Selasa, 09 Juni 2015

Kado Jokowi untuk Bung Karno

Kado Jokowi untuk Bung Karno

Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan LIPI
KORAN TEMPO, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sukarno dilahirkan di Surabaya, 6 Juni 1901. Dalam memperingati hari ulang tahun Sang Proklamator, apa kado yang sebaiknya diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada presiden pertama Republik Indonesia tersebut? Hadiah itu berupa pemulihan nama baik Sukarno dan mengenang perjuangannya sampai akhir hayat.

Setelah tidak berkuasa lagi pasca-G30S 1965, dilakukan desukarnoisasi dengan berbagai cara melalui berbagai media. Diorama hari lahirnya Pancasila 1 Juni yang ada dalam rancangan awal pembangunan Monumen Nasional diganti dengan diorama hari kesaktian Pancasila 1 Oktober. Prof Dr Nugroho Notosusanto menulis buklet tahun 1971 bahwa M. Yamin telah berpidato sebelum Sukarno dalam sidang BPUPKI. Belum puas dengan itu, pada 1981 dikeluarkan lagi buklet oleh penulis yang sama bahwa M. Yamin dan Soepomo berpidato mendahului Bung Karno. Padahal yang diutarakan kedua tokoh itu bukanlah dasar negara seperti yang diminta oleh Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat.

Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahir Pancasila dilarang oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan tanggal 21 Juni 1970 Sukarno wafat setelah tidak dirawat sebagaimana semestinya. Sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, mengatakan bahwa Sukarno telah dibunuh dua kali, dibiarkan penyakit menggerogotinya dan pemikirannya dilarang. Pada masa pemerintahan SBY diadakan upacara resmi di gedung MPR berupa "peringatan pidato Sukarno 1 Juni" bukan peringatan hari lahirnya Pancasila. Sungguhpun pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945 itu menandai kelahiran Pancasila. Presiden SBY telah menetapkan tanggal 18 Agustus sebagai hari proklamasi seyogianya Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila yang tidak usah menjadi hari libur nasional.

Kado kedua berupa pembangunan kembali rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Rumah itu telah diruntuhkan pada 1960-an. Tidak perlu diributkan mengapa dan siapa yang bersalah dalam merobohkan rumah bersejarah tersebut. Namun sebaiknya rumah itu dibangun kembali agar generasi yang akan datang dapat melihat secara visual lokasi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 secara konkret, tidak hanya melalui beberapa foto tua. Tambahan lagi pembacaan teks proklamasi yang sering diperdengarkan di televisi itu hanya rekaman ulang yang dibuat pada 1950-an. Patok rumah asli Bung Karno tersebut masih ada dan tidak terlalu sulit untuk merekonstruksi kembali. Gedung Pola yang kini kurang terurus sebaiknya dijadikan sebagai Perpustakaan Presiden Sukarno.

Agar memori bangsa ini tidak sirna begitu saja, alangkah baiknya jika Wisma Yaso tempat peristirahatan terakhir Sukarno yang pada awal Orde Baru menjadi Museum Satria Mandala, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, dipugar kembali. Tempat itu menjadi saksi betapa penderitaan seorang bapak bangsa sebelum menemui ajalnya. Situs itu menjadi bukti bagaimana penghormatan terhadap pendiri republik tidak diberikan sebagaimana selayaknya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah penulisan kembali buku sejarah tentang Sukarno, terutama terkait dengan tragedi nasional tahun 1965. Di dalam TAP MPRS XXXIII tahun 1967 disebutkan dalam konsideran tentang keterlibatan Sukarno dalam Gerakan 30 September 1965. Meskipun TAP itu sudah dinyatakan selesai atau einmalig, konsiderans itu tidak hilang dengan sendirinya.  Karena itu, lebih tepat bila diterbitkan buku yang dapat dijadikan rujukan mengenai masalah ini.

Sewaktu Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, ia memerintahkan agar Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar membuat buku tentang sejarah Sukarno tahun 1965. Malik Fadjar menugasi Taufik Abdullah menyusun tim yang menyusun buku tersebut. Buku itu telah diterbitkan dengan judul Malam Bencana. Dalam buku tersebut terdapat bab tentang versi G30S (PKI, persoalan internal Angkatan Darat, dan CIA) yang masing-masing ditulis satu orang. Namun ada tiga penulis yang menyebut keterlibatan Sukarno dalam G30S. Buku itu perlu ditulis ulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar