Menanti
Lahirnya ”Kiai Langit”
Ahmad Dimyati ; Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU
(LPP NU);
Anggota Komisi X DPR
|
JAWA POS, 30 Mei 2015
SALAH satu yang menjadi ciri dan landasan
dalam setiap pengambilan keputusan bagi NU adalah kaidah al muhafadzatu alal
qadimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi dan
mengembangkan inovasi). Dengan landasan itu, NU kini berhasil bertransformasi
tanpa tercerabut dari akar tradisionalitasnya sama sekali.
Lebih jauh mengenai tradisionalitas NU, Mitsuo
Nakamura (1996) memiliki tesis menarik. Ia mengatakan bahwa NU adalah
organisasi masyarakat yang tradisionalis radikal. Dalam artian, justru karena
memegang teguh pada tradisinya, NU mempunyai paham serta tindakan mendasar
dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal berpolitik.
Apa yang dikatakan Nakamura tersebut sungguh
benar belaka. NU sejak lahir sampai di usianya yang ke-92 ini mendasarkan
semua langkah dan perjuangan untuk keutuhan bangsa dan negara. Kita bisa
mericek sejarah bahwa riak-riak pemberontakan pada masa penjajahan dimotori
pemuka agama tradisionalis. Peter Carey (2012) juga mencatat, banyak
perlawanan melawan kolonial, baik skala lokal maupun regional, selalu
dimotori pemuka agama tradisionalis.
Pemuka agama tradisionalis itulah yang
di kemudian hari kita sebut dengan kiai.
Ontologi Kiai Sesungguhnya terma kiai adalah
terma yang tidak secara spesifik ditujukan kepada sosok orang yang alim di
bidang agama. Namun, lebih dari itu, sejatinya terma kiai adalah terma yang
digunakan untuk menyebut suatu benda yang mempunyai tuah, nyoni, dan taji.
Terkait kiprah kiai dalam masyarakat, Greetz
(1980) mengatakan bahwa kiai adalah seorang makelar budaya ( cultural
broker). Makelar budaya dalam bahasa yang lebih akomodatif bisa diterjemahkan
ke dalam bingkai ”kaidah” eklektik populer orang Jawa: Jowo digowo, Barat
diruwat, Arab digarap (nilainilai Jawa dipertahankan, nilai-nilai Barat
dibebaskan dari nilai-nilai buruk, dan nilai-nilai Timur Tengah diolah
sedemikian rupa agar sesuai dengan budaya Nusantara).
Dengan kapasitas yang demikian tinggi itulah,
adalah langkah yang sangat arif bahwa sejak sediakala kepemimpinan NU dibagi
menjadi syuriah dan tanfidziah. Syuriah pada konteks kepemimpinan dan nakhoda
organisasi ini dipimpin rais am figur Kiai yang karismatis yang tidak hanya
memiliki laku lampah zuhud. Namun, lebih dari itu, ia juga memiliki marwah
yang tinggi. Dalam tradisi NU, kita menyebut figur kiai seperti itu sebagai
kiai sepuh atau ”kiai langit”.
Jabatan rais am bukanlah jabatan main-main. Ia
juga bukanlah jabatan duniawi. Ia merupakan jabatan yang wingit dan bukan
sekadar kepemimpinan yang bersifat manajerial. Rais am memikul tanggung jawab
dunia-akhirat sepenuhnya. Nama-nama besar seperti KH Hasyim Asyari, KH Abdul
Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ali Ma’shum, KH Achmad Siddiq, KH
Ilyas Ruhiyat, KH Sahal Mahfudh, dan KH A. Mustofa Bisri adalah figur-figur
kiai sepuh nan karismatis yang selama ini telah dipercaya sebagai nakhoda NU.
Dalam jagat NU, syuriah adalah supremasi
tertinggi. Ia adalah ”simbol” organisasi. Pasang surut dan riuh rendah
organisasi ada di pundak syuriah atau rais am. Sementara itu, tanfidziah
lebih kepada fungsi manajerial perdana menteri yang bertugas mengurus
nahdliyin.
Ahlul Halli Wal-Aqdi Dalam posisi syuriah yang
demikian tinggi tersebut, pada hemat saya, rais am harus benar-benar dipegang
orang yang wara’i dan brahmana. Kiai yang sudah mampu melepaskan diri dari
hiruk pikuk duniawi. Oleh karena kita sekarang hidup di masa ”shadaqah li
ajli siyasah”, dalam hemat saya, penerapan mekanisme pemilihan rais am
menggunakan peranti ahlul halli wal-aqdi (ahwa) harus kita realisasikan pada
Muktamar Ke-33 NU mendatang.
Sistem ahwa sesungguhnya pernah diterapkan
pada Muktamar NU sebelum-sebelumnya, termasuk yang paling monumental terjadi
pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Sitobondo. Ketika itu, sistem ahwa
dilakukan dengan cara mendaulat KH As’ad Syamsul Arifin, seorang kiai sepuh
karismatis, sebagai ahwa. Kiai As’ad kemudian menunjuk enam orang kiai
sebagai anggotanya, yakni KH Ali Ma’shum, KH Mahrus Aly, KH Ahmad Siddiq, KH
Masjkur, KH Saifuddin Zuhrin, dan KH Moenasir Ali.
Tujuh kiai tersebut sebagai ahwa akhirnya
memutuskan KH Ahmad Siddiq sebagai rais am. Lalu, sesuai mekanisme yang
berlaku, KH Ahmad Siddiq selaku rais am menunjuk KH Abdurrahman Wahid sebagai
ketua umum (tanfidziah) PB NU kala itu.
Penting dicatat bahwa tradisi mencalonkan diri
di NU adalah hal yang sangat tabu. Rais am, meminjam bahasa Hiroko Horikoshi
(1987), adalah perpaduan kepemimpinan moral dan spiritual. Karena itu,
tindakan mencalonkan diri adalah hal yang aneh dan menyalahi tradisi. Jika
rais am dipilih langsung muktamirin, sebagaimana kita khawatirkan, aroma
politik kian merebak dan itu sama sekali tidak laik dan tidak kita inginkan
menggerogoti mar wah rais am sebagai simbol supremasi dan mar wah organisasi.
Walhasil, NU sebagai
jamiah para ulama yang berkhidmat untuk menjaga moral umat tidak hanya harus
dijaga sebagai sebuah perkumpulan yang baik, namun juga harus tetap dijadikan
sebagai perkumpulan orang-orang baik yang akan menjadi mata air dan sumber
inspirasi moral bagi bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar