Dagelan
Tidak Lucu
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 06 April 2017
Mereka yang lahir dari rahim reformasi belum tentu
reformis. Bukti itu terlalu banyak di panggung politik. Salah satu
"bayi" yang lahir dari rahim reformasi adalah Dewan Perwakilan
Daerah atau senator yang hari-hari belakang ini mementaskan
"dagelan" di Senayan, Jakarta. Mereka ricuh di ruang sidang terkait
suksesi kepemimpinan DPD di arena sidang paripurna, Senin (3/4). Semula,
sidang paripurna dijadwalkan membacakan salinan putusan Mahkamah Agung yang
membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun
2017 tentang Tata Tertib.
Berdasarkan putusan MA, DPD tidak ada alasan sah (hukum)
untuk memilih pimpinan DPD periode April 2017- September 2019 atau mengganti
pimpinan periode 2014-2017. Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1
Tahun 2017-yang dibatalkan MA itu-mengatur perubahan masa jabatan unsur
pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan.
Namun, sejumlah anggota DPD memaksa ada pergantian
pimpinan DPD yang sampai Senin dipegang Ketua Mohammad Saleh (Bengkulu) dan
dua Wakil Ketua, yaitu GKR Hemas (Yogyakarta) dan Farouk Muhammad (NTB).
Namun, pimpinan baru cepat dipilih pada Selasa dini hari. Ketua Oesman Sapta
Odang (Kalimantan Barat) dengan Wakil Ketua Nono Sampono (Maluku) dan
Darmayanti Lubis (Sumatera Utara) dipilih 62 anggota (dari 132 anggota) DPD.
Dalam politik, aktor politik tentu punya pembenar atas
tindakannya. Dalam perebutan kekuasaan, kadang kala bukan persoalan sah atau
tidak, melainkan bagaimana kekuasaan itu dapat direbut. Mereka yang
machiavellis tentu bisa menghalalkan segala cara. Bisa bertindak seperti
singa yang ganas atau serigala yang licik. Dalam konteks ini, dapat dipahami
betul ungkapan penulis dan teolog James Freeman Clarke (1810-1888) bahwa
"politisi itu selalu memikirkan pemilu berikutnya, tetapi negarawan
selalu memikirkan generasi berikutnya".
Ketika drama di ruang paripurna DPD ricuh, banyak pihak
berpikir putusan MA akan bisa menghentikan kegaduhan dan rebutan kuasa itu.
Sebab, MA telah memutuskan menutup peluang terjadi pemilihan pimpinan baru.
Ternyata, apa yang terjadi justru di luar dugaan publik. Wakil Ketua MA Agung
Suwardi justru hadir di Senayan memandu Oesman Sapta, Nono Sampono, dan
Darmayanti Lubis mengucapkan sumpah jabatan sebagai pimpinan DPD periode
2017-2019.
Orang awam pun tak habis pikir. Bahkan, tokoh sekaliber
Harifin Tumpa yang memimpin MA pada 2008-2012 juga bingung. "Bagaimana
orang akan percaya kepada MA dan putusan pengadilan jika MA sendiri tidak
menghormati putusannya?" kata Harifin.
Padahal, kita sadar betul bahwa MA adalah benteng
tertinggi dan terakhir hukum. Kalau MA (terlebih lagi pimpinan MA) tidak
memberi contoh kepatuhan pada putusan MA sendiri, hanya omong kosong
mengharapkan masyarakat taat pada hukum. Dalam konteks ini, bisa dipahami
adagium hukum bahwa "seorang hakim harus mempunyai dua hal: kebijakan
kecuali dia adalah orang bodoh dan hati nurani kecuali dia punya sifat
kejam".
Benar kata Bung Karno pada peringatan Hari Ulang Tahun RI
tahun 1952. "Kita ini dihinggapi empat macam krisis. Pertama, krisis
politik, yang banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis
alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau.
Keempat, krisis moral. Sebenarnya kita menderita krisis satu macam lagi,
yaitu krisis gezag (kewibawaan)!"
Rasanya muak menonton dagelan para elite yang tak lucu....
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar