Sengkarut
Data Pangan
Imron Rosyadi
; Dosen FEB Universitas Muhammadiyah
Surakarta;
Sedang menyelesaikan Program Doktor
Ekonomi Islam di UIN Suka Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
27 Februari
2018
Di negara mana pun data
menduduki posisi yang sangat krusial sebagai basis penentuan kebijakan
bernilai strategis. Termasuk di dalamnya kebijakan perihal ketersediaan
pangan bagi seluruh warga bangsa. Oleh karenanya data produksi pangan seperti
beras, jagung, kedelai dan sebagainya harus disajikan secara akurat dan
kredibel.
Penyajian data
produksi/konsumsi pangan (terutama beras) yang kredibilitasnya diragukan,
dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas pasar pangan domestik. Hal
itu lantaran data pangan menjadi pijakan pemerintah untuk mengimpor atau
mengekspor pangan. Kesalahan dalam memutuskan impor, misalnya tidak hanya
mengancam kesejahteraan petani karena harganya merosot, tapi juga menciptakan
ketergantungan pangan impor yang tak berujung.
Kegaduhan di dunia pangan
beberapa pekan terakhir ini juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan biasnya
data pangan. Indikasinya rencana pemerintah melalui Kemendag mengimpor beras
sebanyak 500 ribu ton menjadi polemik di masyarakat. Polemik itu bergulir
cepat di ruang publik justru berpangkal dari perbedaan pandangan perihal data
stok, dan produksi beras antara Kemendag dengan Kementan.
Beda
Pintu
Menurut Kementan produksi
beras di tanah air dari tahun ke tahun mengalami surplus, dan cadangan beras
di gudang-gudang Perum Bulog cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi domestik
sampai masa musim panen padi tiba sekitar akhir Februari. Pernyataan Mentan
Amran Sulaiman itu bukannya tanpa dasar, tapi merujuk pada data yang secara
resmi dirilis oleh kementerian yang dipimpinnya.
Kementan (2017) menaksir
produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Maret 2018 mengalami tren
peningkatan yang signifikan. Pada Januari produksi GKG mencapai 4,5 juta ton,
sementara memasuki Februari meningkat menjadi 8,6 juta ton, dan Maret
meningkat lagi menjadi 11,9 juta ton. Sedangkan ketersediaan beras pada
Januari mencapai 2,8 juta ton, Februari (5,4 juta ton), dan Maret (7,47 ton).
Dari sisi konsumi,
kebutuhan beras nasional pada Januari mencapai 2,5 juta ton, demikian juga
jumlah yang sama pada Februari dan Maret 2018. Sehingga pada Januari terdapat
surplus pasokan beras di tanah air sebesar 329,3 ribu ton, Februari (2,9 juta
ton), dan Maret (4,971 juta ton).
Tampaknya data-data
Kementan tersebut tidak sejalan dengan Kemendag yang menyebutkan bahwa
ketersediaan beras mengalami defisit, dan berisiko mendorong lonjakan harga
beras di pasar domestik. Sehingga dengan kondisi seperti itu pemerintah
dianggap mendesak untuk mengambil kebijakan impor dalam rangka menjamin stok
pangan.
Pertanyaan yang mengemuka
adalah mengapa bisa terjadi perbedaan data pangan secara diametral antara dua
kementerian yang sama-sama bersinggungan dengan urusan pangan dalam negeri?
Bukankah sebelum data dirilis secara resmi sudah dilakukan sinkronisasi data
antar kementerian terkait kebijakan pangan?
Kejanggalan
Sangat sulit menilai mana
yang akurat dari pernyataan kedua kementerian tersebut. Jika memang klaim
data-data Kementan itu akurat, maknanya produksi beras domestik dalam posisi
surplus, sehingga impor tidak perlu dilakukan. Namun faktanya sejak September
2017 yang lalu harga beras terus merangkak naik, bahkan sempat menyentuh
harga tertinggi selama kurun waktu 40 tahun, yakni Rp 13 ribu hingga Rp 14
ribu per kilogram (Koperasi PIBC, 2018).
Hal itu mengindikasikan
terjadi kelangkaan beras, sehingga mengerek harga beras di pasaran. Dugaan
ini benar adanya karena pemerintah selama ini tidak mencurigai adanya faktor
lain yang menyebabkan harga beras melambung seperti permainan tengkulak
besar, dan aksi penimbunan beras.
Bukti lain juga semakin
menguatkan kebenaran dugaan kelangkaan beras tersebut, yakni cadangan beras
Bulog semakin menipis lantaran terus-menerus digunakan untuk kegiatan operasi
pasar. Hingga akhir Januari 2018 Bulog hanya menyimpan cadangan beras sekitar
800 ribu ton, padahal idealnya untuk mengamankan stok beras nasional
dibutuhkan cadangan minimal sebesar 1 juta ton beras.
Sementara, meskipun
pemerintah pusat sudah disodorkan data-data dari berbagai daerah yang menunjukkan
produksi beras surplus, dan mengingat semakin dekatnya masa musim panen raya
di berbagai daerah sentra beras. Namun pemerintah tetap ngotot mengambil
kebijakan impor beras yang berasal dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan
India. Ironis memang, Indonesia sebagai negara yang memiliki luas lahan tanam
pangan lebih luas dari negara-negara tersebut, justru menjadi negara
pengimpor pangan.
Di sisi lain, alasan
pemerintah melakukan importasi beras juga tidak sepenuhnya transparan,
sehingga mengundang kecurigaan banyak pihak. Pasalnya ditemukan sejumlah
kejanggalan yang mengiringi kebijakan impor tersebut. Pertama, pemerintah
berdalih impor dilakukan untuk menghindari risiko kekurangan pasokan.
Persoalannya mengapa impor beras diputuskan hampir bersamaan dengan dekatnya
musim pasokan beras melimpah karena panen raya?
Kedua, semula pemerintah
mengeluarkan izin impor beras kepada PPI, namun belakangan Kemenko
Perekonomian Darmin Nasution mengoreksi bahwa izin impor beras dialihkan ke
Perum Bulog. Demikian juga dengan kualitas beras yang akan diimpor,
pemerintah hanya akan mengimpor beras khusus (premium), padahal beras yang
mengalami kelangkaan, dan harganya melonjak itu beras medium.
Ketiga, pemerintah
berkilah bahwa impor beras tidak akan dilepas ke pasar, sebab beras impor
digunakan untuk memperkuat stok cadangan beras pemerintah, sehingga masuknya
beras impor tidak mengganggu penyerapan gabah/beras petani. Sementara tahun
ini Bulog menargetkan dapat menyerap 2,7 ton setara gabah. Pertanyaannya,
mengapa pemerintah tidak fokus saja pada kebijakan penyerapan gabah/beras
petani? Toh, beras impor bukan untuk kebutuhan mendesak seperti operasi
pasar, dan pengendalian harga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar