Akankah
Lusi Jadi Penyelamat Lingkungan
Januarti Jaya Ekaputri ; Direktur Konsorsium Riset Geopolimer
Indonesia;
Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya
|
JAWA POS, 30 Mei 2015
SEJAK 29 Mei 2006 sampai saat ini, lumpur
Sidoarjo (Lusi) sepertinya kian terkenal ke penjuru dunia. Setidaknya Lusi
menjadi kata baku di beberapa jurnal ilmiah internasional. Diperkirakan saat
ini volume Lusi telah lebih dari 40,1 juta meter kubik. Berbagai cara
dilakukan untuk mengurangi penumpukan itu, berpacu dengan debit lumpur yang
dimuntahkan dari perut bumi sebesar 20.000–30.000 meter kubik per hari.
Mungkinkah volume Lusi bisa berkurang dengan tidak hanya mengalirkannya ke
Sungai Porong tetapi memanfaatkannya sebagai sesuatu yang lebih bermanfaat? Sudah
banyak penelitian yang mengungkapkan potensi Lusi sebagai bahan pengganti
semen. Akan tetapi, realisasinya sampai saat ini belum tampak.
Saat ini penggalian kapur dan lempung untuk
kepentingan pabrik semen menjadi sorotan pemerhati lingkungan. Industri
tersebut dituding sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim dunia.
Dalam produksinya, industri semen melepaskan gas CO hampir setara dengan
berat semen yang dihasilkan.
Diperkirakan industri semen berkontribusi
sekitar 7–8 persen dari total emisi gas CO dunia. Itu merupakan angka yang
sangat besar dan mengkhawatirkan. Pada kenyataannya, kebutuhan semen terus
meningkat pada industri konstruksi di setiap negara. Secara global, produksi
semen portland pada 2030 bisa mencapai lebih dari 5 miliar ton. Saat ini
Tiongkok dan India adalah negara penghasil semen portland terbesar di dunia.
Di level ASEAN, Indonesia adalah negara penghasil semen terbanyak sejak 2013.
Untuk memproduksi 1 ton semen, diperlukan
tidak kurang dari 2 ton bahan dasar yang utamanya berasal dari kapur dan
tanah liat. Sementara itu, diketahui bahwa kerak bumi mengandung silika
sebanyak 28 persen dan hanya mengandung kapur sebanyak 4 persen. Karena itu,
sebaiknya mulai dipertimbangkan mengalihkan penggunaan kapur ke pemanfaatan
silika sebagai bahan utama semen. Semen yang sama sekali tidak menggunakan
bahan kapur disebut semen geopolimer.
Bahan dasar material yang mengandung silika
dan alumina adalah persyaratan dasar membuat semen geopolimer. Jika pada
semen portland dibutuhkan air yang bereaksi dengan semen untuk mengikat pasir
dan kerikil, pada semen geopolimer dibutuhkan zat alkalis yang yang beraksi
dengan silika dan alumina. Zat itu biasanya menggunakan bahan dasar natrium
atau kalium. Semen geopolimer cepat sekali mengeras dan menyebabkan beton
geopolimer unggul bila dibandingkan dengan beton pada umumnya. Beberapa
kelebihannya adalah kuat tekan tinggi, keawetan terhadap karat, tahan
terhadap kebakaran, dan bisa memerangkap racun.
Salah satu yang paling menarik dan banyak
diperbincangkan adalah pemanfaatan Lusi sebagai bahan pembuatan semen
geopolimer. Penelitian mengenai Lusi bahkan menjadi salah satu daya tarik
melanjutkan studi doktoral di Malaysia. Kandungan Lusi yang kaya akan silika
dan alumina membuat material itu memiliki keunggulan sebagai material dasar
semen geopolimer.
Dengan pengolahan yang tepat, jika digabungkan dengan
limbah batu bara, Lusi ternyata bisa menjadi andalan beton geopolimer.
Kekuatannya jauh lebih unggul daripada semen portland. Selain Lusi, Indonesia
ternyata masih memiliki sumber alumina-silika lainnya. Kita bisa memanfaatkan
tanah lempung, limbah tailing dari pertambangan, dan kaolin yang banyak
tersebar di seluruh tanah air.
Sampai sekarang, material tersebut belum
dipetakan dengan baik.
Saat ini baru sedikit sekali negara yang
berhasil menerapkan teknologi geopolimer dalam industri beton inovatif. Yang
sudah berhasil, antara lain, Australia dan Tiongkok. Di Indonesia penelitian
tentang beton geopolimer sudah dimulai lebih dari satu dekade. Bahkan, sebetulnya
sudah banyak publikasi yang dihasilkan peneliti Indonesia, terutama
pemanfaatan limbah batu bara (fly ash
dan bottom ash) sebagai bahan baku beton geopolimer. Walau demikian,
sayang sekali belum ada hasil penelitian tersebut yang diterapkan dalam skala
industri. Sebab, kurangnya kerja sama antara peneliti di universitas dan
industri pemanfaat hasil penelitian.
Penelitian harus terus dikembangkan sehingga
suatu saat Indonesia harus bisa lepas dari ketergantungan menggali bukit
kapur dan bisa mengaplikasikan semen yang lebih ramah lingkungan. Bayangkan,
jika tailing dari penambangan Freeport bisa menjadi salah satu bahan dasar
semen geopolimer, betapa banyaknya manfaat yang bisa didapatkan masyarakat
Papua. Penelitian, pengembangan, dan aplikasi terus-menerus harus dilakukan
dengan dukungan dari pemerintah, tentu saja.
Didorong keinginan mewujudkan Indonesia yang
merdeka dari semen portland, pada 2013 di Makassar dibentuk sebuah grup riset
yang terdiri atas peneliti geopolimer, profesional, industri semen, dan
industri bahan kimia dengan nama Konsorsium Riset Geopolimer Indonesia
(Korigi). Andalan riset itu adalah pemanfaatan Lusi sebagai bahan semen
geopolimer. Korigi saat ini memiliki 90 anggota yang tersebar di Indonesia,
Malaysia, Jepang, dan Inggris. Meski baru dibentuk, hasil publikasi yang
dihasilkan grup tersebut menunjukkan potensi kerja sama yang kuat antara
industri dan akademisi meskipun belum sampai diaplikasikan dalam skala besar
di lapangan.
Akankah Lusi dan
material sejenis lainnya menjadi salah satu harapan Indonesia untuk
melepaskan ketergantungannya dari semen portland? Itu harus menjadi impian
yang bisa terwujud. Kerja keras, kerja cepat, dan kerja sama, itu kuncinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar