Pangkas
Aturan Buat Siapa?
Thonthowi Djauhari
; Co-Founder Indonesian Energy and
Enviromental Institute
|
DETIKNEWS,
27 Februari
2018
Kemudahan perizinan di
Indonesia selama bertahun-tahun banyak dikeluhkan pelaku bisnis, tak
terkecuali di bidang energi dan sumber daya mineral. Di industri hulu migas
misalnya, hingga 2015 pelaku bisnis masih harus mengurus lebih dari 300 izin.
Izin-izin yang harus diurus di lebih dari 15 instansi tersebut jika dicetak
bisa mencapai 600 ribu lembar.
Kemudahan perizinan ini
tentu sangat berkaitan dengan kemudahan dalam menjalankan bisnis dan
investasi. Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat
antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis, dan tingkat daya saing ekonomi.
Hal ini tampak dalam penelitian Bank Dunia yang tiap tahun dikeluarkan dalam
bentuk peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing bussiness) negara-negara
di dunia.
Pada survei 2015,
Indonesia ada di peringkat 120, sedangkan Singapura menduduki peringkat
pertama. Setahun berikutnya, Indonesia masih berada di peringkat 109 dari 189
negara yang disurvei. Pada Doing Bussiness 2018, peringkat Indonesia naik
dari posisi 91 pada 2017 ke posisi 72 untuk 2018.
Bank Dunia membuat
peringkat ini berdasarkan berbagai indikator pencapaian sektor publik
(pemerintah) dalam memperbaiki regulasi iklim usaha, dan investasi di
negaranya masing-masing. Ada 10 indeks komponen penentu peringkat kemudahan
berbisnis tersebut. Komponen tersebut meliputi kemudahan memulai usaha,
memperoleh sambungan listrik, pembayaran pajak, dan pemenuhan kontrak.
Kemudian penyelesaian kepailitan, pencatatan tanah dan bangunan, permasalahan
izin pembangunan, akses kredit, perlindungan investor, dan perdagangan lintas
negara.
Karena itu, survei yang
dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan
menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Tak heran jika Presiden
Joko Widodo masih belum puas dengan pencapaian Indonesia tersebut. Presiden
menginginkan Indonesia berada di peringkat 40. Tentu saja untuk mencapainya
butuh upaya yang sangat keras.
Salah satu unsur yang
perlu terus dibenahi guna mencapai target tersebut adalah penyederhanaan
peraturan. Dalam konteks inilah, sepertinya sejumlah menteri kemudian
melakukan pembenahan. Salah satunya dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Kementerian yang
dipimpinnya telah mencabut 32 aturan, yang kemudian ditambah dengan
pencabutan 22 regulasi lainnya. Aturan yang dicabut berupa peraturan menteri,
keputusan menteri, juklak, aturan perizinan, dan peraturan kerja di
direktorat jenderal, serta Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pencabutan 22 aturan
tersebut merupakan bagian dari penyederhanaan 51 aturan menjadi 29 aturan.
Rinciannya, di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas dari 10 aturan menjadi 7
aturan. Pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dari 2 aturan menjadi 1
aturan.
Pada Direktorat Jenderal
Mineral dan Batubara disederhanakan dari 6 aturan menjadi 1 aturan. Aturan di
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE)
disederhanakan dari 6 aturan menjadi 2 aturan. Regulasi di Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
disederhanakan dari 27 aturan menjadi 18 aturan.
Jonan berharap pencabutan
peraturan tersebut akan meningkatkan fleksibilitas investasi. Sehingga,
target investasi di sektor ESDM sebesar 50 miliar dollar AS pada 2018, yang
berarti hampir dua kali lipat target tahun sebelumya, dapat tercapai.
Di kementerian ini,
sebelumnya memang banyak perizinan yang berdiri sendiri. Perizinan pembelian
peralatan dan penggunaan tenaga kerja misalnya, disederhanakan menjadi satu
dalam rencana kerja serta anggaran biaya.
Dalam investasi penyalur
bahan bakar minyak (BBM) dan LPG (liquefied petroleum gas) pun demikian.
Investor yang ingin membangun stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU)
sebelumnya harus mengantongi 31 sertifikat yang mencakup berbagai macam
perizinan. Pencabutan peraturan yang telah dilakukan, membuat investor cukup
punya satu sertifikat perizinan.
Pencabutan aturan tersebut
terlihat memang untuk mempersingkat rantai birokrasi. Menteri Jonan pun
secara terbuka pun telah meminta jajarannya tidak memperpanjang birokrasi
yang bisa menghambat investasi. Apalagi untuk menambah penghasilan pribadi.
Langkah yang dilakukan
Kementerian ESDM tampaknya memang sudah di jalur yang tepat, guna
meningkatkan kualitas birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
pun telah menyebutkan, bahwa peraturan perundangan-undangan yang inkonsisten,
tumpang-tindih, multitafsir, dan tidak jelas adalah salah satu sumber
rendahnya kualitas birokrasi di Indonesia. Kini, selain meneruskan
perampingan regulasi, Kementerian ESDM perlu pula meningkatkan fokus dalam
efisiensi organisasi pemerintahan, peningkatan kualitas sumber daya manusia
aparatur pemerintahan, serta peningkatan manajemen kinerja pemerintahan di
lingkungannya.
Perundang-undangan,
organisasi, SDM, dan manajemen pemerintahan memang kunci kualitas birokrasi.
Dan, pembenahan birokrasi adalah kunci pembangunan guna meningkatkan daya
saing bangsa. Adalah fakta bahwa keberhasilan pembangunan di Korea Selatan
dan China misalnya, terletak pada usaha yang sistematis dan sungguh-sungguh
untuk memperbaiki sistem, struktur dan budaya dalam birokrasi. Seperti kita
tahu, Korea Selatan dan Cina kini memiliki daya saing yang kuat di tingkat
global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar