Ironi
Inpres Antikorupsi
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KORAN TEMPO, 09 Juni 2015
Presiden Joko Widodo
akhirnya menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada 2015 (26 Mei 2015). Inpres ini
patut diapresiasi di tengah situasi penegakan hukum, khususnya bidang
antikorupsi, yang mengalami public
distrust. Namun, pada sisi lain, tetap perlu ada kritik terhadap
cara-cara pemberantasan korupsi dengan menggunakan instrumen instruksi
presiden (inpres).
Sebagaimana dipahami
bersama, Indonesia termasuk negara yang telah meratifikasi kovenan
internasional melawan korupsi (United
Nation Convention Against Corruption/UNCAC). Sebagai konsekuensinya,
Indonesia wajib mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kovenan tersebut
secara keseluruhan.
Selama hampir 8 tahun
sejak kovenan tersebut diratifikasi, kondisi korupsi di Indonesia justru
bertambah parah. Gerakan antikorupsi setelah tumbangnya Orde Baru selama
hampir 17 tahun (1998-2015) juga tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Corruption Perception Index (CPI) Indonesia dari tahun ke tahun
setidaknya juga menggambarkan bahwa kinerja pemberantasan korupsi berjalan
sangat lamban. Di lain pihak, resistansi terhadap gerakan pemberantasan
korupsi justru menguat. Bahkan, situasi yang ada sudah mengarah pada
"sabotase" terhadap mekanisme dan kelembagaan hukum.
Hal tersebut dapat
dilihat dari maraknya upaya mengebiri regulasi yang menyokong pemberantasan
korupsi. Dari segi kelembagaan, lembaga kuasi-negara, seperti KPK dan Komisi
Yudisial, cenderung dilemahkan oleh kekuatan oligarki yang memanfaatkan
lembaga politik dan lembaga penegakan hukum. Semua persoalan ini tentu tidak
hanya cukup diselesaikan dengan instrumen inpres yang sangat terbatas, baik
dari segi bentuk hukum maupun substansinya.
Jika merujuk pada
persoalan pelemahan tersebut, pertanyaan kuncinya adalah apakah inpres
antikorupsi ini merupakan jawaban atas pelemahan yang sedang terjadi? Jika
kita membaca secara detail, dapat dipastikan bahwa inpres tidak secara utuh
menjawab problem tersebut.
Bagaimana Presiden
bisa memenuhi komitmen Nawa Cita untuk mendukung dan menjaga KPK, sementara
faktanya ia cenderung membiarkan atau bahkan merestui pelemahan terhadap KPK.
Bagaimana Presiden memenuhi komitmennya untuk memprioritaskan penanganan
kasus korupsi pada sektor penegakan hukum, sementara faktanya Presiden
merestui ketika tersangka kasus korupsi justru diberi jabatan strategis di
lembaga penegak hukum.
Jika membandingkan
perlakuan Presiden terhadap (dua) lembaga penegak hukum, yaitu KPK dan Polri,
kita akan melihat fakta sebagai berikut: 1) Ketika kriminalisasi terhadap
pimpinan KPK terjadi, Presiden memilih mengeluarkan perpu sebagai dasar hukum
untuk mengganti pimpinan KPK yang dikriminalkan; 2) Ketika Polri berupaya
dengan segala alasan untuk menutup kasus dugaan korupsi yang dilakukan
pemimpinnya, Presiden memilih melakukan pembiaran. Situasi ini memperlihatkan
bahwa Presiden tidak berdaya ketika terjadi penyimpangan dalam praktek
penegakan hukum.
Jika ditelisik ke
belakang, inpres antikorupsi sebetulnya tidaklah memperlihatkan dampak yang
signifikan dalam pemberantasan korupsi. Selama 10 tahun, rezim SBY
memproduksi inpres-inpres sejenis. Faktanya, pengurangan korupsi berjalan
sangat lamban.
Hal ini tidak hanya
disebabkan oleh minimnya substansi yang diatur dalam inpres. Implementasi yang dinilai pun
hanya didasari pelaporan formal, sementara dari segi dampaknya tidak pernah
diukur. Selain itu, hingga saat ini, tidak pernah ada evaluasi terhadap
keseluruhan inpres yang pernah diberlakukan tersebut. Namun semua kekurangan
ini ternyata tidak mengurangi niat Presiden untuk mereplikasi kebijakan yang
dilakukan oleh rezim sebelumnya tanpa meninjau ulang apa yang menjadi
kelemahan inpres yang pernah dibuat.
Sekarang inpres telah
disahkan, maka tidak ada pilihan selain memastikan pelaksanaan kebijakan
tersebut. Bentuk hukum inpres yang sangat lemah akan menjadi tantangan
tersendiri untuk "memaksa" kementerian/lembaga, termasuk penegak
hukum, untuk melaksanakannya.
Selama ini, pengawasan
implementasi terhadap inpres antikorupsi hanyalah sebatas formalitas. Tidak
ada kebijakan reward and punishment bagi kementerian/lembaga. Walhasil,
inpres sebetulnya dilihat sebagai sebuah imbauan moral belaka.
Terakhir, di luar
skema inpres tersebut, Presiden perlu mengambil langkah-langkah tertentu untuk
menyikapi penyimpangan dalam penegakan hukum. Jika tidak, inpres antikorupsi
hanya akan menjadi ironi di tengah situasi penegakan hukum yang korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar