Jumat, 12 Juni 2015

Bahaya Penyidik KPK dan PPNS Bubar

Bahaya Penyidik KPK dan PPNS Bubar

Agus Riewanto  ;  Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kali ketiga kembali dikalahkan oleh gugatan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi. Termutakhir, kekalahannya dari Hadi Poernomo (mantan dirjen Pajak dan mantan ketua BPK) dalam kasus korupsi pajak Bank BCA, setelah sebelumnya dikalahkan oleh Komjen Budi Gunawan dan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Ketiganya demi hukum dibebaskan sebagai tersangka korupsi. (SM, 28/5/15). Putusan hakim tunggal praperadilan PN Jakarta Selatan, Haswandi, cukup mengejutkan publik karena berani mengoreksi substansi Pasal 45 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa penyelidik dan penyidik KPK yang bukan dari Polri dan Kejaksaan dianggap tidak sah.

Mengingat yang menyelidiki dan menyidik kasus Hadi Poernomo adalah penyidik KPK independen maka hakim Haswandi menganggap bertentangan dengan ketentuan Bab VI Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat Polri dan Kejaksaan. Putusan praperadilan yang mengalahkan KPK kali ini sangat berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi sebab sama maknanya dengan membubarkan KPK. Sesungguhnya roh kinerja KPK di tangan para penyelidik dan penyidiknya. Jika penyelidik dan penyidik KPK dianggap tidak sah oleh hakim praperadilan maka secara eksplisit institusi KPK tak lagi memiliki roh. Padahal jika menelisik lebih dalam sejak KPK berdiri tahun 2002, ketentuan Pasal 45 UU Nomor 30 Tahun 2002 selalu digunakan oleh KPK dalam menyelidiki dan menyidik untuk menetapkan tersangka kasus korupsi dan selama itu pula diakui dan dianggap sah oleh hakim pengadilan ataupun hakim praperadilan.

Revisi Regulasi Penilaian hakim praperadilan Haswandi terhadap posisi dan kedudukan penyelidik dan penyidik KPK yang dianggapnya tidak sah karena direkrut sendiri oleh KPK, bukan oleh kepolisian dan kejaksaan adalah tidak tepat. Pasalnya secara hukum administrasi yang berhak menilai, menafsirkan, dan memutuskan sah tidaknya pengangkatan penyelidik dan penyidik merupakan kewenangan hakim PTUN.

Dalam jangka panjang putusan praperadilan ini berisiko mengacaukan nasib 371 kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inckracht vangewijde). Koruptor dari 371 kasus tersebut bisa menjadikan putusan praperadilan ini sebagai novum (bukti baru) untuk menggugat ketidakabsahan posisi dan status penyelidik dan penyidik KPK yang disebutkan oleh Haswandi tidak sah menurut KUHAP.

Kendati secara normatif, novum hanya bisa dijadikan alat bukti baru ketika seseorang diadili di pengadilan, bukan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Di titik inilah tak dapat ditawar lagi bahwa DPR dan pemerintah perlu segera merevisi KUHAP dan UU Nomor 30 Tahun 2002 supaya dua regulasi itu tidak saling bertentangan tapi saling menguatkan dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak maka putusan praperadilan ini menjadi preseden buruk dan bisa menyeret pembubaran berbagai macam lembaga negara yang memiliki penyelidik dan penyidik bukan dari Polri dan kejaksaan.

Kita bisa mencontohkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang merupakan penyidik dari PNS untuk menyidik tindak pidana tertentu. Biasanya tindak pidana tersebut bukan tindak pidana umum yang biasa ditangani penyidik kepolisian. Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 PP Nomor 43 Tahun 2012, PPNS ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing di beberapa instansi/lembaga atau badan pemerintah.

Antara lain, pertama; PPNS pada Kementerian Perhubungan atau Dinas Perhubungan di tingkat provinsi, kedua; PPNS pada Kementerian Kehutanan, dan ketiga; PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Solusi konkret yang dapat dilakukan oleh KPK untuk melawan putusan praperadilan ini adalah kasasi ke MA supaya membuat putusan untuk membatasi pengaturan praperadilan.

Mahkamah Agung (MA) tanpa diminta seharusnya berani menerbitkan surat edaran (SE) untuk mengatur pembatasan praperadilan. Ini dimaksudkan agar putusan praperadilan tidak makin membuat kacaunya penegakan sistem peradilan pidana umum dan pidana korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar