Masa
Depan DPD
Saldi Isra ; Profesor Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS, 06 April 2017
Selama dua hari, 2-3 April, publik menyaksikan bagaimana
perebutan kuasa terjadi di Dewan Perwakilan Daerah. Untuk mencapai tujuan
meraih kuasa, akal sehat tak lagi menjadi pilihan menyelesaikan masalah.
Panggung politik dan ruang sidang yang seharusnya menjadi pentas debat yang
penuh keadaban berubah menjadi tontonan kekerasan.
Semua dalil kebenaran tenggelam dalam debat yang lebih
banyak bersandar pada adu keras pita suara dan daya tahan urat leher.
Kebenaran dalil hukum menjadi mati dan berubah menjadi puing kehancuran.
Ujungnya, terpilihnya trio pimpinan senator Senayan dengan Oesman Sapta Odang
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Hasil tersebut merupakan titik kulminasi rangkaian krisis
panjang yang telah cukup lama mendera DPD.
Bilamana dilacak ke belakang, selama periode anggota DPD
tahun 2014-2019, jalan menuju krisis telah dimulai dengan berkembangnya
wacana untuk memangkas masa jabatan pimpinan DPD yang semula lima tahun
menjadi 2,5 tahun. Sayup-sayup, skenario memangkas masa jabatan pimpinan
mulai bergulir sejak 2015 dan menemukan momentum saat dilakukan revisi peraturan
Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2014 (Tatib No 1/2014).
Sekalipun terdapat beberapa isu yang diubah dalam Tatib No
1/2014, gagasan terbesar adalah membuat aturan baru yang memungkinkan masa
jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun. Karena itu, sulit dibantah, hampir
sepanjang 2016, energi DPD terkuras dalam pro-kontra pemotongan masa jabatan
2,5 tahun. Bentangan empirik, anggota DPD terbelah menjadi dua kelompok
besar, yaitu barisan pendukung 2,5 tahun dan barisan yang menolak pemotongan
masa jabatan pimpinan DPD.
Sebagai sebuah lembaga negara dengan wewenang
konstitusional yang berada dalam posisi antara ada dan tiada, tontonan tak
menarik dalam proses berebut kuasa sebagai pimpinan kian menenggelamkan
keberadaan DPD. Jamak dipahami, lembaga yang dirancang sebagai representasi
kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat belum mampu
membuktikan signifikansi kehadirannya. Karena itu, peristiwa rebutan pimpinan
tersebut sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar terhadap masa depan DPD.
Serba tanggung
Sejak awal, kehadiran DPD sebagaimana termaktub dalam
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945) tidaklah
dirancang sebagai suatu lembaga legislatif yang ideal.
Merujuk catatan yang tersedia, begitu wewenang DPD disepakati
dalam perubahan ketiga UUD 1945 (2001), bermunculan banyak kritik dan
penilaian bahwa senator Senayan tidak akan mampu memosisikan dirinya
merepresentasikan kepentingan daerah. Alasannya sederhana, Pasal 22D UUD 1945
hanya menyediakan ruang amat terbatas bagi anggota DPD dalam memenuhi imaji
sebagai representasi kepentingan daerah.
Secara sederhana, posisi DPD dapat dikatakan serba
tanggung sebagai sebuah lembaga yang dihadirkan dengan imaji besar. Ihwal
fungsi legislasi, misalnya, Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, DPD memiliki
otoritas terbatas dengan adanya frasa "dapat mengajukan" dan
"ikut membahas" rancangan undang-undang (RUU) yang terkait dengan
hubungan pusat dan daerah. Fungsi sub-ordinat DPD kian jelas karena dalam
desain besar pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama, lembaga ini hanya diberi wewenang sempit, yaitu
sebatas memberikan pertimbangan.
Ihwal keberadaan serba tanggung dalam fungsi legislasi
tersebut, DPD sempat mendapat angin segar ketika Mahkamah Konstitusi (MK)
mengabulkan sebagian besar permohonan uji materi DPD terhadap sejumlah pasal
dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD (UU MD3), dan DPRD; serta
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebagaimana ditulis dalam "Paradigma Baru
Legislasi" (Kompas, 30/5/2013), semangat dan substansi Putusan Mahkamah
Konstitusi No 92/PUU-X/2012 memberikan kesempatan luas bagi DPD guna
mengoptimalkan peran mereka sebagai representasi kepentingan daerah dalam
pembentukan undang-undang. Paling tidak, optimalisasi fungsi legislasi DPD
terkait dengan wewenang dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Bayangan banyak pihak yang concern terhadap nasib lemahnya
fungsi legislasi senator Senayan, anggota DPD periode 2014-2019 akan
meneruskan ikhtiar menuju terwujudnya semangat dalam putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Caranya, semua elemen anggota DPD berjuang dan bergerak
seayun-selangkah dalam visi besar untuk mewujudkan penguatan demi memenuhi
imaji pembentukan DPD. Namun, saat kepentingan politik jangka pendek mulai
menggerogoti DPD, langkah konkret keluar dari posisi serba tanggung menjadi
semakin sulit dilakukan. Banyak kalangan menduga, pembelahan akibat manuver
di sekitar pemilihan pimpinan baru akan menjadi beban politik baru DPD ke
depan.
Selain fungsi legislasi, posisi serba tanggung kedua dapat
dijelaskan dari sudut pandang yang sejauh ini cenderung menempatkan atau
menyebut DPD sebagai kamar kedua (second chamber) lembaga perwakilan. Bahkan,
dengan adanya DPD, lembaga perwakilan setelah perubahan UUD 1945 secara
sederhana disebut model berkamar ganda (bikameral). Karena pandangan
demikian, sejumlah kalangan tidak keberatan menyebut DPD sebagai
"Senat" dan sebagian anggota DPD dengan lancar menyebut diri mereka
sebagai "Senator".
Apabila dilihat dari perumusan UUD 1945 dan teori lembaga
perwakilan, cara penyebutan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Dengan membaca
Pasal 22D UUD 1945, lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945
bukan merupakan lembaga perwakilan bikameral.
Hasil kajian sejumlah penulis dan pengkaji hukum tata
negara Indonesia, perubahan UUD 1945 menghasilkan lembaga legislatif tiga
kamar dengan menempatkan MPR menjadi salah satu kamar lembaga perwakilan
rakyat. Dalam hal ini, Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MPR terdiri
dari anggota DPR dan anggota DPD tidak tepat menyebut sebagai lembaga
perwakilan bikameral.
Terkait dengan pandangan tersebut, Bagir Manan (2003)
menegaskan, MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunannya
yang menyebutkan terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Dalam susunan dua
kamar perwakilan berkamar ganda (bikameral), imbuh Bagir Manan, bukan anggota
yang menjadi unsur tetapi badan, yaitu DPR dan DPD. Apabila anggota yang
menjadi unsur, maka MPR adalah badan atau kamar yang berdiri sendiri. Dengan
demikian, hasil perubahan UUD 1945 tidak menempatkan MPR menjadi sidang
gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.
Posisi serba tanggung DPD dalam desain lembaga perwakilan
hanya mungkin bisa diredakan sekiranya para senator Senayan hadir dengan
kinerja yang lebih optimal. Berkaca dari penilaian masyarakat di daerah
selama ini, bilamana anggota DPD ditanya tentang peran sesungguhnya yang
mereka lakukan dalam mengagregasi kepentingan daerah dalam proses pengambilan
keputusan tingkat nasional, hampir mayoritas anggota DPD gagap memberikan
penjelasan dan bukti yang meyakinkan. Akhirnya, pelan-pelan menyeruak
suara-suara yang mempertanyakan relevansi adanya DPD dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Masa depan
Dengan posisi yang serba tanggung dalam desain lembaga
perwakilan dan ditambah dengan implikasi kisruh pemilihan pimpinan DPD, masa
depan senat Senayan akan menjadi sebuah penantian menarik. Misalnya, dalam
soal fungsi legislasi, Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-X/2012 yang
memberikan harapan segar untuk segera keluar dari posisi serba tanggung dalam
proses pembentukan undang-undang menjadi semakin tidak mudah direalisasikan.
Alasannya sederhana, semangat dan substansi Putusan Mahkamah
Konstitusi No 92/PUU-X/2012 sebagian telah dianulir oleh UU MD3 terbaru.
Sebagai bagian dari upaya berjuang kembali menguatkan
fungsi legislasi DPD, sejak 2016 terbuka jalan untuk menghidupkan lagi
semangat dan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-X/2012. Jalan ke
arah itu, menggarap dengan serius rencana revisi UU Nomor 12 Tahun 2011.
Karena terjebak pembelahan soal pemotongan masa jabatan, DPD benar-benar
kehilangan fokus untuk menggarap rencana revisi UU Nomor 12 Tahun 2011.
Padahal, sekiranya semangat dan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi No
92/PUU-X/2012 mampu diperjuangkan dalam revisi UU Nomor 12 Tahun 2011, fungsi
legislasi DPD akan menjadi lebih nyata dalam mengagregasi kepentingan daerah.
Namun, yang jauh lebih mengkhawatirkan, berbagai kalangan
yang selama ini menjadi bagian dari upaya memperkuat DPD, mulai menyadari
bahwa cengkeraman partai politik menjadi kian nyata melilit DPD. Melacak
meluasnya keberatan publik yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir,
tidak terlepas dari bentangan empirik bergabungnya sejumlah senator Senayan
ke Partai Hanura. Sekiranya dibaca dalam konteks itu, upaya memuluskan jalan
Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD dengan mudah dibaca dan sekaligus
dimaknai sebagai bagian skenario memperkuat posisi Partai Hanura di DPD.
Pertanyaan mendasar yang muncul ke permukaan, mengapa
berbagai pihak begitu kritis ketika sejumlah anggota DPD boyongan ke Partai
Hanura? Jawaban yang lebih sederhananya, keberatan tidaklah disebabkan
masuknya orang partai politik ke DPD karena jauh-jauh hari sebelumnya sudah
banyak pula aktivis dari partai politik yang bergabung ke DPD. Namun, lebih
disebabkan mereka yang bergabung dari DPD menjadi unsur organik (baca:
pengurus harian Partai Hanura) termasuk posisi Oesman Sapta Odang.
Dikhawatirkan, dalam pola relasi DPD-DPR, dengan kuatnya posisi Partai
Hanura, DPD sangat mungkin bergerak dan berada di bawah bayang-bayang Fraksi
Partai Hanura di DPR.
Padahal, jika dikembalikan pada pengaturan dalam UUD 1945,
posisi anggota DPD sangat berbeda dengan anggota DPR. Dalam hal ini, Pasal
22E Ayat (3) dan (4) UUD 1945 memberikan garis demarkasi bahwa anggota adalah
unsur perseorangan, sementara anggota DPR berasal dari partai politik. Dengan
adanya pembatasan dalam klausul "perseorangan" itu, anggota DPD
seharusnya tidak memiliki garis organik dengan kepengurusan partai politik.
Kini, dengan banyaknya anggota DPD bergabung menjadi pengurus Partai Hanura,
sulit membayangkan masa depan DPD.
Catatan terakhir, meski DPD memiliki wewenang terbatas,
perjalanannya selama ini dapat dukungan lebih dari cukup dari komponen
masyarakat sipil. Banyak kalangan khawatir dukungan serupa akan menyusut
secara drastis. Apabila kekhawatiran tersebut benar-benar terjadi, DPD akan
berjalan sendiri di tengah lilitan kepentingan partai politik. Dalam batas
penalaran yang wajar, seharusnya kita tak perlu terlalu dalam mempertanyakan
masa depan DPD sekiranya Mahkamah Agung tidak memiliki sikap mendua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar