Membaca Konsekuensi Pilkada Jakarta
Anna Luthfie ; Ketua DPP Perindo
|
KORAN
SINDO, 17
April 2017
Menjelang H-2 pemungutan suara putaran kedua Pilkada DKI,
situasi dan wajah Jakarta cukup menegangkan dan mendebarkan, tidak hanya bagi
kedua pasangan calon bersama timnya, namun juga oleh masyarakat sebagai
pemilih.
Dengan waktu yang semakin sempit, segala daya dan energi
potensial digerakkan maksimal untuk memanfaatkan jeda, sampai pemilih
mencoblos di bilik suara nanti. Mengapa ini penting diperhatikan? Karena,
dengan kekuatan yang hampir berimbang, ketegangan kedua kubu yang meningkat
ditambah lagi dengan kohesi sosial yang cenderung mudah terkoyak, putaran
kedua Pilkada DKI akan potensial menghasilkan keteganganketegangan baru.
Ketegangan ini tentu tergantung dengan hasil pilkada nanti.
Jika berandaiandai, penulis melihat kedua pasangan calon
akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi jika mereka terpilih maupun kalah.
Mari kita bedah keduanya. Jika pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful
Hidayat (Ahok-Djarot) menang, apa yang terjadi? Pertama, jika pasangan ini
menang, ada variabel hukum terkait kasus pengadilan penodaan agama yang
menjerat Ahok sebagai terdakwa.
Tentu publik ingat bagaimana ada penundaan pembacaan
tuntutan terhadap Ahok yang ditunda sehari setelah pemungutan suara.
Penundaan ini secara kasatmata menunjukkan ada intervensi dalam proses hukum,
meskipun surat Kapolda kepada majelis hakim kasus Ahok lebih bersifat
imbauan. Sulit rasanya menghilangkan dugaan adanya pertimbangan politis dalam
penundaan tuntutan tersebut.
Kedua, imbas dari kasus hukum. Jika pasangan Ahok-Djarot
menang dan Ahok dituntut maksimal lima tahun penjara dan kemudian divonis,
setidaknya separuh dari tuntutan, tentu proses pelantikannya sebagai gubernur
terhalang.
Di sinilah Djarot bakal menggantikan posisi Ahok sebagai
gubernur. PDI Perjuangan rasanya akan mengambil untung dengan posisi ini.
Apalagi, sosok Djarot adalah kader dari partai ini. Namun, tentu jika Ahok
divonis bebas, otomatis pasangan Ahok-Djarot melaju di periode keduanya
memimpin Jakarta.
Ketiga,jika Ahok-Djarot menang dan Ahok bebas dari tuntutan
hukum kasus penodaan agama, tentu Jakarta potensial akan tetap gaduh.
Penolakan umat muslim yang digambarkan dalam sejumlah aksi
besar (Gerakan 411, 212) adalah cerminan kemarahan dan perlawanan mereka pada
sosok Ahok yang dinilai merusak basis toleransi, yakni sikap saling
menghormati dan menghargai ajaran agama yang ada di negeri ini. Opsi ini
rasanya akan berpotensi melahirkan reaksi yang besar juga dari umat muslim.
Sebagian besar dari mereka meyakini Ahok bersalah dan telah menodai ajaran agama
Islam dan menghina ulama. Apalagi, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
menjadi bukti di persidangan ibarat ”visum” dari sebuah kasus pidana.
Keempat, jika Ahok-Djarot menang, tentu pergerakan Jakarta
akan seperti yang kita rasakan selama ini.
Reklamasi akan tetap jalan dan imbas pembangunan serta
penanganan problem perkotaan seperti kasus penggusuran akan potensial tetap
terjadi dengan pola komunikasi yang searah, minim dialog, sebagaimana yang
selama ini terjadi dengan pergolakan dan penolakan sejumlah warga yang
menjadi korban penggusuran.
Kelima, kemenangan Ahok tentu akan dikapitalisasi secara
politik seperti halnya kemenangan Jokowi di Pilkada DKI 2012.
Desas-desus politik yang menyatakan Ahok potensial maju di
Pilpres 2019 terbuka lebar untuk menjadi kenyataan. Apalagi, dalam satu sesi
debat Pilkada DKI, ketika ditanya pertanyaan apakah jika menjadi gubernur
akan menyelesaikan mandat selama lima tahun, justru Djarot yang menjawab,
bukan Ahok. Sikap ini semakin menguatkan dugaan publik, Pilkada DKI adalah
batu loncatan bagi Ahok untuk melaju di Pilpres 2019.
Anies-Sandi
Sebaliknya, apa yang terjadi di pasangan Anies Baswedan-
Sandiaga Uno (Anies-Sandi) ketika memenangi pertarungan pilkada ini? Tentu
peluang pasangan ini cukup besar mengingat dalam perjalanan waktu mengalami
peningkatan elektabilitas. Hampir semua lembaga survei yang memublikasikan
risetnya menyebutkan pasangan ini unggul atas Ahok-Djarot. Prediksi sejumlah
survei yang menyebut di putaran kedua, pasangan Anies-Sandi akan unggul
sepertinya bukan isapan jempol belaka.
Kelompok pemilih pasangan Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvi) yang disinyalir memiliki karakteristik
yang sama dengan pemilih Anies-Sandi, sedikit banyak menjadi sumber dukungan
potensial bagi pasangan ini (baca; hampir 80% pemilih Agus-Sylvi menginfakkan
suaranya ke pasangan Anies-Sandi). Di samping juga ada tambahan energi dari
beberapa partai (baca: Partai Perindo, PAN, PBB, Partai Idaman, dan lain
lain).
Lalu, apa yang terjadi jika Anies-Sandi menang? Pertama,
Jakarta akan memiliki wajah baru.
Dari sebelumnya personifikasi Ahok yang dikenal
temperamental, emosional, menjadi personifikasi yang santun, tenang, dan
cenderung mengayomi semua kelompok masyarakat. Anies dan Sandi memiliki
gesture yang hampir serupa, meskipun keduanya memiliki latar belakang passion
yang berbeda. Jakarta bakal relatif lebih fresh dari sebelumnya.
Kedua, beberapa kalangan atau pihak akan mempertanyakan
soal kedekatan Anies-Sandi dengan kelompok-kelompok yang dicap radikal,
seperti FPI dan kelompok Islam lainnya.
Hal ini wajar mengingat pasangan ini memang cenderung
dekat dan didukung oleh sebagian besar elemen Islam. Setidaknya, pasangan ini
berhasil menjadi antitesis dari pasangan Ahok-Djarot.
Ketiga,pasangan Anies-Sandi akan dihadapkan pada persoalan
cukup besar tentang reklamasi.
Komitmen mereka menolak reklamasi akan dibayangkan bagi
banyak kalangan soal bagaimana nasib pulau reklamasi yang telanjur sudah
dibangun. Nah pertanyaan ini semestinya sudah dipersiapkan dan dimatangkan
oleh pasangan ini sebagai bagian dari agenda untuk mengadvokasi terhadap
sebagian kelompok masyarakat nelayan.
Keempat, pasangan ini akan selalu diidentikkan dengan
representasi Islam politik.
Diakui atau tidak, fenomena Gerakan 411, 212, dan gerakan
lainnya tidak lepas dari potret masih kuatnya gerakan Islam dalam memengaruhi
gerak negara. Dalam konteks ini kasus penodaan agama yang menjerat Ahok
menjadi bukti peran gerakan ini. Pasangan ini akan selalu dilekatkan dengan
Islam politik yang damai. Tentu menjadi tantangan bagi Anies-Sandi untuk
membuktikan bahwa komitmen mereka adalah terkait dengan agenda kebangsaan,
berdiri di atas semua golongan dengan tetap menghormati semua hak kelompok di
masyarakat Jakarta.
Kelima, pasangan Anies- Sandi cenderung akan memiliki
pekerjaan rumah besar karena mereka adalah pendatang baru yang harus memulai
dari nol terkait janji-janji politiknya di pilkada, mulai dari program oke
oce, oke otrip, sampai oke ocare, peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan
kesehatan, perumahan warga yang layak.
Tentu, seperti yang mereka janjikan, semua program ini
akan membuka kesempatan pada sektor publik untuk terlibat di dalamnya, tidak
sekadar dimonopoli oleh pemerintah. Konsepnya memang membangun sebuah open
government selama lima tahun ke depan. Nah, dari gambaran kedua pasangan
calon di atas, tentu publik bisa lebih mudah memilih apakah ingin Jakarta
seperti ini saja dan puas dengan kondisi yang ada atau ingin ada perubahan
dalam pola pemerintahan yang selama ini dijalankan oleh petahana.
Tentu variabelnya tidak sekadar hitung-hitungan rasional.
Sisi emosional lebih banyak memengaruhi juga, apalagi ada variabel kasus
penodaan agama yang sedikit banyak semakin menguatkan sisi ideologisemosional
tersebut. Tentu dalam konteks petahana, pasangan Ahok-Djarot diuntungkan
karena publik lebih mudah melihat dan membaca apa yang sudah dilakukan
pasangan petahana selama ini.
Sementara untuk pasangan Anies-Sandi, sebagai penantang
tentu perlu keterampilan khusus untuk meyakinkan publik atas program-program
yang ditawarkan dan digulirkan selama masa kampanye. Namun, jangan lupa,
dalam sejumlah survei kepuasan terhadap kinerja petahana ternyata tidak
berbanding lurus dengan potensi elektabilitasnya. Inilah titik kritis bagi
Ahok-Djarot dan menjadi peluang bagi Anies-Sandi untuk merebut suara dan
memenangkan pertarungan ini.
Detik-detik menjelang pencoblosan ini akan kita lihat
bersama apakah pemilih Jakarta menginginkan Jakarta lebih baru dan fresh serta
bisa memberikan harapan lebih baik atau cukup puas dengan Jakarta yang sudah
ada saat ini. Semoga babak akhir ini bakal bisa memberikan tontonan atau
hiburan bagi publik Indonesia dan bahkan dunia serta lebih jauh kita berharap
Pilkada DKI bisa menjadi tuntunan berdemokrasi yang semakin sehat dan
bermartabat Selamat memilih! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar