Tionghoa,
Antara Sasaran Kebencian
dan
Ketimpangan Sosial
Munawir Aziz ; Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS.COM,
22 Februari
2018
SAAT ini, orang-orang Tionghoa
di Indonesia seolah menjadi sasaran kebencian. Narasi kebencian sedemikian
dahsyat menjadi gelombang yang mengepung kehidupan mereka.
Gelombang kebencian ini,
semakin dahsyat pada proses Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Ahok—nama sapaan
dari Basuki Tjahaja Purnama—beradu kekuatan dengan Anies Baswedan dalam
kontestasi politik.
Citra diri
Ahok—representasi Tionghoa dan non-muslim—beradu melawan Anies Baswedan,
dengan citra pemimpin muslim dan keturunan Arab. Isu pribumi-non pribumi yang
berembus pada masa kampanye seolah menjadi isu yang salah sasaran.
Isu tersebut mempengaruhi
persepsi publik dengan menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas
personal kepada kontestasi isu etnisitas dan agama.
Isu etnis menjadi
perdebatan panjang di media sosial serta menjadi vibrasi isu di kedai-kedai
kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya tidak hanya di Ibu Kota
tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri ini.
Seusai Pilkada DKI
Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak menyurut. Dari
perbicangan dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa ketionghoaan dan
label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi.
Mereka yang Tionghoa
sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.
Bukan
narasi baru
Kebencian terhadap
kelompok Tionghoa merentang panjang dalam sejarah negeri ini. Narasi
kebencian ini berenteng dari masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
hingga Orde Baru.
Pada 1740, misalnya,
sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa dibantai di Batavia. Secara kejam,
Jenderal Adriaan Valckenier membantai orang-orang Tionghoa dari kulminasi
beberapa kasus.
Salah satunya, pada 9
Oktober 1740 terjadi huru-hara di dalam tembok Batavia. Beberapa ratus orang
China yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota Batavia yang sekarang
adalah Museum Sejarah Jakarta—dihabisi di halaman gedung itu.
Peristiwa tersebut meluas
ke beberapa kawasan di Jawa, antara lain di Cirebon, Semarang, dan Lasem.
Drama gelap ini kemudian dikenal sebagai "Geger Pacinan", yang
diulas secara mendalam dalam riset Daradjadi (2013).
Kebencian terhadap
Tionghoa berlanjut pada masa Perang Jawa (1825-1830), ketika orang Tionghoa
difitnah sebagai "pembawa sial" dalam barisan prajurit Diponegoro.
Lalu, di tengah tragedi
1965, orang-orang Tionghoa dikaitkan dengan komunisme dan dianggap mendukung
PKI. Framing ini menjadi senjata politik untuk mendiskriminasi orang Tionghoa
di ruang publik.
Pada masa Orde Baru
berkuasa, kebencian terhadap Tionghoa tidak kalah kejamnya. Soeharto
menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah ekonomi, untuk menarik sebanyak
mungkin keuntungan dalam bisnis.
Barulah ketika KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, kebijakan diskriminatif
terhadap komunitas Tionghoa dicabut. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun
2000, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden terbitan Soeharto pada 1967, yang
membatasi ruang gerak dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa.
Warisan
kebencian
Sejarah panjang kebencian
terhadap orang Tionghoa ternyata membekas dalam. Kebencian ini mudah
dibangkitkan, baik dengan narasi-narasi politik yang dibungkus isu agama
maupun kecemasan terhadap kelompok etnis.
Dari Survei Wahid
Foundation (2017), muncul data betapa etnis Tionghoa menjadi kelompok yang
dibenci. Survei ini merilis bahwa Tinghoa menjadi kelompok yang dibenci
bersama non-muslim, komunis, LGBT, dan kelompok Yahudi. Melibatkan 1.520
responden, 59,9 persen responden survei tersebut memiliki kelompok yang
dibenci.
Bahkan, dari 59,9 persen
pihak yang menguatkan kebencian, 92,2 persen di antaranya tidak setuju bila
anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Lalu,
82,4 persen dari responden yang menyimpan kebencian itu menyatakan tidak rela
jika anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga.
Terlihat, kebencian telah
merasuki urat nadi dan pemikiran personal serta lingkungan keluarga, sehingga
tidak membuka ruang bagi perbedaan di kehidupan sosial mereka. Kebencian
telah menutup pintu gerbang dialog untuk sama-sama saling memahami.
Kebencian ini tentu saja
sangat berbahaya jika terus direproduksi dan diwariskan, apalagi sebagai
kepentingan politik. Padahal, pada awal kemerdekaan Indonesia, para pejuang
dan pendiri bangsa, telah sepakat membangun negeri ini bagi semua golongan
dan etnis.
Soekarno menegaskan,
Indonesia dibangun bukan hanya milik satu etnis. Pada pidato di hadapan
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1
Juni 1945, Soekarno mengungkap bahwa negeri ini didirikan bagi semua golongan
dan lintas etnis.
“Saudara-saudara yang
bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum
Islam, semuanya telah mufakat... Kita hendak mendirikan suatu negara, semua
buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan—baik golongan
bangsawan maupun golongan yang kaya—tetapi semua buat semua,” tegas Bung
Karno di situ.
Di hadapan sidang
tersebut, Bung Karno mengungkap bahwa kebangsaan kita tidak hanya untuk satu
etnis.
“Kebangsaan Indonesia yang
bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan
Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat”.
Mewariskan
cinta, mengubur kebencian
Bagaimana cara mengubur
kebencian-kebencian terhadap orang Tionghoa, atau kelompok etnis lain, bagi
masa depan negeri ini?
Kita perlu mewariskan
cinta, bukan kebencian. Dalam sebuah esai, Gus Dur pernah mengulas
argumentasinya membela Tinghoa.
Lewat esai berjudul
"Beri Jalan Orang Tionghoa" (Majalah Editor, edisi 21 April 1990)
tersebut, Gus Dur mengajak kita untuk memberi ruang bagi orang-orang
Tionghoa, agar mereka ikut memberi sumbangsih bagi Indonesia, yang itu juga
tidak hanya di bidang bisnis.
Gus Dur mengurai, betapa
orang-orang Tionghoa dalam sejarah panjangnya dari masa VOC hingga Orde Baru
hanya diperas kekayaannya untuk kepentingan penguasa.
Selain itu, Gus Dur juga
mengajak kita untuk mengurangi persepsi negatif terhadap kelompok etnis ini.
“... persoalannya bukanlah
bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka
ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada
mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang
kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap mereka seperti itu akan
memperkokoh ‘posisi kolektif’ mereka dalam kehidupan berbangsa, karena
hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang
berupa mitos belaka,” tulis Gus Dur.
Kemudian, ia melanjutkan,
“...semua itu harus dilakukan dengan menghormati kesucian hak milik mereka,
bukan dengan cara paksaan atau keroyokan. Kalau begitu duduk perkaranya,
jelas akses orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa
pembatasan apa pun,” jelas Gus Dur.
Melampaui
energi kebencian
Namun, harus diakui,
muncul keresahan di ruang publik terkait ketimpangan sosial yang terjadi.
Ketimpangan itu mengarah pada jarak ekonomi yang terlalu jauh antara
pengusaha Tionghoa dan warga di sekitarnya. Ini terjadi dalam skala yang
berbeda, mulai dari ranah nasional hingga kabupaten.
Perlu ada komitmen untuk
mendapati cara agar komunitas Tionghoa membuka diri bagi komunitas-komunitas
yang lain. Membuka ruang interaksi ini tidak hanya pada level selebrasi dan
ritual keagamaan, tetapi juga dalam komunikasi keseharian, terutama bagi
generasi-generasi muda lintas etnis dan agama.
Silaturahim
antar-komunitas serta interaksi lintas etnis dan agama niscaya akan membuka
ruang publik yang lebih luas. Kita harus melampaui energi kebencian dengan
membangun interaksi yang sehat dan saling percaya. Kita perlu melampauinya
dengan menebar cinta.
Kita harus melampaui
energi kebencian dengan saling mengenal, berinteraksi, serta mencipta ruang
publik yang bisa mempertemukan pemuda—generasi milenial lintas etnis dan agama—untuk
saling belajar. Inilah tantangan bagi masa depan keindonesiaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar