Kado
Jokowi untuk Bung Karno
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
KORAN TEMPO, 08 Juni 2015
Sukarno dilahirkan di
Surabaya, 6 Juni 1901. Dalam memperingati hari ulang tahun Sang Proklamator, apa kado
yang sebaiknya diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada presiden pertama
Republik Indonesia tersebut? Hadiah itu berupa pemulihan nama baik Sukarno
dan mengenang perjuangannya sampai akhir hayat.
Setelah tidak berkuasa lagi pasca-G30S 1965, dilakukan
desukarnoisasi dengan berbagai cara melalui berbagai media. Diorama hari lahirnya Pancasila 1
Juni yang ada dalam rancangan awal pembangunan Monumen Nasional diganti
dengan diorama hari kesaktian Pancasila 1 Oktober. Prof Dr Nugroho
Notosusanto menulis buklet tahun 1971 bahwa M. Yamin telah berpidato sebelum
Sukarno dalam sidang BPUPKI. Belum puas dengan itu, pada 1981 dikeluarkan
lagi buklet oleh penulis yang sama bahwa M. Yamin dan Soepomo berpidato
mendahului Bung Karno. Padahal yang diutarakan kedua tokoh itu bukanlah dasar
negara seperti yang diminta oleh Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat.
Sejak 1 Juni 1970,
peringatan hari lahir Pancasila dilarang oleh Kopkamtib (Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan tanggal 21 Juni 1970 Sukarno wafat
setelah tidak dirawat sebagaimana semestinya. Sejarawan Prancis, Jacques Leclerc,
mengatakan bahwa Sukarno telah dibunuh dua kali, dibiarkan penyakit
menggerogotinya dan pemikirannya dilarang. Pada masa pemerintahan SBY diadakan upacara
resmi di gedung MPR berupa "peringatan pidato Sukarno 1 Juni" bukan
peringatan hari lahirnya Pancasila. Sungguhpun pidato Sukarno tanggal 1 Juni
1945 itu menandai kelahiran Pancasila. Presiden SBY telah menetapkan tanggal 18
Agustus sebagai hari proklamasi seyogianya Presiden Joko Widodo mengeluarkan
Keputusan Presiden yang menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila yang
tidak usah menjadi hari libur nasional.
Kado kedua berupa
pembangunan kembali rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Rumah itu telah
diruntuhkan pada 1960-an. Tidak perlu diributkan mengapa dan siapa yang
bersalah dalam merobohkan rumah bersejarah tersebut. Namun sebaiknya rumah
itu dibangun kembali agar generasi yang akan datang dapat melihat secara
visual lokasi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 secara konkret, tidak
hanya melalui beberapa foto tua. Tambahan lagi pembacaan teks proklamasi yang
sering diperdengarkan di televisi itu hanya rekaman ulang yang dibuat pada
1950-an. Patok rumah asli Bung Karno tersebut masih ada dan tidak terlalu
sulit untuk merekonstruksi kembali. Gedung Pola yang kini kurang terurus
sebaiknya dijadikan sebagai Perpustakaan Presiden Sukarno.
Agar memori bangsa
ini tidak sirna begitu saja, alangkah baiknya jika Wisma Yaso tempat
peristirahatan terakhir Sukarno yang pada awal Orde Baru menjadi Museum
Satria Mandala, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, dipugar kembali. Tempat itu menjadi saksi betapa penderitaan seorang bapak
bangsa sebelum menemui ajalnya. Situs itu menjadi bukti bagaimana
penghormatan terhadap pendiri republik tidak diberikan sebagaimana
selayaknya.
Yang tidak kalah
pentingnya adalah penulisan kembali buku sejarah tentang Sukarno, terutama
terkait dengan tragedi nasional tahun 1965. Di
dalam TAP MPRS XXXIII tahun 1967 disebutkan dalam konsideran tentang
keterlibatan Sukarno dalam Gerakan 30 September 1965. Meskipun TAP itu
sudah dinyatakan selesai atau einmalig,
konsiderans itu tidak hilang dengan sendirinya. Karena itu, lebih tepat bila diterbitkan
buku yang dapat dijadikan rujukan mengenai masalah ini.
Sewaktu Megawati
Soekarnoputri menjadi presiden, ia memerintahkan agar Menteri Pendidikan
Nasional Malik Fadjar membuat buku tentang sejarah
Sukarno tahun 1965. Malik Fadjar menugasi Taufik Abdullah menyusun tim yang
menyusun buku tersebut. Buku itu telah diterbitkan dengan judul Malam Bencana.
Dalam buku tersebut terdapat bab tentang versi G30S (PKI, persoalan internal
Angkatan Darat, dan CIA) yang masing-masing ditulis satu orang. Namun ada
tiga penulis yang menyebut keterlibatan Sukarno dalam G30S. Buku itu perlu
ditulis ulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar