Kamis, 22 Februari 2018

Waspadai Kecelakaan Konstruksi

Waspadai Kecelakaan Konstruksi
Tulus Abadi  ;    Ketua Pengurus Harian YLKI
                                           MEDIA INDONESIA, 21 Februari 2018



                                                           
SEMANGAT pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai bidang patut diberikan apresiasi mengingat, dalam hal infrastruktur, Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara jiran sekalipun, yang notabene dulu belajar membangun infrastruktur dari Indonesia, seperti Malaysia, atau bahkan Tiongkok. Langkah merelokasi subsidi energi untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur, juga merupakan kebijakan yang tepat, on the track policy. Sangat ironis ribuan triliun rupiah dibakar sia-sia untuk subsidi energi, yang mayoritas tidak tepat sasaran.

Namun, semangat yang tinggi itu kini justru menimbulkan perasaan cemas dan kegelisahan yang sangat di kalangan publik, oleh adanya kecelakaan infrastruktur di proyek-proyek besar, yang beberapa bulan ini cukup intensif. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat selama dua tahun terakhir terdapat 14 kasus kecelakaan konstruksi. Bahkan, selama lima bulan terakhir terjadi tujuh kasus kecelakaan konstruksi. Terakhir ambruknya tiang penyangga Tol Becakayu di Kebonanas, Jakarta Timur, yang melukai para pekerjanya. Bahkan satu orang meregang nyawa karenanya.

Kecemasan itu bukan hanya karena kasus yang terjadi sekarang, melainkan juga bagaimana nanti kalau sudah beroperasi; dikhawatirkan terulang dan dengan merenggut korban lebih banyak lagi (massal). Terbukti, kecelakaan itu jelas dipicu faktor kegagalan konstruksi (construction failure). Masyarakat cemas terhadap aspek keamanan dan keselamatannya, jika proyek infrastruktur itu telah beroperasi dan digunakan konsumen untuk aktivitas sehari-hari.

Terhadap kecelakaan konstruksi ini dalam konteks perlindungan konsumen dan kepentingan publik yang luas, idealnya pemerintah membentuk tim independen dengan fungsi utama melakukan investigasi pembangunan (forensic engineering). Diharapkan dengan forensic engineering tersebut akan diketahui sejatinya kecelakaan konstruksi itu terjadi di tahapan mana, apakah sejak tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, atau pada aspek pengawasan?

Selain itu, pemerintah harus berani memberikan sanksi tegas kepada pelaksana proyek jika kemudian kasus tersebut terjadi karena pelanggaran terhadap spek yang ditentukan. Atau bahkan adanya potensi malapraktik profesi. Guna memberikan pembelajaran dan efek jera, harus pula ada pihak yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan konstruksi ini, baik secara personal, manajerial, dan bahkan korporasi mengingat kecelakaan konstruksi ini sudah beberapa kali merenggut korban nyawa. Secara hukum, menurut Undang-Undang Jasa Konstruksi, kecelakaan konstruksi bisa berdimensi pidana, dan atau sisi administratif, misalnya pencabutan izin operasi. Bahkan, konsumen korban bisa melakukan gugatan class action.

Langkah pemerintah melakukan moratorium terhadap seluruh proyek besar (elevated project) bisa dinilai merupakan langkah tepat. Pemerintah harus memastikan dan meyakinkan pada publik apa penyebab kecelakaan konstruksi itu dan memastikan bahwa proyek yang lain aman dan tidak berpotensi terjadi lagi di kemudian hari. Namun, hal itu saja tidak cukup. Harus dilihat kemampuan teknisnya, apakah mereka bekerja di bawah tekanan, misalnya harus selesai dalam waktu tertentu, tanpa mengindahkan prosedur (SOP) yang berlaku dan aspek K3 (keselamatan dan kesehatan kerja). Oleh karena itu, pemerintah juga harus rasional dalam mengejar target perampungan proyek infrastruktur tanpa harus mengaitkan pada aspek politis jangka pendek. Sangat absurd jika masalah keamanan dan keselamatan digadaikan hanya mengejar nilai plus di mata publik. Aspek keamanan dan keselamatan para pekerja, konsumen dan kepentingan publik yang lebih luas harus menjadi prioritas utama dan pertama dalam proyek infrastruktur. Seharusnya tidak ada kompromi dalam hal ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar