Rabu, 10 Juni 2015

Ironi Inpres Antikorupsi

Ironi Inpres Antikorupsi

Reza Syawawi  ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 09 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada 2015 (26 Mei 2015). Inpres ini patut diapresiasi di tengah situasi penegakan hukum, khususnya bidang antikorupsi, yang mengalami public distrust. Namun, pada sisi lain, tetap perlu ada kritik terhadap cara-cara pemberantasan korupsi dengan menggunakan instrumen instruksi presiden (inpres).

Sebagaimana dipahami bersama, Indonesia termasuk negara yang telah meratifikasi kovenan internasional melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC). Sebagai konsekuensinya, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kovenan tersebut secara keseluruhan.

Selama hampir 8 tahun sejak kovenan tersebut diratifikasi, kondisi korupsi di Indonesia justru bertambah parah. Gerakan antikorupsi setelah tumbangnya Orde Baru selama hampir 17 tahun (1998-2015) juga tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Corruption Perception Index (CPI) Indonesia dari tahun ke tahun setidaknya juga menggambarkan bahwa kinerja pemberantasan korupsi berjalan sangat lamban. Di lain pihak, resistansi terhadap gerakan pemberantasan korupsi justru menguat. Bahkan, situasi yang ada sudah mengarah pada "sabotase" terhadap mekanisme dan kelembagaan hukum.

Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya upaya mengebiri regulasi yang menyokong pemberantasan korupsi. Dari segi kelembagaan, lembaga kuasi-negara, seperti KPK dan Komisi Yudisial, cenderung dilemahkan oleh kekuatan oligarki yang memanfaatkan lembaga politik dan lembaga penegakan hukum. Semua persoalan ini tentu tidak hanya cukup diselesaikan dengan instrumen inpres yang sangat terbatas, baik dari segi bentuk hukum maupun substansinya.

Jika merujuk pada persoalan pelemahan tersebut, pertanyaan kuncinya adalah apakah inpres antikorupsi ini merupakan jawaban atas pelemahan yang sedang terjadi? Jika kita membaca secara detail, dapat dipastikan bahwa inpres tidak secara utuh menjawab problem tersebut.

Bagaimana Presiden bisa memenuhi komitmen Nawa Cita untuk mendukung dan menjaga KPK, sementara faktanya ia cenderung membiarkan atau bahkan merestui pelemahan terhadap KPK. Bagaimana Presiden memenuhi komitmennya untuk memprioritaskan penanganan kasus korupsi pada sektor penegakan hukum, sementara faktanya Presiden merestui ketika tersangka kasus korupsi justru diberi jabatan strategis di lembaga penegak hukum.

Jika membandingkan perlakuan Presiden terhadap (dua) lembaga penegak hukum, yaitu KPK dan Polri, kita akan melihat fakta sebagai berikut: 1) Ketika kriminalisasi terhadap pimpinan KPK terjadi, Presiden memilih mengeluarkan perpu sebagai dasar hukum untuk mengganti pimpinan KPK yang dikriminalkan; 2) Ketika Polri berupaya dengan segala alasan untuk menutup kasus dugaan korupsi yang dilakukan pemimpinnya, Presiden memilih melakukan pembiaran. Situasi ini memperlihatkan bahwa Presiden tidak berdaya ketika terjadi penyimpangan dalam praktek penegakan hukum.

Jika ditelisik ke belakang, inpres antikorupsi sebetulnya tidaklah memperlihatkan dampak yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Selama 10 tahun, rezim SBY memproduksi inpres-inpres sejenis. Faktanya, pengurangan korupsi berjalan sangat lamban.

Hal ini tidak hanya disebabkan oleh minimnya substansi yang diatur  dalam inpres. Implementasi yang dinilai pun hanya didasari pelaporan formal, sementara dari segi dampaknya tidak pernah diukur. Selain itu, hingga saat ini, tidak pernah ada evaluasi terhadap keseluruhan inpres yang pernah diberlakukan tersebut. Namun semua kekurangan ini ternyata tidak mengurangi niat Presiden untuk mereplikasi kebijakan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya tanpa meninjau ulang apa yang menjadi kelemahan inpres yang pernah dibuat.

Sekarang inpres telah disahkan, maka tidak ada pilihan selain memastikan pelaksanaan kebijakan tersebut. Bentuk hukum inpres yang sangat lemah akan menjadi tantangan tersendiri untuk "memaksa" kementerian/lembaga, termasuk penegak hukum, untuk melaksanakannya.

Selama ini, pengawasan implementasi terhadap inpres antikorupsi hanyalah sebatas formalitas. Tidak ada kebijakan reward and punishment bagi kementerian/lembaga. Walhasil, inpres sebetulnya dilihat sebagai sebuah imbauan moral belaka.

Terakhir, di luar skema inpres tersebut, Presiden perlu mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyikapi penyimpangan dalam penegakan hukum. Jika tidak, inpres antikorupsi hanya akan menjadi ironi di tengah situasi penegakan hukum yang korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar