Bahaya
Penyidik KPK dan PPNS Bubar
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2015
KOMISI Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk kali ketiga kembali dikalahkan oleh gugatan praperadilan
yang diajukan tersangka korupsi. Termutakhir, kekalahannya dari Hadi Poernomo
(mantan dirjen Pajak dan mantan ketua BPK) dalam kasus korupsi pajak Bank
BCA, setelah sebelumnya dikalahkan oleh Komjen Budi Gunawan dan Wali Kota
Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Ketiganya demi hukum dibebaskan sebagai
tersangka korupsi. (SM, 28/5/15). Putusan hakim tunggal praperadilan PN
Jakarta Selatan, Haswandi, cukup mengejutkan publik karena berani mengoreksi
substansi Pasal 45 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa penyelidik dan
penyidik KPK yang bukan dari Polri dan Kejaksaan dianggap tidak sah.
Mengingat yang
menyelidiki dan menyidik kasus Hadi Poernomo adalah penyidik KPK independen
maka hakim Haswandi menganggap bertentangan dengan ketentuan Bab VI Pasal 6
Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik
adalah pejabat Polri dan Kejaksaan. Putusan praperadilan yang mengalahkan KPK
kali ini sangat berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi sebab sama
maknanya dengan membubarkan KPK. Sesungguhnya roh kinerja KPK di tangan para
penyelidik dan penyidiknya. Jika penyelidik dan penyidik KPK dianggap tidak
sah oleh hakim praperadilan maka secara eksplisit institusi KPK tak lagi
memiliki roh. Padahal jika menelisik lebih dalam sejak KPK berdiri tahun
2002, ketentuan Pasal 45 UU Nomor 30 Tahun 2002 selalu digunakan oleh KPK
dalam menyelidiki dan menyidik untuk menetapkan tersangka kasus korupsi dan
selama itu pula diakui dan dianggap sah oleh hakim pengadilan ataupun hakim
praperadilan.
Revisi Regulasi
Penilaian hakim praperadilan Haswandi terhadap posisi dan kedudukan
penyelidik dan penyidik KPK yang dianggapnya tidak sah karena direkrut
sendiri oleh KPK, bukan oleh kepolisian dan kejaksaan adalah tidak tepat.
Pasalnya secara hukum administrasi yang berhak menilai, menafsirkan, dan
memutuskan sah tidaknya pengangkatan penyelidik dan penyidik merupakan
kewenangan hakim PTUN.
Dalam jangka panjang
putusan praperadilan ini berisiko mengacaukan nasib 371 kasus tindak pidana
korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inckracht vangewijde). Koruptor dari 371 kasus tersebut bisa
menjadikan putusan praperadilan ini sebagai novum (bukti baru) untuk
menggugat ketidakabsahan posisi dan status penyelidik dan penyidik KPK yang
disebutkan oleh Haswandi tidak sah menurut KUHAP.
Kendati secara
normatif, novum hanya bisa dijadikan alat bukti baru ketika seseorang diadili
di pengadilan, bukan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Di titik
inilah tak dapat ditawar lagi bahwa DPR dan pemerintah perlu segera merevisi
KUHAP dan UU Nomor 30 Tahun 2002 supaya dua regulasi itu tidak saling
bertentangan tapi saling menguatkan dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak
maka putusan praperadilan ini menjadi preseden buruk dan bisa menyeret
pembubaran berbagai macam lembaga negara yang memiliki penyelidik dan
penyidik bukan dari Polri dan kejaksaan.
Kita bisa mencontohkan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan penyidik dari PNS untuk
menyidik tindak pidana tertentu. Biasanya tindak pidana tersebut bukan tindak
pidana umum yang biasa ditangani penyidik kepolisian. Berdasarkan Pasal 1
Angka 5 PP Nomor 43 Tahun 2012, PPNS ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai
wewenang melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukum masing-masing di beberapa instansi/lembaga atau badan
pemerintah.
Antara lain, pertama;
PPNS pada Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat provinsi,
kedua; PPNS pada Kementerian Kehutanan, dan ketiga; PPNS pada Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Solusi konkret yang dapat dilakukan oleh KPK
untuk melawan putusan praperadilan ini adalah kasasi ke MA supaya membuat
putusan untuk membatasi pengaturan praperadilan.
Mahkamah Agung (MA)
tanpa diminta seharusnya berani menerbitkan surat edaran (SE) untuk mengatur
pembatasan praperadilan. Ini dimaksudkan agar putusan praperadilan tidak
makin membuat kacaunya penegakan sistem peradilan pidana umum dan pidana
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar