Jumat, 12 Juni 2015

Berebut Hormat di Bulan Rahmat

Berebut Hormat di Bulan Rahmat

Akh Muzakki  ;  Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 11 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

WARUNG tutup atau buka selama bulan Ramadan kini menjadi trending topic dalam pembicaraan publik mengenai aktivitas rutin di bulan suci itu. Isu sentralnya dikaitkan dengan bentuk sikap menghormati dan dihormati. Berawal dari cuitan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin di akun Twitter-nya @Lukmansaifuddin, diskusi publik meluas. Materinya mengenai pentingnya orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa.

Inilah cuitan (tweet) awal Menag itu: ’’Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa.’’ Menag lalu menjelaskan dalam rilis resminya yang dikutip media nasional. Menurut dia, apabila ada yang sukarela menutup warungnya, mereka tentu harus dihormati. Tidak boleh saling memaksa. Sebab, muslim yang baik, menurut dia, tidak memaksa orang lain untuk menutup sumber mata pencaharian demi tuntutan menghormati yang sedang berpuasa.

Lebih dari itu, ajakan tidak memaksa menutup warung penting untuk menghormati hak mereka yang tidak wajib berpuasa, termasuk nonmuslim. Juga, lanjut Menag, menghormati hak muslim/muslimah yang tidak sedang berpuasa karena keadaan (musafir, sakit, perempuan haid, hamil, dan menyusui) (Jawa Pos, 10/6/2015).

Cuitan Menag itu memantik reaksi beragam. Bak bola muntah dalam permainan sepak bola, cuitan tersebut lalu disambar politisi Senayan. Beberapa di antara mereka meminta penghormatan dilakukan sebaliknya. Bukan oleh orang yang berpuasa kepada yang tidak berpuasa, melainkan oleh orang yang tidak berpuasa karena alasan apa pun kepada yang berpuasa. Karena itu, dalam pandangan mereka, warung harus ditutup selama bulan Ramadan untuk menghormati kaum yang berpuasa (detik.com, 11/6/2015).

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin lalu memberikan nasihat menarik. ’’Kepada umat Islam yang berpuasa, kita jangan manja. Tidak boleh meminta untuk dihormati. Lebih baik memperkuat keimanan sehingga tidak tergoda. Kalau kebetulan ada yang tidak sadar, tetap buka, tidak usah diserang’’ (Jawa Pos, 10/6/2015).

Kalau kita tarik benang merah dengan perspektif dan meminjam ungkapan Din Syamsuddin tersebut, pernyataan Menag bisa dibaca sebagai ajakan agar umat Islam yang berpuasa tidak bersikap manja. Atas nama puasa, umat Islam lalu terdorong untuk minta dihormati. Bahkan, permintaan untuk dihormati itu dilakukan dengan memaksa.

Pada titik inilah, umat Islam Indonesia penting melihat ’’internal rumah sendiri’’ dari luar. Kata ’’luar’’ di sini menunjuk pada pengalaman masyarakat beragama di negeri yang lain. Lalu, ’’melihat dari luar’’ itu penting dalam rangka memaknai apa yang kita lakukan di negeri ini secara lebih baik.

Mari kita tengok pengalaman hidup sebagai kelompok minoritas di negeri orang. Saya punya pengalaman hampir tujuh tahun hidup di Australia. Tentu, di negeri itu, saya hidup sebagai muslim yang tergolong kelompok minoritas. Saya harus menjalankan ajaran agama yang saya yakini secara kuat di tengah kelompok sosial mayoritas yang bukan penganut Islam.

Setiap menjelang perayaan Natal, sebagai contoh kecil, hampir seluruh ruang publik dikemas rapi untuk menyambut datangnya momen itu. Bahkan, untuk kepentingan kekhidmatan, sehari sebelum Natal tiba, seluruh pertokoan tutup. Demikian pula restoran. Tidak ada minimarket yang buka. Bahkan, mencari pom bensin yang buka dan melayani konsumen sangat susah. Kalaupun ada, itu bisa dibilang satu di antara puluhan.

Pokoknya, publik begitu menikmati momen Natal bersama keluarga. Sebab, mereka juga memiliki tradisi serupa dengan mudik, yakni home return. Berbagai layanan bisnis komersial seperti warung, restoran, minimarket, dan supermarket yang telah tutup sehari sebelum Natal ternyata masih tutup hingga sehari pasca-Natal. Hanya layanan-layanan bisnis komersial berupa pertokoan yang menyelenggarakan acara belanja khusus untuk menyambut boxing day yang mulai buka.

Tentu, bagi individu-individu muslim seperti saya, kondisi tersebut bisa sangat merepotkan. Sebab, hidup menjadi terbatas. Layanan pemenuhan kebutuhan konsumtif tidak lagi bisa ditemui. Ke mana-mana pergi untuk sekadar mencari penjual makan harian di warung atau restoran, sulitnya minta ampun.

Waktu itu, saya membayangkan kondisi serupa terjadi di Indonesia selama Ramadan. Pada pengalaman hidup di Australia, warung atau restoran dan supermarket yang tutup tiga hari selama momen Natal saja bikin repot. Saya lalu tidak bisa membayangkan, alangkah merepotkannya jika warung atau restoran dipaksa ditutup selama sebulan penuh selama Ramadan sehingga tidak bisa melayani mereka yang sedang tidak berpuasa.

Jangankan bagi yang nonmuslim, bagi muslim yang karena alasan tertentu tidak bisa berpuasa (seperti musafir, sakit, haid, hamil, dan menyusui) saja, pemaksaan penutupan itu tentu merepotkan.

Soal pindah jam buka, para pebisnis tidak perlu diajari. Kebutuhan atas makan-minum pasti meningkat pada jam-jam buka puasa. Itu adalah pasar bagi pebisnis. Tetapi, menutup sama sekali secara paksa tentu bukan opsi bagi mereka.

Ramadan memang bulan penuh rahmat. Bulan penuh berkah. Bulan penuh ampunan. Tetapi, memaksa orang menghormati kepentingan kaum yang berpuasa menjauhkan kita dari prinsip rahmat, berkah, dan ampunan tersebut. Karena itu, publik muslim tidak perlu manja dengan berebut penghormatan dari yang lain di tengah syariat Islam yang memperbolehkan individu muslim tidak berpuasa karena alasan tertentu.

Memang, diperlukan edukasi yang baik. Islam mengajarkan, besaran dan kualitas ibadah, antara lain, bergantung pada tingkat kesulitan dan tantangan. Dalam adagium klasiknya, al-ajru ‘ala qadri al-masyaqqah. Maksudnya, tingkat kesulitan dan tantangan yang tinggi semakin meningkatkan derajat dan kualitas ibadah seseorang. Apalagi jika tantangan itu diakomodasi Islam sebagai faktor yang memperkenankan individu tidak berpuasa seperti di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar