Jumat, 05 Juni 2015

Strategi Damai di Laut

Strategi Damai di Laut

Fahmi Alfansi P Pane  ;   Alumnus Magister Sains Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia
REPUBLIKA, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Bila sengketa di Laut Cina Selatan meningkat, kawasan Natuna dan perairannya, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif dan batas landas kontinen, berikut cadangan migas di sana, akan terancam. Sekurang-kurangnya Indonesia menghadapi risiko keamanan bagi jalur komunikasi laut, transportasi barang dan energi, serta kapal nelayan. Untuk itu, Indonesia perlu mempunyai strategi damai, khususnya di dalam menangani konflik di laut.

Strategi damai sangat diperlukan karena situasi taktis mengindikasikan eskalasi konflik. Setelah pernah menempatkan rig eksplorasi migas di Kepulauan Paracel Mei 2014, Cina mereklamasi Kepulauan Spratly. Adapun Amerika Serikat (AS) melakukan operasi psikologi untuk menyudutkan Cina dengan memublikasikan reklamasi Spratly menjelang Shangri-La Dialogue akhir Mei.

Padahal, Menhan AS Ashton Carter mengatakan, Spratly direklamasi sejak 18 bulan lalu. Bahkan, Cina berencana memberlakukan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Laut Cina Selatan, melengkapi ADIZ Laut Cina Timur.

Ada beberapa usulan strategi damai untuk menangani konflik di laut, yang dapat disempurnakan oleh pengambil keputusan. Pertama, pengembangan kawasan sengketa di Laut Cina Selatan sebagai daerah pemanfaatan bersama secara damai, seperti pengelolaan migas, perikanan, sains, dan kepentingan publik lainnya. Kemaslahatan bersama diutamakan daripada kepemilikan dan kedaulatan teritorial di daerah sengketa. Hal serupa dapat dipertimbangkan pada kawasan sengketa lain yang tidak dapat diselesaikan secara diplomatik dan hukum.

Usulan ini berangkat dari salah satu teori penyebab perang, yakni cumulative resources. Teori ini berbunyi, "perang lebih mungkin terjadi ketika penguasaan suatu sumber daya dapat melindungi atau memperoleh sumber daya lain" (Van Evera, Causes of War: Power and the Roots of Conflict, hal. 105).

Dengan teori ini terjelaskan bahwa penguasaan Kepulauan Spratly memungkinkan reklamasi (sumber daya lahan bertambah), lalu pembangunan pangkalan militer (sumber daya militer) dan fasilitas eksplorasi migas (sumber daya alam strategis), lalu memperoleh (perlindungan) ketahanan energi dan penerimaan negara. Karena itu, sumber daya yang akumulatif seperti Spratly seharusnya tidak dikuasai suatu pihak, tetapi manfaatnya terdistribusi merata.

Konsep daerah pemanfaatan bersama secara damai bukan hal baru. Sejak 1967, dunia sudah menyepakati Outer Space Treaty (Traktat Antariksa) yang menjadi rujukan semua perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan semua negara.

Isi pokoknya, antara lain, pemanfaatan antariksa untuk kepentingan semua negara dengan maksud damai, berstatus hukum sebagai kawasan kemanusiaan (the province of all mankind), larangan penempatan persenjataan, dan sebagainya. Karena itu, ketika AS-Eropa dan Rusia bersengketa soal Ukraina, AS dan Rusia tetap bekerja sama di International Space Station.

Daerah pemanfaatan bersama ini mestinya dapat direalisasikan karena, misalnya, Cina bersedia memodali pembentukan Bank Pembangunan Infrastruktur Asia (AIIB) bersama Jepang, Indonesia, dan lain-lain. Cina, AS, Australia, Indonesia, dan lainnya juga menyisihkan perselisihan ketika menggelar bantuan kemanusiaan, seperti pencarian korban pesawat MH 370, mulai dari Teluk Thailand, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, hingga Samudra Hindia.

Kedua, menetapkan UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) sebagai basis penyelesaian sengketa. UNCLOS juga perlu menjadi rujukan sikap politik, standar berkomunikasi, dan berdebat. Adanya UNCLOS dan perjanjian internasional lainnya minimal dapat mengurangi sifat anarki dalam hubungan internasional. Karakter itulah yang mendorong negara untuk memakai kekuatan militer.

Dilihat dari situs PBB, seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi UNCLOS, kecuali Laos, mungkin karena tidak mempunyai laut. Cina juga sudah meratifikasinya. Ironisnya, AS justru belum meratifikasi UNCLOS, padahal selalu menuntut kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan. AS baru menyetujui implementasi ketentuan konservasi dan manajemen cadangan ikan yang bermigrasi.

Hal ini ironis karena negara sekutu AS sudah meratifikasinya, yaitu Inggris (1997), Australia (1994), Selandia Baru (1996), dan Kanada (2003). Permintaan AS akan lebih mudah dipahami karena UNCLOS juga mengatur pelayaran kapal-kapal perang. 

Dengan merujuk UNCLOS dan Treaty of Amity and Cooperation (Traktat ASEAN untuk Persahabatan dan Kerja Sama), ASEAN dan Cina telah menyepakati Deklarasi Tata Berperilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan tahun 2002. Para diplomat Indonesia perlu memprioritaskan penyelesaian tata berperilaku (code of conduct) sehingga lebih memperkuat komitmen penyelesaian damai.

Ketiga, peningkatan diplomasi pertahanan, termasuk prosedur pembangunan kepercayaan (confidence building measures/CBM). Misalnya, patroli bersama, seperti usulan Menhan RI Ryamizard Ryacudu, inisiatif kerja sama dalam studi keamanan, latihan militer, dan sebagainya. Tetapi, yang juga penting adalah keterbukaan informasi mengenai senjata yang dapat dipersepsikan sebagai peningkatan agresivitas, seperti kapal induk, kapal selam, sistem peluncur rudal, dan senjata nuklir.

Keempat, peningkatan kerja sama sipil dan militer antarnegara dalam operasi kemanusiaan, bantuan bencana alam, survei hidrologi dan oseanografi, SAR, pendidikan pertahanan, dan sebagainya. Forum Jakarta International Defence Dialogue (JIDD) juga harus diperkuat, apalagi telah diakui dalam Chinese Military Strategy (buku putih Cina, 26 Mei 2015). Bahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menggelar forum retreat yang lebih cair seperti KTT APEC 2013 di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar