Skenario
Islah, ”Inkracht” atau ”Bubrah”
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 09 Juni 2015
Pilkada serentak pada
Desember 2015 yang akan memilih lebih dari 250 kepala daerah diperkirakan
menghabiskan uang rakyat hampir menyentuh Rp 7 triliun. Ironinya, perhelatan
politik masif tersebut tanpa greget wacana yang menyentuh kepentingan publik.
Isu-isu politik didominasi oleh pertarungan internal Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan memperebutkan kepengurusan. Perdebatan berkepanjangan
dan saling siasat mewacanakan beberapa pilihan untuk mengatasi kemelut kedua
parpol itu, antara lain revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pilkada, penerbitan perppu, arbitrase, menitipkan kader partai pada
sekutunya, islah dan inkracht.
Pilihan dua opsi terakhir itu beberapa minggu ini banyak dibicarakan.
Pilihan antara
inkracht dan islah sama baiknya. Namun, kualitas hasil tidak ditentukan oleh
mekanisme teknikal, tetapi tergantung pada sutradara yang mengendalikan
tokoh-tokoh kedua parpol tersebut. Setidak-tidaknya terdapat tiga sutradara
yang dapat terlibat dalam proses mengatasi konflik PG dan PPP. Mereka itu
adalah ”kapital”, ”interes”, dan ”suara rakyat”. Ketiga sutradara tersebut
dapat mempunyai skenario sendiri-sendiri, tetapi dapat pula berkolaborasi dan
bersinergi satu sama lain.
Pilihan inkracht
dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Opsi ini bukan pilihan buruk, bahkan
mulia. Namun, kalau sutradara yang berperan dominan adalah interes yang
dibakar oleh nafsu cemburu dan dahaga kuasa, terlebih jika berkolaborasi
dengan kapital, hampir dapat dipastikan proses penyelesaian akan menguras
waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Sebab, mudah ditebak, siapa pun yang
kalah, hampir dapat dipastikan mengajukan banding ke tingkat lebih tinggi.
Karena itu, kader-kader PG dan PPP mungkin tidak dapat ikut pilkada karena
Komisi Pemilihan Umum memutuskan tenggat pendaftaran akhir Juli 2015.
Parpol lain sudah
mulai melakukan penjaringan. Dikhawatirkan PG dan PPP akan mengalami
akselerasi proses dekonsolidasi dan demoralisasi. Partai akan bubrah
berantakan. Kemungkinan perpecahan permanen sangat mungkin dalam wujud
muncul- nya partai sempalan. Lain halnya kalau sutradaranya ”suara rakyat”,
demi kepentingan rakyat, mereka yang kalah di pengadilan akan ikhlas.
Sebaliknya, pemenang tidak pongah dan sewenang-wenang, bahkan mungkin
mengakomodasi kader-kader dari kubu lain. Sikap mulia tersebut tidak hanya
membuat partai semakin solid, tetapi juga mengisi kekosongan ranah politik
yang kering dengan cita-cita dengan niat baik dan bijak.
Sementara itu, opsi
islah nasibnya juga sangat tergantung pada sutradaranya. Namun, alternatif
ini lebih mempunyai daya paksa karena denting suara rakyat tampaknya
terdengar oleh KPU sehingga ia membuat keputusan yang mendorong kedua partai
politik melakukan islah yang komprehensif, bukan islah sementara dan parsial.
Pasal 36 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 menentukan: Ayat (1) bahwa
kepengurusan parpol yang berhak mengajukan calon adalah keputusan terakhir
dari Menteri (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Ayat (2) bila
penyelesaian sengketa memerlukan penetapan pengadilan, pencalonan dilakukan
setelah ada kekuatan hukum tetap serta ditindaklanjuti dengan keputusan
menteri tentang kepengurusan partai politik. Ayat (3) bilamana belum ada
keputusan hukum yang inkracht dan
penyelesaian sengketa dilakukan dengan damai, KPU menerima pendaftaran
berdasarkan keputusan terakhir menteri hasil kesepakatan perdamaian.
Niat mulia KPU agar PG
dan PPP islah di tanggapi secara berbeda, tetapi diperkirakan akan membuahkan
hasil yang sama. PG pada awalya cukup bersemangat, tetapi sayangnya peranan sutradara
”suara rakyat” mulai melemah dan digantikan oleh dua sutradara lainnya yang
mengobarkan api hasrat kuasa. Hal mirip terjadi pada PPP, meskipun mula-mula
mereka mencoba islah. Namun, pada level pimpinan lebih tinggi, hubungan Ketua
Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Ketua Umum PPP hasil Muktamar
Surabaya Romahurmuziy tampak kian meruncing.
Pada titik ini sudah
dapat diantisipasi bahwa sutradara ”interes” dan ”kapital” dibi- arkan
merajalela, opsi apa pun akan mengakibatkan skenario bubrah-bubrahan atau
rusak-rusakan. Mungkin untuk menghadirkan sutradara ”suara rakyat”,
tokoh-tokoh PG dan PPP perlu menggali memoria mereka, mengapa PG yang
menjelang reformasi menjadi bulan-bulanan karena pernah menjadi mesin politik
penguasa otoritarian. Pada Pemilu 1999 yang sangat demokratis dapat menjadi
pemenang kedua dengan meraih 120 kursi di DPR, di bawah juara utama PDI
Perjuangan yang mendapatkan 150 kursi. Sementara itu, PPP juga dapat
berkontemplasi, mengapa PPP yang dilindas oleh mesin politik penguasa Orde
Baru masih tetap bertahan eksistensinya, dengan memperoleh 25 sampai 30 kursi
di DPR meskipun mendapatkan tekanan fisik, psikis, dan politik.
Renungan memoria itu
mungkin dapat menggali nilai-nilai mulia sehingga dapat menghadirkan
sutradara ”suara rakyat” agar partai yang pernah digdaya tidak dibiarkan
mengalami pembusukan politik serta loyo karena terlalu banyak mengonsumsi
opium kekuasaan. Dengan demikian, skenario bubrah, buah karya sutradara
”ïnteres” dan ”kapital” tidak laku di panggung politik yang mementaskan lakon
”PG dan PPP kembar”; dan digantikan dengan sutradara ”suara rakyat” yang
menyuguhkan cerita ”PG dan PPP Membangun Kahyangan (surga)”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar