Prospek
Parpol Baru di Pemilu 2019
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2018
Layar penutup panggung
Pemilu 2019 sudah dibuka seiring dengan penetapan resmi partai peserta pemilu
dan diikuti prosesi pengambilan nomor urut partai. Ada 14 partai yang akan memperebutkan
potensi suara kurang lebih 196,5 juta pemilih di Pemilu 2019. Dari 14 partai
tersebut, 12 partai lama dan 4 partai baru. Partai-partai baru tersebut adalah
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia
(Garuda), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Berkarya.
Bagaimana prospek partai-partai tersebut di tengah peluang dan tantangan yang
mereka hadapi di Pemilu 2019?
Faktor Pembeda Partai
politik merupakan entitas publik. Oleh karenanya, eksistensi sebuah partai
akan sangat dipengaruhi kemampuannya bekerja dan bersama-sama dengan warga
yang dalam pemilu akan menjadi pemilihnya. Dalam perspektif aka demik partai
perlu manajemen kehormatan dirinya di tengah situasi kompetitif yang mereka
alami jelang perhelatan kontestasi elektoral.
Meminjam perspektif John
van Mannen dan Stephen Barley dalam tulisannya, Cultural Organization:
Fragments of a Theory (1985), partai sebagai organisasi harus mengatur
manajemen kehormatannya mi nimal di empat domain. Domain pertama ialah
ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi,
waktu, dan sejarah serta konteks sosial.
Tak semata urus an punya
kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50%
kecamatan se-Nusantara, melainkan juga harus memahami konteks sosialnya.
Indonesia Corruption Watch dan Polling Center pernah merilis hasil survei
periode April hingga Mei 2017 dengan 2.235 responden yang tersebar di 34
provinsi.
Hasilnya, partai politik
menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya publik. Tingkat kepercayaan
publik hanya 35%. Ini tentu saja sangat rendah dan men jadi pekerjaan rumah
parpol. Kondisi ini harusnya bisa dimanfaatkan parpol baru un tuk tampil
dengan sejumlah faktor pembeda dengan partai-partai lama.
Parpol baru belum dibebani
past-record dalam branding politiknya ka rena selama ini mereka belum menjadi
“penikmat” ragam jenis kekuasaan pascareformasi. Persepsi negatif diubah men
jadi positif dengan menawarkan identitas, nilai, budaya organisasi yang
berbeda.
Kecuali Partai Berkarya
yang justru mempersonifi kasi partainya dengan Tommy Soeharto dan romantisme
Orde Baru. Artinya Partai Berkarya sedang “berjudi” dengan persepsi khalayak
luas, terutama menyangkut kekuatan rujukan (reference power) yang
diidentikkan dengan kekuatan politik era Soeharto.
Sepertinya partai ini
yakin sekali bahwa peluang mereka terletak pada basis-basis pemilih perdesaan
yang rindu zaman Soeharto. Mes ki pun fakta politik menunjukkan, persuasi
berbasis romantisme masa Soeharto ini tak lagi efektif, terbukti dari
gagalnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) besutan Siti Hardiyanti Rukmana
alias Mbak Tutut yang meru pa kan kakak Tommy.
Kedua, jaringan atau
interaksi deferensial (differential interaction). Partai baru dituntut untuk
memiliki kepiawaian dalam membangun interaksi dengan pihak lain.
Misalnya bagaimana
membangun ko mu nikasi persuasif dengan basisbasis pemilih dengan ceruk
besar. Misalnya keberadaan pemilih pemula dan muda, pemilih perempuan, serta
penguasaan battlegrounds atau wilayah utama nasional. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 jumlah pemilih pemula sudah mencapai
60 juta orang.
Bahkan pemilih pemuda di
bawah usia 35 tahun mendekati angka 100 juta orang. Sementara pemilih perem
puan potensinya kurang lebih 97,8 juta pemilih. Wilayah yang menjadi lumbung
suara antara lain Jawa Barat dengan kurang lebih 33,1 juta pemilih, Jawa
Timur dengan 31,3 juta pemilih, Jawa tengah 27,5 juta pemilih, Sumatera Utara
10,7 juta pemilih, dan DKI Jakarta 7,9 juta pemilih.
PSI sudah melakukan
positio ning dalam marketing politiknya untuk fokus pada anakanak muda.
Perindo juga kian mempertegas branding-nya dengan fokus pada isu
kesejahteraan dengan memperbanyak program yang membantu menggerakkan ekonomi
kerakyatan seperti pelaku UMKM. Partai Berkarya mulai fokus menggarap basis
perdesaaan dengan pendekatan ko perasi di desa-desa.
Yang belum jelas dari
aspek interaksi diferensial adalah Partai Garuda. Partai yang dideklarasikan
pada tanggal 16 April 2015 dan dipimpin Ahmad Ridha Sabana ini belum terlalu
jelas fokusnya ke mana? Di laman resminya, Partai Garuda menyatakan
memprioritaskan pemilih muda sebagai target utama, tetapi banyak hal di
penampilan, gagasan, dan pendekatan yang digunakan tak identik dengan pasar
anak muda yang mau dibidiknya.
Ketiga, pemahaman kolektif.
Artinya bagaimana parpol baru mengelola dirinya di tengah ragam kepentingan
baik dari internal maupun eksternal.
Dalam terminologi Anthony
Gid dens, penstrukturan adaptif ialah bagai mana institusi sosial seperti
parpol diproduksi, dire produksi, dan di transformasi melalui penggunaan
aturan-atur an yang ber fungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus
lebih kuat di bandingkan dengan satu atau dua orang figur sehingga organisasi
memiliki daya tahan kuat meski di titik kulminasi kontestasi.
Kritik Thomas Carothers
dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006),
Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies,
misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat
leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi.
Saat elite utama pragmatis
dalam “mendagangkan” partai jelang perhelatan kontestasi elektoral, partai
akan mengalami deinstitu sionalisasi. Itulah mengapa parpol baru kerap
mengalami perpecahan dan gembos luar biasa setelah perhelatan pemilu usai
digelar.
Keempat, tindakan
personal. Ini nanti terhubung erat dengan tindakan politisi dari partai baru
baik yang menjadi pengurus maupun yang nyaleg di 2019.
Jika mereka mau dan mampu
menjadi ambassador bagi partai masing-masing dengan ragam tindakan baik dan
simpatik, tentu akan membantu perolehan suara partai. Tapi jika sebaliknya
tentu akan punya efek bumerang pada partai yang bersangkutan. Oleh karenanya
parpol harus ekstra hathati dalam memasang orang-orang yang akan bertandang
di Pemilu 2019.
Insentif
Elektoral
Ada sejumlah faktor yang
dapat menjadi prospek insentif elektoral bagi parpol baru.
Pertama, efek domino
pencapresan. Hal ini terkait dengan coattail effect atau efek ekor jas. Ini
merupakan istilah yang dikenal saat Warren Harding, seorang editor surat
kabar dari kota kecil Marion, Ohio, yang menca lonkan diri sebagai Senator
dan terpilih di 1914, terpilih menjadi presiden AS pada 1920.
Har ding dianggap sangat
tampan sehingga banyak orang yang melihatnya sempurna untuk dipilih. Efek
ekor jas ini menggambarkan banyak orang sudah “kesengsem” pada sosok calon
presiden dan mereka yang mengusungnya pun sangat mungkin memperoleh keuntung
an suara. Di Pemilu 2019, di atas kertas Jokowi dan Prabowo akan kembali
bertarung sengit.
Dari polarisasi ini,
partai-partai yang mendukung Jokowi mau pun Prabowo diprediksi akan mendapat
keuntungan elek to ral meski besar kecilnya akan sangat bervariasi. PSI dan
Perindo sudah mengeksplisitkan dukungan kepada Jokowi, sementara Partai
Berkarya dan Garuda belum pasti dukung siapa.
Kedua, jaringan ke
sejumlah infrastruktur politik di luar parpol. Misalnya figur baik tokoh
agama, tokoh adat, tokoh pemuda dll.
Selain itu kelompok
penekan seperti organisasi nonpemerintah, asosiasi bu ruh, dll. Ada juga
kelompok kepentingan seperti organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Media
massa dan ja ri ngannya juga masuk di in frastruktur politik ini yang akan
berguna dalam publisitas dan konstruksi realitas politik di tengah
pertarungan opini.
Ketiga, mengintensifkan
kerja-kerja parpol dan sejumlah calegnya untuk bekerja di basis-basis
komunitas.
Pendekatan triple-C
(community relations, community services, community empowerment) menjadi
sangat relevan untuk melihat keseriusan parpol membangun konstituen. Parpol
baru harus bekerja lebih keras dan cerdas mengingat tingkat keterkenalan (po
pularity) mereka belum begitu tinggi. Parpol jangan bergan tung pada satu
orang, tetapi pada bekerjanya sistem. ●
|
BalasHapuspoker online pulsa
poker pulsa online
judi pulsa online
judi via pulsa
bola online
prediksi togel
togel online pulsa
game poker online pulsa
ayam sabung
sabung ayam