisiatif dalam sejumlah
pertemuan antar-agama dan antar-peradaban yang diselenggarakan di berbagai
belahan dunia. Pada periode itu, Indonesia juga pernah mengundang pimpinan
Hamas dan Fatah serta pimpinan Muslim Thailand selatan (Patani) dalam usaha
menyelesaikan konflik di antara pihak-pihak yang bertikai.
Ini selaras dengan
amanat konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan Indonesia
harus berperan aktif dalam turut membangun perdamaian dunia. Tugas mulia ini
terletak di pundak pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia. ● (M Fajar Marta)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar