TK
dan Pelajaran Membaca
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM,
15 Februari
2018
Tahun 2007 saya pulang ke
Indonesia, setelah 10 tahun tinggal di Jepang. Waktu itu anak saya dua. Anak
pertama saya usia 5 tahun, sempat menikmati TK di Jepang. Adiknya baru 2
tahun. Anak pertama saya masukkan ke TK Islam di dekat rumah.
Ada perdebatan kecil dengan
pengelola TK saat saya daftarkan anak saya. “Anak Bapak sudah tertinggal jauh
dari teman-temannya,” kata guru TK.
“Tertinggal apa?”
“Pelajaran, Pak. Hafalan
doa dan surat pendek. Sulit dia mengejar ketertinggalan.”
“Oh, biar saja. Tidak
masalah. Anak saya tidak hafal pun tidak masalah.”
“Nanti rapornya jelek,
Pak.”
“Tidak apa-apa, Bu. Anak
saya tidak diberi rapor juga tidak masalah. Saya tidak butuh rapor. Yang
penting dia bisa berteman dan bermain.”
Akhirnya anak saya masuk.
Kami tidak pernah meributkan soal hafalan dan rapornya. Selesai TK, dia masuk
SD, sekarang sudah kelas 1 SMA.
Anak kedua kami masuk TK
umum 3 tahun berikutnya. Kali ini tuntutan guru bukan soal hafalan, tapi soal
pelajaran dan PR. “Kemajuan pelajaran anak Bapak lambat,” kata gurunya lapor.
“Pelajaran apa sih? Kan
masih TK.”
“Ya, tapi sudah harus
mulai belajar, Pak.”
“Tidak perlu. Tidak usah.
Biar anak-anak main saja. Saya tidak keberatan kalau rapor anak saya jelek.”
Waktu itu sudah ada orang
tua yang memberi anaknya les tambahan, agar anaknya bisa membaca. Gila!
Setiap semester guru anak
saya selalu mengulang hal yang sama. Saya tidak pedulikan. Mereka khawatir
soal anak saya saat masuk SD. Kenyataannya biasa saja. Dalam waktu singkat
dia bisa belajar membaca.
Anak ketiga saya masuk TK
yang sama, karena tidak ada lagi pilihan lain. Cerita yang sama berulang.
Saya kembali tegaskan,
anak saya tidak perlu terlalu serius belajar membaca. Dia tidak bisa juga
saya tidak anggap masalah. Dia juga masuk SD. Kebetulan waktu masuk SD juga
tidak ada syarat harus bisa membaca.
Bagaimana kalau SD
menetapkan syarat itu? Jangan masukkan anak ke sekolah itu. Itu sekolah
sesat. Anak Anda akan dididik secara salah di situ. Carilah sekolah lain.
Apakah tidak khawatir anak
kita akan tertinggal kalau tidak bisa membaca? Banyak SD yang meski tidak
menetapkan syarat bisa membaca untuk masuk, tapi kemudian ngebut dengan
materi pelajaran, berbasis asumsi bahwa anak-anak sudah bisa membaca. Jadi,
bagaimana?
Tertinggal apa, sih? Anak
kita itu baru SD, kelas satu pula. Anak punya tahapan perkembangan yang unik.
Ada yang cepat, ada yang lambat. Kenapa ia harus dipaksa mengikuti standar
anak lain?
Banyak orang tua yang gila
rapor. Anak-anak diukur dengan angka-angka di atas kertas tes dan rapor. Orang
tua stres kalau nilai anaknya rendah. Lalu anak ditekan dengan berbagai jenis
pelajaran dan les, sampai mereka stres juga.
Pak, Bu, itu anakmu baru
kelas 1 SD. Bukan besok dia mau cari kerja. Ada banyak kasus, anak yang
lambat saat kelas 1-3, kelak melejit. Sebaliknya ada yang bagus kelas-kelas
awal, tapi saat besar melempem.
Jangan panik dan kalap
dengan nilai rapor. Kenali anak Anda, kenali potensinya. Kita harus jadi yang
paling tahu, di bagian mana anak kita belum bisa, dan kita harus temukan cara
untuk membuat dia bisa. Ingat, kita penanggung jawab pendidikan dia.
Anak saya nomor 3 termasuk
lambat dalam belajar. Sekarang dia sudah kelas 4. Khususnya di pelajaran
matematika, dia lambat. Diajari sekarang bisa, nanti malam dia sudah lupa
lagi.
Tapi saya tidak khawatir.
Saya terus ajari. Panduannya, dia bisa menangkap hal lain. Dia bisa
berkomunikasi dengan benar. Dia tumbuh normal. Saya yakin, perlahan dia akan
menguasai materi. Saya harus sabar, dan terus mendampingi dia.
Kenapa mesti gusar dengan hasil
belajar anak yang masih kelas 1? Di fase itu yang penting bukan berapa nilai
dia. Yang penting, dia menikmati proses belajar. Dia tidak merasakan belajar
sebagai siksaan yang harus dia hindari.
Dia harus menemukan cara
dia memahami sesuatu. Kita berada di dekat dia untuk membimbing dia menemukan
jalan itu.
Sangat disayangkan bila
ada orang tua yang justru tidak terlibat dalam proses itu, tapi hanya melihat
angka-angka di atas kertas ulangan dan rapor anaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar