RUU
HP, Pers, dan Demokrasi
Artidjo Alkostar ; Dosen Fakultas Hukum UII, Yogyakarta;
Hakim Agung; Ketua Kamar Pidana
MA
|
KOMPAS,
22 Februari
2018
Hukum merupakan kehendak kebajikan yang ada
dalam struktur rohaniah masyarakat bangsa. Dalam konstelasi yang demikian,
hukum sejatinya menjadi pemberi arah dan pendorong moral sosial bangsa.
Sebagai hukum modern, Rancangan
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) dituntut untuk rasional, mengandung nilai
kemanusiaan, dan universal. Ideologi atau pilihan nilai RUU HP harus terkait
dengan tali sumbu nilai Pancasila, yaitu beresensi kemanusiaan yang adil dan
beradab, berspirit kerakyatan yang memuat nilai kebenaran moral, kebenaran
ilmiah, serta kepantasan.
Sebagai negara demokrasi kerakyatan,
Indonesia berbeda dengan negeri Belanda atau Inggris yang memiliki raja atau
ratu sebagai simbol negara yang melekat pada keturunannya. Sedangkan presiden
Indonesia dipilih oleh rakyat secara langsung yang kekuasaannya merupakan
artefak yang bisa dilepas setiap saat. Tidak memiliki nalar hukum kalau
presiden Indonesia tidak boleh dikritik, dikatakan sebagai simbol negara dan
disakralkan. Dalam supremasi hukum tidak boleh ada orang berada di atas hukum.
Ideologi hukum RUU HP yang mengambil klise
postulat moral Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) buatan kolonial
Belanda merupakan ironi demokrasi Indonesia karena negara demokrasi Indonesia
yang egaliter, bukan negara feodal seperti Belanda pada saat membuat KUHP.
Penerapan hukum oleh pengadilan Indonesia adalah ”Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berbeda dengan pengadilan negeri Belanda yang
atas nama ratu Belanda. Kedudukan hukum presiden Indonesia bukan seperti raja
atau ratu Belanda.
Ancaman
kebebasan pers
Dalam negara demokrasi, kebebasan pers
merupakan prasyarat tegaknya kedaulatan rakyat karena keberadaan pers
sejatinya merupakan representasi dari eksistensi keberadaan dan peran sosial
dari masyarakat bangsa. Negara demokrasi akan kehilangan predikat
kedemokrasiannya tanpa adanya kebebasan pers. RUU HP sejatinya harus
menunjukkan fungsi protektifnya bagi demokrasi dan kebebasan pers. Pasal
tentang penghinaan presiden dan pejabat publik lain akan menjadi ancaman
terselubung bagi kebebasan pers.
Kebebasan pers sejatinya untuk mencapai tujuan sesuai hakikat
keberadaannya, antara lain menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (vide, Pasal 6 UU Nomor 40
Tahun l999). Konsekuensi logisnya, pers harus
bebas dari segala bentuk tekanan dan ancaman dari pihak luar pers.
Misalnya, bebas dari tekanan berupa telepon, teguran, dan ancaman pidana atau
kekangan aturan yang membelenggu lainnya. Ancaman pidana bagi penghinaan
pejabat publik seperti yang tertera dalam RUU HP merupakan ancaman potensial
bagi kebebasan pers dan demokrasi.
Kebebasan melekat dengan nilai etis, yaitu
keadilan, karena manusia, masyarakat yang di dalamnya ada masyarakat pers dan
negara, tidak akan dapat melakukan peran diri kelembagaannya tanpa ada
kebebasan. Untuk itu, kebebasan pers dalam sejarahnya selalu diperjuangkan
secara berkelanjutan (Freedom is not given, it is won by struggle) karena
dalam dinamika kehidupan selalu muncul musuh-musuh kebebasan pers, baik yang
tersembunyi maupun yang nyata dengan berbagai corak dan variasinya. Tantangan kendala kebebasan pers pada zaman
Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi berbeda penampakannya. Bukti sejarah
menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai kemerdekaan pers
merupakan upaya berkelanjutan yang tidak pernah final.
Nilai kemerdekaan pers sebagai cita ideal
dituntut untuk diperjuangkan guna mencapai kehidupan bernegara yang
baik. Peran pers dalam pengembangan
masyarakat dan pembangunan negara mencakup beberapa nilai yang melekat pada
entitas keberadaan pers, terutama kebenaran, kebebasan, dan keadilan yang
secara normatif telah disebut dengan jelas dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Harus diingat, pers juga memiliki posisi sosial , special privileges, kalau
menyangkut konfidensialitas.
Jaminan dan perlindungan hukum serta bebas
dari campur tangan dan paksaan dari mana pun terhadap kemerdekaan pers
merupakan konsekuensi yuridis dari postulat moral yang melatarbelakangi
berlakunya UU No 40/1999. Dalil moral tersebut lalu menjadi landasan dari
adanya konstruksi hipotetis pasal-pasal yang ada dalam UU No 40/1999.
Ideologi hukum dari UU No 40/1999 adalah kemerdekaan yang sejatinya merupakan
kebutuhan asasi bagi kehidupan individu dan komunitas sosial dalam negara
demokrasi.
Kebebasan
pers dan demokrasi
Posisi peran dari pers menjadi kuat dalam
kehidupan bernegara karena pers merupakan lembaga sosial dan eksistensinya
merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi.
Keluhuran tugas dan sifat altruistik pers terletak pada pengabdian dan
perjuangan untuk kepentingan umum.
Dengan tegas Pasal 6c UU Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan:
mengembangkan pendapat umum, jadi bukan pendapat pribadi dari seorang
wartawan. Lebih dari itu, pers juga mengemban nilai-nilai luhur, yaitu
kebenaran dan keadilan, hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi
hukum. Nilai kejuangan pers juga
terletak pada pelaksanaan peran pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan demikian, harus dihindari adanya
kontroversi intertekstual antara RUU HP dan UU No 40/1999.
Mahkamah Agung sangat menghargai
kedaulatan kebebasan pers dengan
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, yang
menyebutkan: sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke
pengadilan yang berhubungan dengan delik pers, maka untuk memperoleh gambaran
obyektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan undang-undang
pers, maka hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang pers.
Oleh karena itu, dalam
penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers
hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers
karena merekalah yang lebih mengetahui seluk-beluk pers tersebut secara teori
dan praktik. Pernah terjadi gugatan perdata terhadap pers dengan dalil
gugatan dari penggugat adalah adanya perbuatan melawan hukum Pasal 1365
KUHPerdata dengan dalil bahwa pihak pers telah melakukan penghinaan
sebagaimana ditentukan dalam eks Pasal 310 KUHP, akan terjadi kesesatan
relevansi karena pihak pers tidak
dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atas dalil telah
melalukan pencemaran nama baik tanpa ada putusan pengadilan pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, sejatinya pers tak dapat
dikenai eks Pasal 310 KUHP atau aturan
sejenisnya jika pers menyampaikan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat, dan benar serta hal-hal yang disampaikan merupakan pengawasan, kritik, koreksi, dan
saran demi kepentingan umum. Konstelasi yuridis ini menunjukkan bahwa hal-hal
menyangkut pers harus mempertimbangkan relevansi yuridis Pasal 6 UU Nomor 40
Tahun 1999.
Terhadap pers atau insan pers yang telah
melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional, maka sejatinya penegak
hukum harus menerapkan fungsi protektif hukum sesuai eks Pasal 310 Ayat 3
KUHP atau aturan sejenisnya atas dasar karena pers profesional menyampaikan
pendapat umum dan demi kepentingan umum. Dalam perkara kasasi No
490K/Pid/2008 atas nama terdakwa Afdhal Azmi Jambak dari koran Transparan
Palembang, yang didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap seorang
pejabat di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdakwa dijatuhi
pidana atas dasar melanggar eks Pasal 310 KUHP, tetapi di tingkat kasasi
diputus bebas dari dakwaan (Vrijspraak) karena terdakwa dalam melakukan tugas
jurnalistiknya telah memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sehingga menurut Mahkamah Agung pemberitaan
yang dibuat Afdhal Azmi Jambak di koran Transparan tidak berkualifikasi melakukan pencemaran
nama baik.
RUU HP tidak boleh mengabaikan konvensi
internasional yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. Misalnya, ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah
diratifikasi dengan UU No 12/2005. Dalam kovenan pada Pasal 19 dengan tegas
dinyatakan: 1) setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur
tangan, 2) setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini
harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi
dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan,
tulisan, atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang
menjadi pilihannya sendiri.
Konstruk hipotetis ketentuan pasal dalam UU
Pers mencerminkan spirit demokratis
dan perlindungan hukum (Pasal 8 UU No 40/1999) harus merupakan konsekuensi
dari pelaksanaan fungsi tugas untuk kepentingan umum. Sejatinya produk
jurnalistik adalah kenyataan sosial yang merupakan kebutuhan asasi masyarakat
banyak. Untuk itu, RUU HP harus menghindari pemuatan pasal yang berpotensi
mengancam hak asasi, nilai demokrasi, dan kebebasan pers. Memberlakukan
aturan hukum yang cacat yuridis akan menjadi dosa politik bagi pemerintah dan
DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar