Alpa
Mengatur Hak untuk Dilupakan
Hanafi Rais ; Wakil Ketua Komisi I
DPR-Fraksi PAN
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2018
NOVEMBER tahun lalu, media massa dan media sosial diramaikan beredarnya
video sepasang laki-laki dan perempuan yang diarak dan ditelanjangi massa di
Banten. Tepat setahun sebelumnya,
Revisi UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) resmi
diberlakukan. Dua kejadian berbeda ini punya benang biru yang sama.
Laki-laki dan perempuan yang diarak dan ditelanjangi itu rupanya
bukan pasangan mesum, seperti yang awalnya diduga massa setempat. Mereka
korban prasangka, bahkan persekusi. Kepolisian setempat bahkan memperkuatnya
dengan menjerat para pelaku pengarak dengan pasal pidana.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Kini, saat kita memasukkan kata
'mesum', 'diarak', 'telanjang', dan 'Banten' di mesin pencari Google, akan
muncul banyak pemberitaan tentang pasangan tersebut. Padahal, mereka tidak
mesum. Mereka tidak bersalah atas tindakannya. Namun, publik dan internet
sudah telanjur mengingat dua orang itu dengan dugaan mesum.
Nama dan identitas mereka bisa dengan mudah ditelusuri lewat
pencarian sederhana di mesin perambah. Persekusi yang bermula dari salah sangka
itu akan menjadi aib mereka seumur hidup. Kondisi yang amat disayangkan ini
seharusnya bisa terhindarkan bila pemerintah serius melaksanakan amanat
revisi UU 11/2008 tentang ITE.
Dalam revisi beleid tersebut, salah satunya diatur tentang right
to be forgotten di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk dihapuskan
informasi tentang dirinya di media internet.
Secara lengkap, isi dari Pasal 26 adalah (1) Setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang
tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang
bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. (2) Setiap penyelenggara
sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi
elektronik yang sudah tidak relevan.
Menjaga kepentingan publik
The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi
perbincangan di Uni Eropa sejak 2006.
Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa
pemberitaan mengenai suatu utang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi
untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi utang tersebut.
Ia menggugat Google untuk menghapus seluruh tautan pemberitaan
tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan.
Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin
menjadi platform informasi yang netral.
Namun, Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden
yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.
Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni
Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media
sosial.
Akan tetapi, dua tahun setelah revisi UU ITE diberlakukan,
pemerintah tidak kunjung menyusun pedoman teknis pelaksanaan hak untuk
dilupakan ini.
Hingga sekarang belum ada peraturan pemerintah atau petunjuk teknis
yang mengatur hak untuk dilupakan ini.
Ketiadaan aturan itu membuat pasangan korban persekusi di Banten
itu harus menanggung malu hingga saat ini.
Penganiayaan dan permaluan publik yang mereka terima akan terus
ada dalam mesin pencari Google tanpa ada upaya revisi atau rehabilitasi nama
baik.
Bila mengacu ke Pasal 26 UU ITE, pasangan itu harus mengajukan
gugatan ke pengadilan terlebih dahulu agar Google menghilangkan hasil
pencariannya.
Bahkan, harus ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Butuh waktu lama dan proses berlarut hingga mereka 'bersih' nama
baiknya.
Dalam konteks ini, negara harus hadir dan memahami kondisi
psikis korban.
Tidak sekadar melindungi korban salah sasaran seperti pasangan
di Banten itu, aturan mengenai hak untuk dilupakan juga penting untuk menjaga
kepentingan publik.
Lewat aturan itu, akan ada batas yang jelas dalam hak untuk
dilupakan ini, bisa digunakan untuk melindungi kepentingan publik terkait
dengan akses terhadap informasi.
Contoh gampangnya, warga negara bisa dengan mudah mencari rekam
jejak seseorang.
Khususnya pejabat publik, mantan pejabat, calon pejabat, badan
publik maupun swasta, baik di dalam negeri maupun internasional.
Dari riset sederhana di mesin pencari seperti Google, kita bisa
mengetahui rekam jejak yang bersangkutan dalam banyak hal.
Mulai sikapnya untuk penegakan HAM, lingkungan hidup, hingga
korupsi.
Dengan adanya informasi itu, publik bisa mengetahui kualitas dan
integritas yang bersangkutan sehingga bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk
menentukan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Publik punya hak untuk tahu rekam jejak buruk calon pemimpin
mereka atau pejabat publik yang digaji dari uang pajak.
Dengan mempertimbangkan manfaat dan mudarat tadi, pemerintah
diharap bisa mengatur secara rigid.
Mulai kriteria informasi apa saja yang bisa dihapus atau
dilupakan.
Lalu apakah informasi itu juga harus dihapus dari hasil
pencarian saja, atau bahkan sampai konten berita dan posting-an di media
sosial?
Sebabnya, saat ini kita bisa mengakses informasi dari berbagai
sumber.
Mulai berita-berita arus utama sampai sekadar curahan hati
warganet di halaman media sosial pribadi mereka.
Jelas dan tegas
Frasa 'relevan' yang termaktub dalam pasal 26 itu pun harus
didefinisikan secara jelas dan tegas sehingga tidak disalahgunakan.
Jangan sampai seseorang yang pernah melakukan kejahatan serius
bisa meminta Google menghapus link berita tentang dirinya dengan alasan
'tidak relevan'.
Contohnya, catatan tentang seseorang yang pernah terlibat dalam
peredaran narkotika, melakukan penipuan, atau malah diduga korupsi, tentu
tidak pas untuk masuk kategori informasi yang bisa dilupakan.
Apa jadinya bila publik tidak tahu tentang rekam jejak seorang
staf ahli menteri, yang ternyata pernah berurusan dengan KPK dan diduga ikut
menghilangkan barang bukti korupsi ketika lembaga antikorupsi itu hendak
menggeledah kediamannya.
Manusia bisa saja lupa, tapi internet tidak pernah lupa. Oleh
karena itulah, kita sering mendengar pemeo, 'jejak digital memang kejam'.
Dengan adanya aturan dari Kemenkominfo nanti, masyarakat juga
bisa tahu batas, apa saja yang boleh minta dihapus.
Baik itu berita mauoun posting media sosial.
Aturan turunan dan teknis dari 'hak untuk dilupakan' ini juga
sedianya bisa memagari atau melindungi data pribadi sehingga urusan yang
sangat pribadi seseorang tidak serta-merta menjadi informasi publik atas nama
keterbukaan informasi.
Jejak digital tidak perlu sekejam itu.
Tentu perkara rumah tangga seorang politikus tidak perlu
diumbar, seperti halnya kasus korupsi yang ia hadapi.
Cerita masa kecil dan kejahatan trivial macam mencuri mangga
yang pernah dilakukan seseorang atau calon pejabat publik tentu bukan
informasi relevan yang perlu diingatkan internet sepanjang saat.
Kita harus sadar, selain berkeadilan, hukum harus
berperikemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar