Pernikahan
Ugahari Gibran-Selvi
J Sumardianta ; Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
|
KORAN TEMPO, 12 Juni 2015
Simpel dan bersahaja.
Itulah kesan umum hajatan Presiden Joko Widodo dalam menikahkan Gibran
Rakabuming Raka dengan Selvi Ananda. Pernikahan putra sulung Presiden Jokowi,
sejak persiapan di rumah, prosesi ijab-kabul, sampai perjamuan di Gedung
Graha Saba Solo, ini berlangsung sangat sederhana.
Tratag (tenda peneduh)
dan tarub (gerbang hiasan) yang dipasang di rumah Jokowi tak ubahnya aksesori
pesta pernikahan orang kebanyakan pada umumnya. Kursi pelaminan dan gebyok (dinding latar belakang kayu)
tempat ijab-kabul dan prosesi adat sama sekali bukan perabotan mewah. Kamera
televisi yang menyiarkan hajatan tidak bisa memanipulasi kesederhanaan itu.
Ahmad Yani adalah
saksi nikah mempelai pria, yang seorang Ketua RT 08 RW 07, Desa Sumber,
Banjarsari, Solo. Jokowi memilih wali nikah anaknya sungguh orang yang sangat
dari dekat kehidupan keluarganya. Itu sebabnya, wali nikah berasal dari kalangan
rakyat jelata. Bukan pejabat tinggi negara. Yang paling menyentuh hati tak
lain adalah saat Jokowi menyempatkan diri menyalami satu per satu ribuan
orang yang mendatangi rumahnya, termasuk tukang becak dan pedagang pasar di
antara kerumunan tamu. Padahal Jokowi dalam kondisi lelah dan kurang tidur.
Gestur Presiden
menunjukkan apresiasi bagus bagi tamu orang biasa yang tidak diundang
sekalipun. Jokowi, karena kesibukannya, sah-sah saja bila tidak bisa menyapa
tetamu yang menyemut di rumahnya. Ribuan tamu, sembari berbincang dengan tuan
rumah, juga dijamu makan-minum yang dihidangkan Chili Pari-Wedding Organizer
milik Gibran.
Presiden Jokowi
mungkin merupakan satu-satunya pemimpin pembuat terobosan nyata gaya hidup
sederhana. Bukan saja penghematan belanja anggaran di lingkungan birokrasi
pemerintah, pun pada ranah privat saat pesta pernikahan keluarga. Sumbangan
dan bingkisan dalam bentuk apa pun tidak diterima. Tamu negara sahabat juga
tidak diundang. Benar-benar pestanya wong alit, bukan wong elite.
Terobosan ini seolah
hendak melawan arus kebiasaan masyarakat pada umumnya, bahkan di pedesaan,
yang cenderung jorjoran dalam menyelenggarakan pesta hajatan. Kalau perlu,
menimbun utang. Tak ambil pusing bagaimana nanti pelunasannya. Yang penting,
pesta pasangan gembel desa sekalipun harus megah layaknya pernikahan pangeran
di istana.
Jokowi adalah presiden
dari kalangan rakyat jelata. Dia telah menampilkan keunikannya sendiri yang
sangat kuat aroma ugaharinya (apa adanya). Perkara-perkara ribet disunting
menjadi mudah. Presiden RI ketujuh ini memang "editor" ulung.
Kata-katanya mudah dipahami. Kalimatnya ringkas. Mengerti orang lain dengan
melayani. Bagian-bagian yang tidak perlu dia pangkas.
Program komputer yang
rumit saja bisa dibuat user friendly. Apalagi manusia yang memiliki akal
budi. Kalau pesta nikah bisa dibuat sederhana, kenapa harus jelimet dan
ribet. Orang Jawa punya subkultur tidak mau kehilangan muka. Subkultur
pencegah rasa malu berlebihan inilah yang membuat masyarakat jadi tidak realistis,
gemar mengada-ada, munafik, dan hipokrit. Jokowi melucuti budaya malu. Bukan
sebagai rekayasa pencitraan, melainkan teladan ugahari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar