Politik
dan Etika Pancasila
Silverius Y Soeharso ; Deputi Kepala UKP-PIP Bidang
Pengendalian dan Evaluasi; Alumnus
PPRA 46 Lemhannas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2018
TAHUN 2018 hingga 2019 disebut sebagai tahun politik. Mengapa
tahun politik? Mengapa tidak ada tahun ekonomi atau tahun kebudayaan?
Tahun politik lebih populer karena paling banyak melibatkan
partisipasi dan aktivitas politik masyarakat di semua lapisan. Politik untuk
memilih calon kepala daerah yang 'disukai', politik untuk mendapatkan manfaat
ekonomi dari pesta demokrasi, politik untuk mendapatkan jabatan,
proyek-proyek infrastruktur, dan tak ketinggalan bisnis konsultan politik
ikut kecipratan rezeki dari tahun politik. Maka, tahun politik lebih seksi
dan berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Di 2018 ini akan digelar pilkada di 171 daerah, yang meliputi 17
provinsi dan 154 Kabupaten/Kota.
Meskipun puncaknya akan berlangsung pada 27 Juni 2018, sejak
2017 hingga awal 2018 ini persiapan dan 'pesta' kecil-kecilan sudah
berlangsung.
Lobi-lobi dan kasak-kusuk (positif maupun negatif) sudah
berseliweran. Isu mahar politik dan kampanye hitam juga bergulir.
Selain dinamika politik yang kian memanas itu, Pilkada Serentak
2018 akan menjadi barometer Pileg dan Pilpres 2019.
Kontestasi politik 2018 ialah semifinal guna menghadapi grand
final pada 2019.
Pengalaman penyelenggaraan Pilkada 2015 di 269 daerah dan 2017
di 269 daerah secara umum berjalan lancar dan patut dibanggakan.
Kematangan dan kedewasaan elite-elite politik kita patut
diacungi jempol.
Meskipun terjadi perselisihan dalam hasil perolehan suara, semua
pihak yang bertikai taat pada putusan MK.
Kalaupun ada percikan-percikan kecil, konflik horizontal dan
vertikal, itu tidak membuat Indonesia terpecah belah.
Namun, meski situasi politis masyarakat pascapilkada dapat
kembali ke titik keseimbangan (equilibrium), bagaimana dengan situasi
sosiologis dan psikologisnya?
Apakah pesta demokrasi lima tahunan ini mampu menguatkan
keterikatan psikologis kita sebagai satu bangsa?
Atau justru terjadi segregasi sosial berdasarkan label in-group
versus out-group, sebagai efek samping dari politisasi identitas berbau SARA,
seperti dalam pilkada DKI.
Dalam beberapa kasus pilkada, misalnya, pesta demokrasi yang
seyogianya menjadi wadah perjumpaan antaranak bangsa dalam suasana sukacita
justru menimbulkan trauma psikis berkepanjangan akibat intimidasi, teror
mental, dan marginalisasi satu kelompok terhadap kelompok lain hanya karena
pilihan politik yang berbeda.
Strategi pemenangan pilkada dengan cara memolitisasi identitas
primordial sangat berbahaya bagi kohesivitas bangsa dan identitas nasional
Indonesia.
Secara psikologis, kelompok yang kalah mengalami trauma psikis
yang berujung pada kemunduran mental dan moril berkepanjangan.
Wujudnya bisa perasaan kecewa yang mendalam, stigma terhadap
memori kebersamaan masa lalu, dendam dan amarah yang tak berkesudahan, stres,
bahkan sampai depresi berat.
Para pelaku politik yang menggunakan isu primordial (SARA)
kurang memperhitungkan 'ongkos psikologis' yang dapat dialami saudara-saudara
sebangsanya.
Sejatinya kontestasi pilkada ibarat pertandingan tinju, begitu
bel berbunyi bertandinglah sekeras-kerasnya dengan teknik dan stamina yang
prima.
Namun, begitu pertandingan usai, semuanya saling merangkul dan
kembali pada kehidupan kebersamaan sebagai satu bangsa.
Namun, jika kemenangan itu akhirnya menimbulkan 'derita batiniah
dan lahiriah' bagi pihak yang kalah, apa gunanya menang di pilkada?
Dapatkah pesta demokrasi menjadi sarana untuk memperkuat paham
dan rasa kebangsaan kita? Siapa yang bertanggung jawab atas 'ongkos
psikologis' yang diderita saudara-saudara kita sendiri?
Bisakah kampanye politik dilakukan dengan menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila?
Norma dasar
Para pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai norma dasar
(grundnorm) dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Dalam hierarki hukum nasional, Pancasila menempati kedudukan
tertinggi, yang disusul UUD 1945, UU, dan berbagai peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Norma dasar itu ialah norma tertinggi.
Menurut pandangan Edisius Riyadi (2017), Pancasila sebagai norma
dasar tidak hanya bermakna substansial-material, tapi juga prosedural-formal.
Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di
Indonesia baik yang tertulis maupun tidak harus mengacu ke Pancasila sebagai
rujukan tertingginya.
Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan
mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang, saling menghormati, dan toleran
(wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan dan
persatuan (sila ketiga), demokrasi-musyawarah (sila keempat), serta
solidaritas sosial yang berkeadilan (sila kelima).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu menjadi landasan
etis atau pedoman perilaku baik dan buruk masyarakat di ruang-ruang publik.
Nilai-nilai itu terkait membentuk sistem etika di bidang
politik, ekonomi, sosial-budaya, dsb.
Etika Pancasila menghendaki kukuhnya persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia dalam wadah NKRI berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Kampanye hitam, fitnah, isu SARA, berita bohong, dan negatif
yang menyerang pribadi kontestan atau partai lain berarti melanggar etika
Pancasila dan patut dikenai sangsi sosial dan politis.
Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya menjadi national
public norm dan leading principles, baik bagi penyelenggara negara (khususnya
penyelenggara pemilu), parpol, elite politik, dan masyarakat sebagai subjek
politik.
Sistem ini tidak hanya menjadi rambu-rambu bagi perilaku
politisi, tetapi juga bagi semua pemangku kepentingan. KPU, Bawaslu,
konsultan politik, serta lembaga survei politik, memiliki kewajiban moral
yang sama dan berkontribusi terhadap terciptanya kualitas demokrasi yang
bermartabat, demokratis, dan manusiawi.
Elegan dan bermartabat
Sayangnya etika kehidupan berbangsa yang diatur dalam Tap MPR RI
No VI/MPR/2001 yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila belum berjalan
efektif.
Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa itu disusun untuk
memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam
kehidupan berbangsa.
Namun, karena ketiadaan sistem reward and punishment yang
terukur, serta lemahnya kedudukan Tap MPR dalam hierarki hukum, etika
kehidupan berbangsa itu menjadi teks tanpa makna.
Kita berharap, pesta demokrasi pada 2018 ini dan 2019 menjadi
pesta demokrasi dan ajang kontestasi yang elegan dan bermartarbat,
diselenggarakan dengan penuh kegembiraan.
Betapa pun kerasnya kompetisi, jangan sampai itu merobohkan
bangunan rumah bersama, bernama Indonesia. Pihak yang menang semestinya
menjadi the great winner tanpa niat menyengsarakan pihak lain.
Sementara itu, pihak yang kalah seyogianya menjadi the good
loser, mau menerima kekalahan dengan lapang dada dan siap bekerja sama.
Salam Pancasila. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar