Data,
Target, dan Implementasi Sektor Pariwisata
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
26 Februari
2018
Di tengah menurunnya
pertumbuhan ekonomi dunia, yang tentunya juga berimbas pada Indonesia, akan
mempengaruhi kocek pemerintah karena menurunnya sisi penerimaan di neraca
APBN. Neraca perdagangan Indonesia juga semakin njomplang meskipun pemerintah
mengatakan bahwa ekonomi kita stabil tumbuh sekitar 5%, kenyataannya kita
butuh lebih banyak barang impor. Untuk itu pemerintah melalui
program-programnya berusaha mendorong sektor-sektor yang selama ini belum
menjadi primadona sumber devisa untuk berkembang dengan segala
keterbatasannya, salah satunya adalah sektor pariwisata.
Sektor pariwisata punya
target 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019. Saat target ini
dicanangkan (2014), jumlah wisman masih di bawah 10 juta. Tahun 2017 jumlah
wisman yang masuk ke Indonesia menurut Kementerian Pariwisata (Kemenpar)
mencapai 14,2 juta orang, termasuk pelintas batas (PLB) dan wisman khusus,
atau meleset dari target awal sebesar 15 juta. Di waktu yang tersisa tinggal
2 tahun, Kemenpar harus mencapai target 20 juta wisman di luar PLB dan wisman
khusus. Ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat di regional kita harus
bersaing dengan Thailand, Singapura, Vietnam dan sebagainya yang relatif
secara SDM dan infrastruktur lebih siap dari Indonesia.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), dalam 5 tahun terakhir mayoritas wisman yang masuk ke
Indonesia berasal dari Tiongkok dan masuk melalui 19 pintu, terutama Bali dan
Jakarta. Dengan dominasi wisman dari Tiongkok, secara sosial ekonomi
Indonesia dirugikan karena wisman dari Tiongkok umumnya jorok dan berisik.
Kedua sifat tersebut mengganggu kenyamanan wisman lain dan juga wisatawan
domestik. Artinya wisman lain enggan ke tempat-tempat wisata atau hotel yang
banyak dikunjungi wisman Tiongkok, sehingga muncul biaya sosial ekonomi
ekstra yang harus dibayar.
Selain masalah di atas,
ada persoalan lain yang kemungkinan dapat menghambat tercapainya janji
Presiden pada publik dari sektor pariwisata. Misalnya, apakah penerapan
Perpres No. 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan efektif? Apakah
angka-angka yang selama ini di sampaikan oleh Kemenpar akurat, termasuk
target 20 juta wisman pada 2019 bisa tercapai? Apakah benar sektor pariwisata
menjadi penyumbang terbesar devisa dari sektor non migas, seperti yang
diklaim oleh Kemenpar? Apakah yang harus dilakukan Kemenpar menghadapi
persoalan-persoalan di atas? Dan sebagainya.
Antara
Target, Persoalan dan Keberhasilan
Bicara data, wisman yang
masuk Indonesia akurasinya masih perlu dipertanyakan. Menurut Kemenpar jumlah
wisman yang masuk ke Indonesia selama 2017 sekitar 14,2 juta atau meleset
dari yang diharapkan 15 juta karena adanya erupsi Gunung Agung di Bali.
Jumlah itu pun (sekitar 14,2 juta), termasuk para pelintas batas (PLB) dan
wisman khusus. Menurut Direktur Data Statistik Bank Indonesia (BI), jumlah
kunjungan wisman selama 2017 adalah 12,2 juta (belum termasuk PLB dan wisman
khusus) -atau PBL dan wisman khusus berjumlah sekitar 2 juta. Jadi Kemenpar
kalau menyampaikan data harus lengkap supaya tidak menyesatkan.
Ada klaim dari Kemenpar
bahwa per 2016 sektor pariwisata sudah menjadi penghasil devisa nomor dua
terbesar, atau menghasilkan USD 14 miliar -sekitar Rp 200 triliun. Angka ini
perlu dipertanyakan kebenarannya. Demikian pula jika Kemenpar mengklaim bahwa
sektor pariwisata sudah menjadi penarik investasi nomor dua, apa benar? Kalau
benar, tentunya suatu lompatan besar dan patut diapresiasi. Untuk mencari
tahu kebenaran data tersebut, penulis mencoba mengkonfirmasi ke beberapa
institusi, seperti BI, BPS, BKPM, dan lain-lain.
Menurut Direktur Statistik
BI, dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), jasa travel memang merupakan
komponen neraca jasa yang sejak beberapa tahun lalu selalu surplus. Pada 2016
surplus jasa travel sekitar USD 3,6 miliar, sementara secara keseluruhan
neraca jasa defisit sekitar USD 7,1 miliar. Jasa travel merupakan penerimaan
dari wisman yang berkunjung ke Indonesia untuk akomodasi, konsumsi, dan
transportasi lokal.
Perlu dipertanyakan jika
sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar, karena menurut BI
penyumbang surplus terbesar pada transaksi berjalan NPI adalah neraca
perdagangan barang non migas. Sedangkan sektor pariwisata atau travel tidak
masuk katagori barang melainkan jasa. Lalu coba kita lihat dalam PDB, sektor
pariwisata dapat terdiri dari beberapa lapangan usaha, antara lain penyediaan
akomodasi dan makan-minum, transportasi dan pergudangan, namun di PDB yang
dihitung adalah nilai tambah ekonomi tidak memilah-milah, apakah penghasil
devisa atau bukan.
Kalau dari sisi gross
export, menurut BI, pada 2016 komoditas ekspor non migas terbesar adalah
minyak nabati (USD 17,4 miliar), diikuti batubara (USD 14,6 miliar), TPT (USD
11,9 miliar). Sedangkan ekspor komoditi migas (USD 12,9 miliar) dan ekspor
jasa travel USD 11,2 miliar, bukan USD 14 miliar seperti yang diklaim oleh
Kemenpar. Kembali di sini akurasi data harus dikalibrasi dengan benar.
Untuk mengkonter klaim
Kemenpar bahwa sektor pariwisata telah menjadi penarik investasi nomor dua,
saya sempat menanyakan ke salah satu Deputi BKPM. Berdasarkan data realisasi
investasi Januari-Desember 2017 yang dikeluarkan oleh BKPM, sektor pariwisata
ada di nomor 12 (hotel dan restoran) dan di nomor 7 (transportasi). Artinya,
klaim Kemenpar kembali patut kita pertanyakan.
Selain persoalan di atas,
lama tinggal (rata-rata dua hari/kunjungan) dan uang yang dibelanjakan selama
di Indonesia juga menjadi persoalan serius dalam meningkatkan jumlah wisman
masuk ke Indonesia, meskipun sudah dibantu dengan kebijakan bebas visa untuk
169 negara melalui Perpres No. 21 Tahun 2016, program promosi 10 destinasi
baru dan triple coral diamond dll tetap belum banyak membantu, dan menjadi
kompetitif dengan Malaysia atau Thailand dan negara ASEAN lainnya. Masih
perlu perencanaan yang lebih matang.
Langkah
Pemerintah
Pertama, Kemenpar harus
mengkaji ulang Perpres No. 21 Tahun 2016 karena terbukti tidak dapat
mendorong jumlah wisman secara pesat, dan patut diduga hanya memudahkan
wisman pembawa narkoba dan komoditi ilegal lainnya masuk ke Indonesia.
Pastikan hanya negara yang punya resiprokalitas dengan Indonesia yang
memperoleh fasilitas bebas visa kunjungan 30 hari. Lebih baik perbaiki sistem
pembuatan visa (misalnya melalui online) supaya proses cepat tetapi
pengawasan negara optimal dan tetap mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
Kedua, pastikan proses
pendataan wisman akurat dan real time. Supaya tidak ada penyesatan publik,
data wisman harus dipisah dengan PLB dan wisman khusus. Ketiga, Kemenpar
harus mempunyai strategi khusus atau pilah-pilah dalam mengundang wisman
untuk mengurangi biaya sosial yang disebabkan oleh perbuatan wisman yang
merugikan di Indonesia. Di sini target pasar menjadi penting, bukan hanya
jumlah.
Keempat, upayakan supaya
wisman yang masuk ke Indonesia dari kelas menengah atas yang selama ini
mampir ke Singapura, Malaysia, Thailand dan sebagainya; bukan kelas menengah
bawah. Wisman dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia umumnya dari kelas
menengah bawah, kelas menengah atas pergi ke Thailand.
Demikian koreksi ini saya
tuliskan tanpa maksud apa-apa hanya untuk koreksi dan klarifikasi data supaya
ke depan Kemenpar lebih strategis lagi dalam berkomunikasi dengan publik.
Ingat, target masih jauh dan waktu semakin singkat. Kalau tidak tercapai
sampaikan saja, dan itu lebih baik daripada seolah-olah target terpenuhi
tetapi harus menggunakan data yang tidak akurat. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar