Gila
di Zaman Edan
Ali Maschan Moesa ; Wakil rais syuriah PW NU Jatim;
Guru Besar Sosiologi UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 27 Februari 2018
ORANG disebut gila jika berperilaku
aneh di tengah masyarakat. Biasanya mereka mempunyai jalan pikiran yang kacau
dan bicaranya ngelantur.
Pakaian mereka
compang-camping, bahkan ada di antara mereka yang telanjang bulat. Maklum,
’’sak piring kurang sak sendok”, kata banyak orang.
Pada zaman dahulu, banyak
orang yakin bahwa gila adalah kutukan Tuhan (madness was seen as a curse of
God). Atau, paling tidak, secara supranatural gila adalah hukuman atas dosa
yang ia lakukan (a punishment for sin). Sikap yang agak soft adalah pandangan
masyarakat yang meyakini bahwa orang gila disebabkan faktor genetik dan
keturunan.
Sebenarnya secara medis
para dokter jiwalah yang lebih mengetahui derajat gangguan kejiwaan (illness)
seseorang. Mereka memandangnya sebagai gejala mental abnormality. Sementara
itu, dalam perspektif sosiologi, penyakit tersebut disebabkan faktor
lingkungan. Bahkan, gila dan bunuh diri pernah menjadi kajian yang melahirkan
karya yang monumental dari Emile Durkheim dan melahirkan karya Suicide atau
la suicide. Ia meyakini bahwa gejala sakit jiwa dan bunuh diri berkorelasi
kuat dengan derajat integrasi sosial.
Namun, saat ini orang
menjadi bingung atau tanda tanya mengapa orang-orang gila ini sedang memusuhi
tokoh-tokoh agama. Mereka sedang melakukan kekerasan terhadap kiai, ustad,
pendeta, romo, dan para rohaniwan hampir semua agama.
Dalam perspektif ramalan
R. Ng. Ranggawarsita, mungkin memang ’’jaman edan’’ sudah datang. Ia
mengemukakan’grandnarrative”sebagai berikut:”Yen wis Pulo Jawa kalungan wesi.
Yen wis ono perahu melaku nang awang-awang. Yen wis ono kereta tanpo jaran.
Yen wis ono pasar ilang kumandange. Yen wis ono kali ilang kedunge. Udan
salah mongso, dulur dadi musuh, guru dadi sateru. Yen wis akeh perawan
tuwa-tuwa, nanging akeh randa ngelahirna anak. Wong pinter keblinger, wong
bener tenger-tenger, wong apik ditampik-tampik, wong jahat munggah pangkat…
Mengko yen wis ono perang soko lor, soko kidul, soko etan, soko kulon; iku
tandane menungso ketekan jaman edan”.
Selanjutnya, di akhir
ramalan agung tersebut, ia berwasiat sebagai berikut:”Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen ora melu edan, bakal ora
keduman kaliren wekasane. Dilalah kersane ngalah (Allah), sak begja-begjane
wong kang lali isih begja wong kang eling (Tuhan) lan waspada”. Namun,
sekarang sudah diubah, ’’Sak begja-begjane wong kang lali isi begja wong kang
’maling’ kelawan waspada’’.
Memang mulai tahun ini
adalah tahun politik. Sudah barang tentu banyak bensin yang siap dibakar.
Apalagi, politisi kita tampaknya tidak mau naik kelas. Mereka tidak ingin
menjadi negarawan. Mereka tetap istiqamah sebagai pengikut Las Well bahwa
politik itu exercise of power. Politik adalah who get what, when, and how.
Orang bawah menyatakannya sebagai ayat kursi. Jika sudah dapat kursi, lupa ayatnya;
atau dengan ungkapan lain politik adalah ’’berjuang” (beras, baju, dan uang).
Dalam budaya politik seperti ini, sering kali tanpa sadar pengertian
’’bersaing” dikacaukan dengan pengertian ’’tak mau kalah”. Budaya tak mau
kalah sering membuat para politisi melakukan apa saja, benar maupun salah,
yang penting tidak kalah dari kompetitor. Dampak yang paling berbahaya adalah
kebiasaan saling tuding, balas dendam, debat kusir, korupsi, dan rusuh.
Mental tak mau kalah ini selalu menafikan harkat dan martabat sebagai
manusia, tidak mempunyai rasa malu, bahkan sering menimbulkan kebrutalan.
Alhasil, dalam perspektif
ini, ada empat model respons masyarakat terhadap hal-hal yang negatif.
Pertama, buffaloes wallowing (kerbau yang melenguh dalam lumpur). Mereka adalah
kelompok yang selalu menyalahkan pihak lain. Para politisi menyalahkan
pemerintah, pemerintah menyalahkan pengusaha, dan pengusaha menghujat
kelompok lain. Ditambah lagi saat ini mulai banyak tokoh agama yang
pekerjaannya caci maki sana-sini dan disertai marah melulu. Sementara itu,
problem pokok bangsa tidak terselesaikan.
Kedua, wolves prowling
(serigala yang buas yang selalu mencari mangsa). Mereka adalah kelompok yang
ingin melestarikan kegaduhan dan kegelapan. Sebab, rezeki mereka justru
bertambah banyak kalau situasinya ’’andilau” (antara dilema dan galau).
Ketiga, birds crumbling (burungburung yang berebut sisa makanan). Mereka ini
adalah kelompok yang menjadi makmum kelompok kedua. Sebab, memang rezeki
mereka menyadong sisa-sisa makanan binatang buas tersebut.
Keempat, fire-flies
arising (kunangkunang bermunculan). Mereka adalah komunitas yang lebih arif
membaca tanda-tanda zaman. Mereka adalah kelompok yang selalu berpikir untuk
mencari solusi. Mereka meyakini, saling menghujat dan marah-marah terhadap
kegelapan tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka adalah yang bertausiah
bahwa dalam kegelapan, yang diperlukan adalah segera menyalakan lampu atau
lilin agar segera jelas apa penyebab dari ’’kisah nyata orang gila’’
tersebut. Karena itu, dalam perspektif shaping the future, sungguh relevan
pemikiran model keempat ini bagi bangsa ini.
Namun, persoalannya,
berapa banyak orang yang memilih model keempat ini. Ya,… para agamawan
sendiri yang harus memulainya dan selalu berupaya mendinginkan situasi bersama
para domba-dombanya. Dan… kita harus tetap mempunyai mimpi besar agar bangsa
ini tetap ’’jaya-jaya wijayanti nir ing sambikala dalah reribet ”. ●
|
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia