Rabu, 10 Juni 2015

Skenario Islah, ”Inkracht” atau ”Bubrah”

Skenario Islah, ”Inkracht” atau ”Bubrah”

J Kristiadi   ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 09 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Pilkada serentak pada Desember 2015 yang akan memilih lebih dari 250 kepala daerah diperkirakan menghabiskan uang rakyat hampir menyentuh Rp 7 triliun. Ironinya, perhelatan politik masif tersebut tanpa greget wacana yang menyentuh kepentingan publik. Isu-isu politik didominasi oleh pertarungan internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan memperebutkan kepengurusan. Perdebatan berkepanjangan dan saling siasat mewacanakan beberapa pilihan untuk mengatasi kemelut kedua parpol itu, antara lain revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, penerbitan perppu, arbitrase, menitipkan kader partai pada sekutunya, islah dan inkracht. Pilihan dua opsi terakhir itu beberapa minggu ini banyak dibicarakan.

Pilihan antara inkracht dan islah sama baiknya. Namun, kualitas hasil tidak ditentukan oleh mekanisme teknikal, tetapi tergantung pada sutradara yang mengendalikan tokoh-tokoh kedua parpol tersebut. Setidak-tidaknya terdapat tiga sutradara yang dapat terlibat dalam proses mengatasi konflik PG dan PPP. Mereka itu adalah ”kapital”, ”interes”, dan ”suara rakyat”. Ketiga sutradara tersebut dapat mempunyai skenario sendiri-sendiri, tetapi dapat pula berkolaborasi dan bersinergi satu sama lain.

Pilihan inkracht dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Opsi ini bukan pilihan buruk, bahkan mulia. Namun, kalau sutradara yang berperan dominan adalah interes yang dibakar oleh nafsu cemburu dan dahaga kuasa, terlebih jika berkolaborasi dengan kapital, hampir dapat dipastikan proses penyelesaian akan menguras waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Sebab, mudah ditebak, siapa pun yang kalah, hampir dapat dipastikan mengajukan banding ke tingkat lebih tinggi. Karena itu, kader-kader PG dan PPP mungkin tidak dapat ikut pilkada karena Komisi Pemilihan Umum memutuskan tenggat pendaftaran akhir Juli 2015.

Parpol lain sudah mulai melakukan penjaringan. Dikhawatirkan PG dan PPP akan mengalami akselerasi proses dekonsolidasi dan demoralisasi. Partai akan bubrah berantakan. Kemungkinan perpecahan permanen sangat mungkin dalam wujud muncul- nya partai sempalan. Lain halnya kalau sutradaranya ”suara rakyat”, demi kepentingan rakyat, mereka yang kalah di pengadilan akan ikhlas. Sebaliknya, pemenang tidak pongah dan sewenang-wenang, bahkan mungkin mengakomodasi kader-kader dari kubu lain. Sikap mulia tersebut tidak hanya membuat partai semakin solid, tetapi juga mengisi kekosongan ranah politik yang kering dengan cita-cita dengan niat baik dan bijak.

Sementara itu, opsi islah nasibnya juga sangat tergantung pada sutradaranya. Namun, alternatif ini lebih mempunyai daya paksa karena denting suara rakyat tampaknya terdengar oleh KPU sehingga ia membuat keputusan yang mendorong kedua partai politik melakukan islah yang komprehensif, bukan islah sementara dan parsial. Pasal 36 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 menentukan: Ayat (1) bahwa kepengurusan parpol yang berhak mengajukan calon adalah keputusan terakhir dari Menteri (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Ayat (2) bila penyelesaian sengketa memerlukan penetapan pengadilan, pencalonan dilakukan setelah ada kekuatan hukum tetap serta ditindaklanjuti dengan keputusan menteri tentang kepengurusan partai politik. Ayat (3) bilamana belum ada keputusan hukum yang inkracht dan penyelesaian sengketa dilakukan dengan damai, KPU menerima pendaftaran berdasarkan keputusan terakhir menteri hasil kesepakatan perdamaian.

Niat mulia KPU agar PG dan PPP islah di tanggapi secara berbeda, tetapi diperkirakan akan membuahkan hasil yang sama. PG pada awalya cukup bersemangat, tetapi sayangnya peranan sutradara ”suara rakyat” mulai melemah dan digantikan oleh dua sutradara lainnya yang mengobarkan api hasrat kuasa. Hal mirip terjadi pada PPP, meskipun mula-mula mereka mencoba islah. Namun, pada level pimpinan lebih tinggi, hubungan Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Ketua Umum PPP hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy tampak kian meruncing.

Pada titik ini sudah dapat diantisipasi bahwa sutradara ”interes” dan ”kapital” dibi- arkan merajalela, opsi apa pun akan mengakibatkan skenario bubrah-bubrahan atau rusak-rusakan. Mungkin untuk menghadirkan sutradara ”suara rakyat”, tokoh-tokoh PG dan PPP perlu menggali memoria mereka, mengapa PG yang menjelang reformasi menjadi bulan-bulanan karena pernah menjadi mesin politik penguasa otoritarian. Pada Pemilu 1999 yang sangat demokratis dapat menjadi pemenang kedua dengan meraih 120 kursi di DPR, di bawah juara utama PDI Perjuangan yang mendapatkan 150 kursi. Sementara itu, PPP juga dapat berkontemplasi, mengapa PPP yang dilindas oleh mesin politik penguasa Orde Baru masih tetap bertahan eksistensinya, dengan memperoleh 25 sampai 30 kursi di DPR meskipun mendapatkan tekanan fisik, psikis, dan politik.

Renungan memoria itu mungkin dapat menggali nilai-nilai mulia sehingga dapat menghadirkan sutradara ”suara rakyat” agar partai yang pernah digdaya tidak dibiarkan mengalami pembusukan politik serta loyo karena terlalu banyak mengonsumsi opium kekuasaan. Dengan demikian, skenario bubrah, buah karya sutradara ”ïnteres” dan ”kapital” tidak laku di panggung politik yang mementaskan lakon ”PG dan PPP kembar”; dan digantikan dengan sutradara ”suara rakyat” yang menyuguhkan cerita ”PG dan PPP Membangun Kahyangan (surga)”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar