Harapan pada KPK di Era Nawacita
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 19 Juni 2015
KPK selama ini lebih
terlihat mengutamakan kebijakan penindakan dalam pemberantasan korupsi, namun
terlihat tak cukup mengembangkan kebijakan supervisi dan prevensi dalam
membangun sistem anti korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penyelenggara
negara.
Dalam siklus
pemberantasan korupsi, kebijakan penindakan sejatinya perlu diletakkan dalam
rangkaian terakhir setelah terlebih dahulu dilakukan perbaikan dan penguatan
sistem anti korupsi yang mampu melaksanakan deteksi dini (early warning system) untuk mencegah
terjadinya praktik-praktik koruptif.
Dalam pertimbangan UU
No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terdapat dua konsiderasi penting mengenai
urgensi lahirnya KPK, yaitu pertama , dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi
yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua ,
bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan
konsiderasi dalam UU KPK tersebut, selanjutnya ditegaskan dalam Penjelasan UU
KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa hal, yaitu:
(1) dapat menyusun jaringan kerja (networking)
yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner”
yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif; (2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan; (3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan
institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism );
(4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan
oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
***
Jika mencermati substansi
dari konsiderasi dan penjelasan UU KPK tersebut, sejatinya sejalan dengan
amanah yang dicetuskan dalam Nawacita salah satunya adalah agar terdapat
sinergi fungsional di antara KPK RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI dalam
melaksanakan upaya pencegahan maupun penindakan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan
konsiderasi tersebut maka sebagian besar penyidik KPK bersumber dari aparat
Kepolisian RI yang diseleksi untuk menjadi penyidik KPK. Demikian pula
penuntut umum di KPK diharuskan bersumber dari Kejaksaan RI. Pesan di balik
dari ketentuan UU KPK tersebut adalah agar KPK juga bisa menjadi ruang untuk
menyinergikan dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal inilah yang
menjadi substansi dari makna bahwa KPK oleh pembentuk UU KPK sebagai pemicu
dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Maka, amanah
Nawacita untuk membangun sinergi antar para penegak hukum (KPK, kepolisian,
dan kejaksaan) sejatinya justru merevitalisasikan amanah UU KPK agar KPK
dapat menyusun jaringan kerja (networking)
yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner”
yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif.
Berdasarkan amanah
tersebut maka nantinya KPK harus menginisiasi cetak biru (blue print) jaringan kerja yang kuat
dan efektif untuk mengonstruksi sinergi peranan antar ketiga institusi
penegak hukum dimaksud. KPK sesuai dengan amanah UU KPK dan Nawacita harus
dapat memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan
efektif.
Meskipun upaya untuk
membangun jaringan kerja antarinstitusi penegak hukum tersebut selama ini
sudah dilakukan, memang perlu diakui hal itu ke depan perlu dilakukan secara
lebih serius berbasis cetak biru jaringan kerja yang kuat dan efektif
sehingga KPK sekaligus juga dapat memberdayakan kepolisian dan kejaksaan
dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Kejahatan korupsi
bukanlah sebuah kejahatan yang berdiri sendiri, namun terjadi karena sebagai
faktor penyebab sekaligus juga akibat dari beberapa faktor yang lain. Di
titik inilah sejatinya revolusi mental yang menjadi fondasi dari Nawacita
perlu dilakukan dengan konsisten dan efektif agar dapat dilakukan
transformasi kelembagaan menjadi lebih baik melalui perubahan pola pikir,
kultur maupun tindakan.
KPK sendiri sejak awal
dibentuk sudah memiliki perangkat sistem yang lengkap untuk mampu melakukan
”revolusi mental” birokrasi publik maupun mengubah budaya korupsi di kalangan
masyarakat. Penindakan dalam rangkaian sistem pemberantasan tindak pidana
korupsi harus diletakkan dalam suatu rangkaian yang sistematis dan koheren
dengan berbagai langkah pencegahan maupun edukasi.
Divisi pencegahan
maupun riset di KPK harus diberikan fungsi yang lebih efektif lagi sehingga
mampu melakukan revolusi mental birokrasi di tubuh berbagai lembaga negara
melalui penyemaian budaya antikorupsi di lingkungan berbagai lembaga negara.
Selama ini sejak dari ranah legislasi sampai pada implementasi kebijakan
masih tercium berbagai aroma tak sedap yang dipicu masih suburnya budaya
koruptif.
Di lingkungan
pemerintah, sektor pengadaan barang dan jasa dengan berbagai peraturan perundangundangan
yang sangat teknis dan njlimet
(baca: terlalu detail) siap mengeksekusi para birokrat yang tak paham,
teledor maupun yang dengan sengaja salah dalam mengadministrasikan proses
pengadaan barang dan jasa.
Ke depan, lebih baik
regulasi pengadaan barang dan jasa dengan supervisi KPK dan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bisa ditingkatkan level
hierarkinya menjadi suatu undang-undang yang mudah dipahami, tak terlalu njlimet namun sekaligus efektif untuk
mencegah praktik-praktik curang maupun penyalahgunaan wewenang dalam
pengadaan barang dan jasa publik.
Jika diperlukan
perincian, baru dituangkan norma operasionalnya dalam peraturan teknis
setingkat perpres maupun permen. Hal ini dimaksudkan agar pengadaan barang
dan jasa jangan menjadi ”kuburan karier” bagi para birokrat maupun
penyelenggara negara yang selama ini berdasarkan riset KPK tak kurang dari
70% kasus-kasus korupsi berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar