Kamis, 18 Juni 2015

Angeline dan Potret Suram Pengasuhan Anak

Angeline dan Potret Suram Pengasuhan Anak

A Helmy Faishal Zaini  ;  Ketua Fraksi PKB DPR; Anggota Komisi X DPR
MEDIA INDONESIA, 16 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ANGELINE, bocah berparas ayu berusia 8 tahun kelahiran Banyuwangi, membuat kita sebagai orangtua melinangkan air mata sekaligus memendam kesedihan yang begitu mendalam.Angeline hadir sebagai potret serta kristalisasi wajah pola pengasuhan anak di Indonesia yang masih sarat dihiasi kekerasan fisik dan psikis.

Angeline ditemukan meninggal dan dikubur di bawah pohon pisang di belakang rumah orangtua angkatnya, Margrieth, di Denpasar, Bali.Sebelum jasadnya ditemukan pada 10 Juni 2015, Angeline dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015.
Ironisnya, hasil autopsi pihak kepolisian menyatakan penyebab kematian Angeline ialah kekerasan atau semacam benturan dengan benda tumpul di kepala. Bahkan, besar kemungkinan jasad Angeline ketika ditemukan sudah terkubur sekitar satu minggu. Hal yang sangat menyedihkan sekaligus menyayat hati.

Apa yang dialami Angeline bukan tidak mungkin dialami banyak anak di Indonesia. Perlakuan yang menjurus ke arah kekerasan kerap melanda anak-anak. Tercatat, berdasarkan data KPAI pada 2014, dari Januari-September, jumlah kekerasan menembus angka 2.726 kasus. Jumlah angka yang sangat fantastis. Karena itu, sangat wajar jika KPAI menetapkan 2014 sebagai tahun darurat kekerasan anak.

Ketika memasuki 2015, wajah kekerasan terhadap anak bukan malah surut, justru sebaliknya, mengalami peningkatan dan pada puncaknya kita dikejutkan dengan kematian Angeline. Lebih ironisnya, kekerasan yang berujung pada kematian siswi kelas 2 SD Sanur itu terjadi di Denpasar, sebuah kota yang belum lama ini dinobatkan sebagai kota layak anak pada 2014 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pertanyaan yang mendesak untuk diajukan kemudian ialah apa yang bisa kita lakukan dalam merespons peristiwa tersebut? Menurut saya, ada dua sudut langkah yang harus ditempuh sebagai upaya untuk meminimalkan dan mengeliminasi semaksimal mungkin perilaku-perilaku kekerasan terhadap anak.

Pertama, mengubah sudut pandang cara mendidik anak. Hal itu penting mengingat masih sangat banyak orangtua yang belum memiliki pemahaman yang mendasar bahwa seorang anak terlahir untuk menjadi dirinya sendiri, tumbuh kembang berdasarkan kecenderungan, bakat, dan ketertarikannya sendiri dalam menjalani kehidupan.

Banyak orangtua yang masih ingin memaksakan keinginan mereka untuk membentuk anak. Keinginan orangtua agar si anak menjadi ini dan itu kerap menyebabkan anak tidak nyaman dan bahkan stres. Pada tahap itu, sesungguhnya kekerasan pada anak sedang dimulai.

Anak yang cenderung tidak nyaman mengikuti keinginan orangtua biasanya melakukan perlawanan dengan dua cara dominan. Pertama, ia diam dan pura-pura mengikuti sembari memendam dendam dan ketidaksukaan terhadap perilaku orangtua. Kedua, ia melawan dengan cara membangkang dan mengabaikan segala anjuran dan perintah orangtua.

Dua perlawanan itu sesungguhnya sama-sama bermuara pada kekerasan terhadap anak dan tentu saja dengan varian dan jenis kekerasan yang berbeda, tetapi memiliki dampak serta bahaya yang sama.

Perlawanan anak dengan cara diam biasanya akan membuat anak bersikap murung dan menjadi pendiam sebagaimana yang terjadi pada Angeline. Adapun perlawanan anak dengan cara membangkang biasanya berujung pada pertengkaran fisik yang bermuara pada tindak kekerasan.

Saya sangat sepakat dengan Kahlil Gibran dalam hal memandang anak. Ia dalam sebuah syairnya mengatakan “anakmu bukanlah anakmu, ia adalah putra-putri kehidupan.“ Ya, sejatinya setiap bayi yang terlahir di muka bumi ini bukanlah anak orangtuanya, dalam arti orangtua tersebut tidak boleh memaksakan keinginan mereka kepada anak.Sebaliknya, bayi yang terlahir di dunia merupakan putriputri kehidupan. Ia berhak dan merdeka untuk menjadi dirinya sendiri.

Besarnya keinginan agar anak menjadi sebagaimana yang diinginkan oleh orangtua itulah yang rupanya membentuk gaya dan cara mendidik yang salah. Anak dianggap nakal jika tidak menuruti keinginan orangtua. Sebaliknya, anak akan dianggap baik jika ia selalu menurut apa saja yang diinginkan orangtuanya.
Lebih jauh mengenai 0 anak tersebut, menurut Emha Ainun Nadjib (2012) hal tersebut bisa dibuktikan dengan argumen bahwa kebudayaan kita sampai hari ini masih menggolongkan jenis anak berdasarkan dua kategori besar, yakni anak nakal dan anak baik. Anak yang patuh dan cenderung pejah gesang nderek oleh kebudayaan kita dianggap sebagai anak baik, sementara anak yang mencoba untuk rasional dan memilih otoritasnya justru disebut sebagai anak nakal.

Padahal, menilai perilaku seorang anak tidak bisa dilakukan dengan kerangka hitam putih sebagaimana yang kerap masih kita lakukan tersebut. Anak yang cenderung selalu nurut belum tentu itu anak baik, sebaliknya anak yang cenderung memiliki daya `perlawanan' tidak bisa dengan begitu saja disimpulkan bahwa ia anak nakal.

Hal kedua yang penting untuk dilakukan ialah memperberat hukuman bagi para pelaku tindak kekerasan. Kematian Angeline merupakan momentum untuk menjadi pintu masuk guna meninjau kembali UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pada UU tersebut, hukuman maksimal yang dikenakan terhadap perilaku kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan kematian ialah denda sebesar Rp200 juta dan penjara maksimal 10 tahun.

Saya sepakat dengan pendapat yang menginginkan agar hukuman yang ditimpakan kepada pelaku kekerasan terhadap anak hingga berakibat pada kematian sang anak ialah hukuman yang setimpal, yakni hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Pasalnya, anak merupakan masa depan bangsa. Membunuh anak sama artinya dengan membunuh masa depan bangsa. Karena itu, pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.

Dua langkah tersebut menurut hemat saya penting dilakukan sebagai wujud nyata atas kepedulian kita terhadap wajah pengasuhan anak di Indonesia. Jika tidak demikian, hampir bisa dipastikan wabah serta virus kekerasan terhadap anak akan menjadi potret tunggal wajah pengasuhan anak di Indonesia. Tentu saja kita semua tidak mau hal itu terjadi kepada anak-anak kita. Wallahu a'lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar