Delik
Korupsi dalam RUU Hukum Pidana
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana FH UGM
|
KOMPAS,
24 Februari
2018
Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas
Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Tim Pemerintah yang dipimpin
Prof Enny Nurbaningsih juga melibatkan beberapa guru besar hukum pidana,
antara lain Prof Muladi, Prof Barda Nawawi Arief, Prof Nyoman Serikat
Putrajaya (Universitas Diponegoro); Prof Harkristuti Harkrisnowo (Universitas
Indonesia); serta Prof Marcus Priyo Gunarto dan Prof Eddy OS Hiariej
(Universitas Gadjah Mada). Dimasukkannya delik korupsi ke RUU Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP, kemudian diubah jadi RUU HP) telah melalui
perdebatan panjang dengan dasar argumentasi.
Pertama, KUHP yang dibentuk bersifat
integratif dan komprehensif dengan sistem terbuka. Artinya, masih
dimungkinkan pengaturan di luar KUHP terhadap jenis-jenis kejahatan baru di
masa mendatang.
Kedua, dirumuskannya delik korupsi dalam RUU
HP tidaklah berarti menghilangkan sifat extra ordinary dari kejahatan
tersebut. Secara doktriner, suatu kejahatan dikatakan sebagai bijzondere
delic (delik khusus) jika hukum materiil atau hukum formil dari kejahatan
tersebut menyimpang dari ketentuan umum.
Ketiga, kendatipun delik korupsi dimasukkan
dalam RUU HP, hukum acara masih tetap merujuk kepada UU di luar KUHP,
termasuk UU KPK.
Keempat, dalam rangka harmonisasi dan
sinkronisasi eksistensi lembaga-lembaga penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi,
termasuk KPK, akan diatur pada aturan peralihan dalam RUU KUHP. Dengan
demikian, dimasukkannya delik korupsi dalam RUU HP sama sekali tidak
dimaksudkan untuk melemahkan, apalagi meniadakan KPK.
Kelima, United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006 masih harus
disesuaikan dengan hukum nasional.
Merujuk pada UNCAC, ada 11 tindakan yang
dikriminalisasikan sebagai korupsi. Secara garis besar, dari 11 perbuatan
dimaksud, ada yang bersifat mandatory offences dan ada yang bersifat non-
mandatoty offences. Kedua sifat ini tidak terlepas dari kesepakatan
negara-negara peserta dalam konvensi tersebut.
Jika suatu tindakan yang dikriminalisasikan
bersifat mandatory berarti ada kesepakatan seluruh peserta konvensi untuk
mengatur tindakan tersebut dalam UU nasionalnya sehingga menimbulkan
kewajiban dari state party. Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat
non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan di antara para peserta konvensi
untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai kriminal. Konsekuensinya, state
party boleh tidak mengatur perbuatan tersebut dalam hukum nasionalnya.
Tindakan kriminalisasi
Ada lima tindakan yang dikriminalisasikan
dalam UNCAC bersifat mandatory offences, yakni: (1) penyuapan pejabat publik
nasional; (2) penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi
internasional publik; (3) penggelapan, penyelewengan, atau pengalihan
kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik; (4) pencucian hasil
kejahatan; dan (5) perbuatan menghalang-halangi proses peradilan. Sementara
ada enam tindakan bersifat non-mandatory offences: (1) memperdagangkan
pengaruh; (2) penyalahgunaan fungsi; (3) memperkaya secara tidak sah; (4)
penyuapan di sektor swasta; (5) penggelapan kekayaan dalam sektor swasta; dan
(6) penyembunyian.
Perumusan tindakan-tindakan yang
dikriminalisasi dalam suatu konvensi internasional, sebagaimana juga yang
terdapat dalam UNCAC, memiliki karakteristik tersendiri. Pertama, perumusan
tindakan yang dikriminalisasikan saling tumpang tindih antara satu dan yang
lain. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, unsur-unsur tindakan yang
dikriminalisasikan jadi tidak jelas. Tegasnya, perumusan yang demikian tidak
memenuhi syarat lex certa (aturan pidana harus jelas) sebagai hal yang prinsip
dalam asas legalitas. Ketiga, perumusan tindakan-tindakan yang
dikriminalisasikan tidak diikuti oleh suatu sanksi pidana yang tegas.
Karakteristik perumusan yang demikian bukan tidak ada tujuannya. Hal ini
dimaksudkan agar pelaku kejahatan internasional dapat dijerat dengan berbagai
perumusan yang tumpang tindih. Artinya, jangan sampai pelaku kejahatan
internasional lolos dari hukuman.
Apabila dihubungkan dengan asas legalitas
dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya
asas legalitas dalam hukum pidana nasional. Selain karena hukum pidana
internasional tak dikodifikasi sebagaimana hukum pidana nasional, hukum
pidana internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional sehingga
sangat dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum
kebiasaan internasional. Padahal, dalam konteks hukum pidana nasional ukuran
berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum tertulis (lex scripta) dan
aturan yang jelas (lex certa) sehingga tidak dibenarkan berlakunya asas
legalitas hanya berdasarkan hukum kebiasaan.
Masih diperdebatkan
Saat ini ada tiga kejahatan yang jadi
perdebatan apakah akan dimasukkan ataukah tidak dalam RUU HP: memperdagangkan
pengaruh, korupsi di sektor swasta, dan memperkaya secara tak sah.
Pertama, memperdagangkan pengaruh. Ketentuan
ini perlu diatur dalam RUU HP dalam rangka memberantas perilaku koruptif
dengan memperluas orang-orang yang dapat dijatuhi pidana. Apabila dihubungkan
dengan teori penyertaan ekstensif berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No
1/1955/MA Pid, memperdagangkan pengaruh memperluas pelaku kejahatan: tidak
hanya mereka yang melakukan perbuatan secara materiil dan memiliki syarat
persoonlijk sebagaimana dirumuskan dalam rumusan delik, tetapi lebih dari itu
bahwa di antara para pelaku peserta tidak perlu harus punya sifat dan
karakteristik yang sama seperti dituangkan dalam rumusan delik.
Memperdagangkan pengaruh ini dibagi menjadi dua, yaitu memperdagangkan
pengaruh secara aktif dan pasif.
Kedua, perihal korupsi di sektor swasta yang
terdiri dari penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di sektor
swasta. Ketentuan ini merupakan hal baru dalam pemberantasan korupsi. Kendati
korupsi di sektor swasta bersifat non-mandatory offences, perlu dimasukkan ke
dalam RUU HP berdasarkan argumentasi berikut: pertama, korupsi yang terjadi
di Indonesia hampir selalu melibatkan pihak swasta. Kedua, salah satu latar
belakang internasionalisasi kejahatan korupsi adalah karena korupsi dianggap
merusak pasar. Dalam hal ini adalah korupsi di sektor pengadaan barang dan
jasa yang selalu melibatkan swasta. Ketiga, ketentuan pasal-pasal a quo dalam
UNCAC adalah untuk melindungi sektor swasta dari tindakan-tindakan koruptif
setiap orang yang bekerja di sektor swasta tersebut.
Ketiga, terkait memperkaya secara tidak sah.
Pada hakikatnya ketentuan ini sepadan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) serta masih tetap dipertahankan dalam RUU HP.
Bahkan, ketentuan Pasal 2 dan 3 lebih tegas dan jelas jika dibandingkan
dengan ketentuan memperkaya secara tidak sah dalam UNCAC. Pasal 2 UU Tipikor, korupsi tidak hanya memperkaya
diri sendiri, tetapi juga memperkaya orang lain atau korporasi dengan cara
melakukan perbuatan melawan hukum.
Demikian juga dengan ketentuan Pasal 3 yang
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatannya. Selain itu, ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 B UU Tipikor sudah
mengatur mekanisme pembuktian terhadap harta kekayaan yang belum didakwakan,
tetapi diduga merupakan hasil korupsi sehingga dapat dirampas untuk negara.
Tegasnya, ketentuan memperkaya secara tidak
sah dalam UNCAC tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU HP. Selain ketentuan
itu bersifat non-mandatory offences, formulasi aturan yang tidak jelas juga
sangat berbahaya bagi penegakan hukum karena dengan mudah aparat penegak
hukum mengkriminalisasi perbuatan secara sepihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar