Kamis, 22 Februari 2018

Adelina dan Perdagangan Manusia

Adelina dan Perdagangan Manusia
Dinna Wisnu  ;    Pengamat Hubungan Internasional
                                                KORAN SINDO, 21 Februari 2018



                                                           
KEMATIAN Adelina Sau menambah daftar panjang warga negara Indonesia (WNI) yang meninggal di Malaysia. Kita tahu bahwa ini bukan pertama kali terjadi dan tak menutup kemungkinan akan terjadi di kemudian hari, mengingat masih belum sempurnanya upaya pencegahan perdagangan orang yang menyebabkan Adelina dapat tiba dan bekerja di Malaysia.

Meski demikian, kasus Adelina juga memaksa kita untuk memeriksa bagian-bagian apa saja dari kebijakan luar negeri dan tenaga kerja yang masih berlubang dan disalahgunakan oleh sindikat perdagangan orang.

Park Mo (2011) membagi tiga kategori pekerja imigran berdasarkan statusnya. Pertama adalah pekerja yang legal atau terdokumentasi (legal immigrant).

Mereka umumnya adalah pekerja yang memiliki keahlian dan memenuhi syarat untuk bekerja di sektor-sektor yang dibutuhkan, baik yang berangkat secara pribadi maupun melalui agen tenaga kerja. Para TKI yang bekerja melalui PJTKI masuk dalam kategori ini.

Kedua adalah pekerja yang tidak memiliki keahlian, tetapi memiliki uang untuk menggunakan jasa pengiriman dengan menyelundup (smuggling immigrant). Sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja umumnya adalah sektor jasa seperti pekerja domestik, pelayan, sektor konstruksi atau perkebunan menjadi buruh upahan dengan gaji di bawah upah minimum. Banyak pula pekerja yang legal di periode pertama kemudian masuk kembali dengan menyeludup karena telah memahami peta atau medan di lapangan.

Ketiga adalah pekerja yang masuk dalam kategori perdagangan manusia, yaitu mereka yang bekerja dengan cara terpaksa baik karena terikat sistem utang, menjadi korban penipuan hingga penculikan. Adelina masuk dalam kategori ketiga ini, di mana ia menjadi TKI tanpa kehendak dan tidak mendapat izin orang tua mereka.

Kategori kedua dan ketiga umumnya sangat dekat dengan sindikat perdagangan manusia, yang bisnis mereka umumnya tidak hanya memfasilitasi seseorang untuk bekerja, tetapi juga terkait dengan perdagangan narkoba, prostitusi, penyelundupan barang-barang dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya.

Kata sindikat di sini penting untuk menekankan bahwa ada keterlibatan banyak pihak mulai aparat birokrasi, aparat keamanan, hingga pihak swasta baik di negara pengirim maupun negara penerima. Hampir tidak mungkin perdagangan manusia terjadi apabila tidak ada unsur dari birokrasi dan aparat keamanan yang terlibat.

Kategori-kategori semacam ini semestinya hanya alat bantu untuk memetakan permasalahan dan tidak menjadi norma yang justru menjadi penghambat perlindungan hak asasi manusia para tenaga kerja. Kerangka berpikir yang dominan selama ini ketika mendengar adanya kekerasan terhadap WNI, khususnya mereka yang bekerja di Malaysia adalah formalitas yaitu mempertanyakan apakah kehadiran mereka dilengkapi oleh dokumen atau tidak (documented or undocumented worker).

Kerangka berpikir formalitas ini sangat bias dan tidak adil karena telah menempatkan TKI kita sebagai pelaku kriminal daripada korban. Ada atau tidak adanya dokumen kelengkapan ketenagakerjaan bukan menjadi pembenaran timbulnya sebuah tindakan kekerasan dari majikan kepada TKI.

Tindak kekerasan dapat terjadi kepada seluruh TKI karena sifat pekerjaan yang rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan baik mereka terdokumentasi maupun tidak. Mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga biasanya rentan akan jam kerja yang panjang, terbatasnya akses terhadap dunia luar, rentan terhadap pelecehan seksual, diskriminasi, dan kondisi kerja atau tempat istirahat yang buruk.

Tantangan di ASEAN

Secara khusus, kasus Adelina menggambarkan betapa terbata-batanya mekanisme perlindungan migran di ASEAN. Meskipun secara historis perpindahan orang lintas batas di kawasan ini terbilang panjang, perlindungan pada migran masih lemah.

Saat ini ada penekan yang lebih besar pada negara-negara anggota ASEAN, yakni kesepakatan bersama bernama Konvensi ASEAN untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya untuk Perempuan dan Anak (ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, especially Women and Children) yang sejak lahir pada 2015 sudah diratifikasi sembilan negara ASEAN (kecuali Brunei Darussalam).

Sifat konvensi yang mengikat hukum ini mengharuskan segenap negara-negara anggota ASEAN untuk secara aktif memberantas kejahatan perdagangan orang dan memperlakukan korban secara manusiawi, memberikan segala macam bantuan yang dibutuhkan mulai bantuan kesehatan jasmani dan mental hingga reintegrasi kepada masyarakat, serta pencegahan kejahatan melalui beragam kerja sama lintas negara.

Komisi HAM ASEAN (AICHR) secara aktif melakukan berbagai cara untuk menghidupkan terus inisiatif kerja sama lintas batas untuk pelaksanaan ACTIP. Tantangan ACTIP adalah bahwa pemangku kepentingan yang harus dilibatkan ada begitu banyak, mulai tingkat pusat hingga daerah.

Saat ini bahkan belum segenap pemangku kepentingan di tingkat pusat yang paham betul cara-cara pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Pemahaman ini perlu ditingkatkan terus sambil diciptakan beragam mekanisme dan instrumen yang bisa digunakan oleh para penegak hukum, pemerintah daerah, dan pegiat masyarakat untuk bergerak bersama sesuai kesepakatan ACTIP.

Saat ini juga ada ASEAN Consensus on Protection and Promotion on the Rights of Migrant Workers, yakni kesepakatan yang ditopang oleh kerja sama antarkementerian tenaga kerja se-ASEAN. Konsensus ini lebih detail dibandingkan deklarasi yang sebelumnya ada terkait perlindungan pekerja migran, karena di dalam konsensus ini disebut hal-hal apa saja yang dijamin diperoleh oleh pekerja migran. Andai saja upaya-upaya ini bisa cepat terbentuk, pemantauan di level pemerintah dan masyarakat bisa lebih efektif.

Namun, menunggu saja sampai segala mekanisme dan instrumen siap seperti layaknya membiarkan kejadian seperti Adelina terulang lagi. Saat ini yang sebaiknya dikembangkan adalah pemberantasan tindak kekerasan kepada para migran; apalagi mereka yang telah dipergunakan tenaganya untuk bekerja di negara lain.

Jika selama ini tugas pencegahan selalu dilakukan hanya oleh negara pengirim (seperti Indonesia dalam kasus Adelina), maka sebenarnya dengan kejadian Adelina maka kita wajib mengampanyekan fungsi pencegahan kekerasan; perekrutan tenaga kerja tanpa dokumen di negara penerima.

Para ibu rumah tangga atau keluarga di negara penerima perlu paham apa saja bentuk culture shock akibat beda budaya yang dialami pekerja maupun keluarga yang mempekerjakan pekerja migran, mulai keterbatasan bahasa, perbedaan kebiasaan, perbedaan cara merespons masalah, hingga soal kebersihan dan kesempatan beribadah dan istirahat. Di Taiwan, kampanye seperti ini dilakukan pemerintah sehingga rumah tangga yang mempekerjakan pekerja migran tahu diri dan tahu batas.

Kesimpulan

Upaya untuk menyelesaikan masalah TKI terutama yang terkait dengan perdagangan manusia di luar negeri memang sangat membutuhkan pendekatan yang sistematis dan holistis. Kita telah banyak melakukan pendekatan kemanusiaan baik melalu kerangka formal HAM, MoU, atau melalui lembaga internasional, namun belum mampu memperbaiki perlakuan semena-mena yang telah terlembagakan kepada TKI kita.

Kita mungkin juga perlu menempatkan prioritas negara mana yang penting untuk diselesaikan dahulu dan dapat dijadikan contoh bagi wilayah penempatan lain. Saat ini tujuan terbesar TKI kita masih di Malaysia.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mendata penempatan TKI ke Malaysia mencapai angka 87.616 orang. Angka ini adalah 37,4% dari total penempatan TKI di luar negeri. Negara penempatan TKI terbesar kedua adalah Taiwan dengan jumlah 77.087 orang dan ketiga Arab Saudi dengan jumlah 13.538 orang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar