Kamis, 15 Februari 2018

Dari Tenda Angkringan yang Sempit dan Tempias

Dari Tenda Angkringan yang Sempit dan Tempias
Kalis Mardiasih ;   Menulis opini dan menerjemah;   Aktif sebagai Periset dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                  DETIKNEWS, 09 Februari 2018



                                                           
Sebuah kota bernama Yogyakarta diabadikan oleh penyair Joko Pinurbo (Jokpin) dalam tiga kata: rindu, pulang dan angkringan. Jokpin benar. Tetapi, suara-suara dari angkringan seringkali tidak bernada romantik seperti manisnya syair. Dari tenda angkringan yang sempit dan tempias, rerasan tentang para pengutang yang pergi tanpa bayar lebih sering jadi objek pembicaraan.

"Yu Nah utang makan seminggu di sini 24 ribu tidak kutagih. Biar sajalah. Biar sadar sendiri."

Penjual angkringan mengadu kepada seorang tukang becak yang juga ngutang "udud" di warungnya. Yang dimaksud Yu Nah itu konon seorang janda dengan penghasilan tak menentu yang berasal dari rupa-rupa pekerjaan seperti buruh laundry, memijat, dan lainnya. Yu Nah punya dua anak yang masih bersekolah.

Gerimis rapat. Tenda angkringan yang sempit tetap hangat bersama empat ceret berisi rebusan air yang sewaktu-waktu dituang untuk membuat teh hangat, jeruk hangat dan krampul hangat. Minuman jenis terakhir itu nikmat sekali, terbuat dari teh tubruk yang dicampur dengan perasan air jeruk. Orang kota biasa menyebut dengan lemon tea, tapi lemon tea sudah pasti hanya tersaji di kedai, kafe atau restauran, bukan pada sebuah gerobak dengan atap terpal di pinggir jalan atau di sudut jalanan kampung dengan penerangan lampu minyak ketika malam menjelang.

Ketika mengenang angkringan, Jokpin barangkali sedang mengenang teman-temannya. Para penulis dan penyair yang bersama dengannya memasak kata, berita dan fenomena dalam Basis, Gatra atau Sadhar. Tetapi, angkringan sesungguhnya juga milik para sales yang kejar setoran, tukang ojek pangkalan, pegawai kantor dan pegawai pabrikan dengan upahan rendah, pekerja seks komersial (PSK) dan pencopet. Soal PSK, tentu bisa kau jumpai mereka di angkringan-angkringan yang ada di sudut lokalisasi. Dari profesi terakhir itu, kau bisa dengan mudah mendengar rencana konspirasi mereka di angkringan-angkringan seputaran kampus atau tempat wisata. Mereka sungguh berbicara dengan blaka suta, blak-blakan alias tanpa malu-malu ketika bercerita tentang pengalamannya terpeleset ketika mencuri laptop di sebuah kosan atau berbagi cerita perihal keluar-masuk bui karena aktivitasnya.

Namun, yang ngangeni dari angkringan sesungguhnya adalah sego kucing dan segala macam penganan pelengkapnya. Sego isi sambel bandeng, sambel teri, dan orek tempe adalah primadona, bersama tempe mendoan, tahu isi, sate telor sunduk, pisang goreng, dan kerupuk rantang. Yogyakarta dan Surakarta, dua kota yang justru mengapit Cawas, Klaten sebagai kota yang menurut cerita gethok tular menjadi sejarah asal muasal angkringan adalah potret unik. Di kota ini, manusia di angkringan tidak bisa ditebak latar belakang sosialnya. Manusia dengan penghasilan 15 ribu rupiah per hari hingga mereka yang menghasilkan puluhan juta dalam hitungan jam, memiliki kualitas perut yang sama dalam mencerna hidangan yang murah meriah. Dari tenda yang suk-sukan ini, manusia disatukan dalam bahasa kesederhanaan.

Sementara itu, di televisi, narasi orang-orang kelas bawah disajikan dengan begitu memuakkan. Orang miskin di televisi adalah objek tayangan reality show dengan konsep pelunasan utang, pemberian hadiah atau tukar nasib. Untuk rating, mereka dijual dengan tayangan mengumbar kesedihan yang membangkitkan rasa emosional dan iba. Tak jarang, mereka juga dijual sebab wajah ndeso, keluguan, kelucuan dan kekonyolannya. Potret wajah orang miskin di televisi adalah kepedulian yang naif pada realitas ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh tindak korupsi, penyalahgunaan wewenang dan hukum yang tidak berpihak.

Wajah orang miskin di angkringan adalah wajah nyata dan suara-suara tentang hidup yang berjuang. Perihal utang makan yang seminggu tak dibayar adalah kearifan khas masyarakat kita yang jiwanya teruji lapang dan besar. Dulu sekali, angkringan malah tidak tersaji pada gerobak. Hidangan Istimewa Kampung itu dipikul dengan angkring, semacam pikulan yang dikombinasikan dari bahan kayu, rotan dan bambu. Penjual yang berkeliling itu melahirkan tradisi mengobrol, melanggan, hingga persaudaraan.

Belakangan ini, kata angkringan mulai dikooptasi dalam wajah baru. Ia tak lagi dipikul angkring atau berupa gerobak beratap tenda terpal. Angkringan masa kini adalah angkringan yang bertempat pada kedai, kafe bahkan resto eksklusif. Sajiannya memang masih berupa ragam sego kucing, berbagai gorengan dan minuman wedangan. Akan tetapi, harganya tentu saja tidak dapat dijangkau oleh tukang becak, buruh pabrikan dan tukang copet. Beragam merek mobil mewah pun memadati halaman parkir angkringan wajah baru ini. Makanan kampung rupa-rupanya sudah naik kelas. Aplikasi makanan pesan-antar memungkinkan sajian dapat dipesan cukup lewat gawai, sehingga tradisi berbincang pun tereduksi dengan banal.

Di Jakarta, hidangan-hidangan kampung ini memang sering laris sebab mewakili sebuah rasa rindu pulang dibanding substansinya sebagai makanan sederhana. Sehingga kehadiran angkringan modern di Jakarta pun ramai dikunjungi pelanggan.

Tenda angkringan yang sempit dan tempias di sudut jalan kampung sesungguhnya adalah wajah sosial sebuah masyarakat. Betapa di sudut-sudut jalan kampung ada orang-orang kecil yang tak pernah merengek meminta keadilan meskipun hidup terhimpit kesulitan. Modal sosial mereka bukanlah kekayaan, tetapi kehangatan percakapan sepanjang hari dan kehangatan persaudaraan. Mereka hidup terhormat dengan cara menyenangkan, meskipun sejarah seringkali luput mendokumentasikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar