Minggu, 04 Februari 2018

Alpa Mengatur Hak untuk Dilupakan

Alpa Mengatur Hak untuk Dilupakan
Hanafi Rais  ;  Wakil Ketua Komisi I DPR-Fraksi PAN
                                           MEDIA INDONESIA, 03 Februari 2018



                                                           
NOVEMBER tahun lalu, media massa dan media sosial diramaikan beredarnya video sepasang laki-laki dan perempuan yang diarak dan ditelanjangi massa di Banten.  Tepat setahun sebelumnya, Revisi UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi diberlakukan. Dua kejadian berbeda ini punya benang biru yang sama.

Laki-laki dan perempuan yang diarak dan ditelanjangi itu rupanya bukan pasangan mesum, seperti yang awalnya diduga massa setempat. Mereka korban prasangka, bahkan persekusi. Kepolisian setempat bahkan memperkuatnya dengan menjerat para pelaku pengarak dengan pasal pidana.

Namun, nasi sudah jadi bubur. Kini, saat kita memasukkan kata 'mesum', 'diarak', 'telanjang', dan 'Banten' di mesin pencari Google, akan muncul banyak pemberitaan tentang pasangan tersebut. Padahal, mereka tidak mesum. Mereka tidak bersalah atas tindakannya. Namun, publik dan internet sudah telanjur mengingat dua orang itu dengan dugaan mesum.

Nama dan identitas mereka bisa dengan mudah ditelusuri lewat pencarian sederhana di mesin perambah. Persekusi yang bermula dari salah sangka itu akan menjadi aib mereka seumur hidup. Kondisi yang amat disayangkan ini seharusnya bisa terhindarkan bila pemerintah serius melaksanakan amanat revisi UU 11/2008 tentang ITE.

Dalam revisi beleid tersebut, salah satunya diatur tentang right to be forgotten di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet.

Secara lengkap, isi dari Pasal 26 adalah (1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. (2) Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.

Menjaga kepentingan publik

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak 2006.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu utang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi utang tersebut.

Ia menggugat Google untuk menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan.

Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral.

Namun, Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Akan tetapi, dua tahun setelah revisi UU ITE diberlakukan, pemerintah tidak kunjung menyusun pedoman teknis pelaksanaan hak untuk dilupakan ini.

Hingga sekarang belum ada peraturan pemerintah atau petunjuk teknis yang mengatur hak untuk dilupakan ini.

Ketiadaan aturan itu membuat pasangan korban persekusi di Banten itu harus menanggung malu hingga saat ini.

Penganiayaan dan permaluan publik yang mereka terima akan terus ada dalam mesin pencari Google tanpa ada upaya revisi atau rehabilitasi nama baik.

Bila mengacu ke Pasal 26 UU ITE, pasangan itu harus mengajukan gugatan ke pengadilan terlebih dahulu agar Google menghilangkan hasil pencariannya.

Bahkan, harus ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Butuh waktu lama dan proses berlarut hingga mereka 'bersih' nama baiknya.

Dalam konteks ini, negara harus hadir dan memahami kondisi psikis korban.

Tidak sekadar melindungi korban salah sasaran seperti pasangan di Banten itu, aturan mengenai hak untuk dilupakan juga penting untuk menjaga kepentingan publik.

Lewat aturan itu, akan ada batas yang jelas dalam hak untuk dilupakan ini, bisa digunakan untuk melindungi kepentingan publik terkait dengan akses terhadap informasi.

Contoh gampangnya, warga negara bisa dengan mudah mencari rekam jejak seseorang.

Khususnya pejabat publik, mantan pejabat, calon pejabat, badan publik maupun swasta, baik di dalam negeri maupun internasional.

Dari riset sederhana di mesin pencari seperti Google, kita bisa mengetahui rekam jejak yang bersangkutan dalam banyak hal.

Mulai sikapnya untuk penegakan HAM, lingkungan hidup, hingga korupsi.

Dengan adanya informasi itu, publik bisa mengetahui kualitas dan integritas yang bersangkutan sehingga bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk menentukan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Publik punya hak untuk tahu rekam jejak buruk calon pemimpin mereka atau pejabat publik yang digaji dari uang pajak.

Dengan mempertimbangkan manfaat dan mudarat tadi, pemerintah diharap bisa mengatur secara rigid.

Mulai kriteria informasi apa saja yang bisa dihapus atau dilupakan.

Lalu apakah informasi itu juga harus dihapus dari hasil pencarian saja, atau bahkan sampai konten berita dan posting-an di media sosial?

Sebabnya, saat ini kita bisa mengakses informasi dari berbagai sumber.

Mulai berita-berita arus utama sampai sekadar curahan hati warganet di halaman media sosial pribadi mereka.

Jelas dan tegas

Frasa 'relevan' yang termaktub dalam pasal 26 itu pun harus didefinisikan secara jelas dan tegas sehingga tidak disalahgunakan.

Jangan sampai seseorang yang pernah melakukan kejahatan serius bisa meminta Google menghapus link berita tentang dirinya dengan alasan 'tidak relevan'.

Contohnya, catatan tentang seseorang yang pernah terlibat dalam peredaran narkotika, melakukan penipuan, atau malah diduga korupsi, tentu tidak pas untuk masuk kategori informasi yang bisa dilupakan.

Apa jadinya bila publik tidak tahu tentang rekam jejak seorang staf ahli menteri, yang ternyata pernah berurusan dengan KPK dan diduga ikut menghilangkan barang bukti korupsi ketika lembaga antikorupsi itu hendak menggeledah kediamannya.

Manusia bisa saja lupa, tapi internet tidak pernah lupa. Oleh karena itulah, kita sering mendengar pemeo, 'jejak digital memang kejam'.

Dengan adanya aturan dari Kemenkominfo nanti, masyarakat juga bisa tahu batas, apa saja yang boleh minta dihapus.

Baik itu berita mauoun posting media sosial.

Aturan turunan dan teknis dari 'hak untuk dilupakan' ini juga sedianya bisa memagari atau melindungi data pribadi sehingga urusan yang sangat pribadi seseorang tidak serta-merta menjadi informasi publik atas nama keterbukaan informasi.

Jejak digital tidak perlu sekejam itu.

Tentu perkara rumah tangga seorang politikus tidak perlu diumbar, seperti halnya kasus korupsi yang ia hadapi.

Cerita masa kecil dan kejahatan trivial macam mencuri mangga yang pernah dilakukan seseorang atau calon pejabat publik tentu bukan informasi relevan yang perlu diingatkan internet sepanjang saat.

Kita harus sadar, selain berkeadilan, hukum harus berperikemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar