Robohnya
Kandang Kami
Suwidi Tono ; Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia"
|
KOMPAS, 17 April 2017
Liberalisasi berkecepatan tinggi sedang melanda Republik.
Ketiadaan koreksi dan intervensi negara melahirkan "hukum
rimba" dengan korban nyata di
pihak yang lemah, yakni rakyat: petani, peternak, nelayan, dan 270 juta
konsumen.
Dalam medan persaingan bisnis tidak setara itu, kekuatan
kapital besar terus menjebol benteng pertahanan usaha peternakan ayam rakyat
yang tidak cukup terlindungi. Hasil
liputan Kompas: "Ayam 'Makan' Ayam" (15/3/2017), "Peternak Ayam Terpukul"
(31/3/2017), dan "Usaha Pertanian
Dikuasai Modal Besar" (31/3/2017)
menegaskan bahwa the level playing field usaha pertanian semakin tidak memihak kepada
golongan usaha kecil dan menengah.
Dari studi lapangan penulis ke beberapa kota sentra
industri peternakan ayam ras rakyat di Jawa Timur-yakni Malang, Blitar,
Jombang, dan Sidoarjo, 19-22 Maret lalu- kecenderungan ambruknya usaha
peternakan ayam rakyat yang telah dibangun beberapa dekade silam tinggal menghitung waktu.
Para peternak kecil dengan skala usaha di bawah 20.000
ekor (ayam petelur) dan 5.000 ekor (ayam pedaging) terus merugi akibat harga jual produk di
bawah harga pokok produksi (HPP).
Komponen utama HPP, yaitu harga pakan, terus naik, pasar kelebihan
pasokan akibat produk perusahaan integrator skala raksasa (industri bibit,
pakan, sekaligus budidaya) turut membanjiri pasar tradisional.
Pertarungan vis a vis industri besar dengan peternak kecil
yang juga sangat tergantung pasokan bibit dan pakannya kepada industri
tersebut menyisakan pertanyaan besar atas kebijakan dan struktur tata niaga
yang terbentuk. Efisiensi tinggi memang
menekan HPP. Namun, faktanya, harga jual telur dan daging ayam tetap
tinggi di tingkat konsumen. Margin tata niaga yang tidak dinikmati peternak
itu terus menjadi salah satu persoalan besar yang tidak tertangani.
Dalam sejarahnya, peternakan ayam mengalami beberapa kali
guncangan besar. Pada 1980-an, sejalan dengan introduksi program Peternakan
Inti Rakyat (PIR) Perunggasan, upaya membangun kemitraan peternak-integrator
tidak berjalan mulus. Kendati membuat
banyak peternak kecil gulung
tikar karena kebijakan yang asimetris itu, konsumsi daging dan telur per
kapita masih sangat rendah serta penetrasi modal besar masih terbatas pada
industri bibit dan pakan.
Tahun 1997-1998, seiring dengan krisis ekonomi yang
membuat bahan baku pakan (sebagian besar impor) melonjak, terjadi konsolidasi
antara integrator dan peternak mitra sehingga jumlah peternak kecil semakin menciut,
dari 470.000 menjadi 245.000 peternak. Pada 2003, dunia peternakan ayam
dilanda wabah flu burung yang menggerus aset peternak kecil. Sepanjang
2010-2014, sejalan dengan lonjakan pertumbuhan konsumsi daging ayam dan
telur, persoalan justru semakin kronis dan menempatkan peternak kecil pada
posisi terjepit.
Mereka kalah segala-galanya dalam bersaing dengan
integrator yang menguasai produksi dan pemasaran dari hulu sampai hilir.
Sepuluh tahun lalu, pangsa pasar daging ayam dan telur produksi peternak
mencapai 80 persen dan integrator 20 persen. Saat ini kondisinya berbalik,
empat perusahaan besar integrator menguasai 80 persen pangsa pasar
nasional.
Jumlah peternak broiler menyusut drastis tinggal 60.000-an
dan layer hanya tersisa 50.000-an. Jika kecenderungan iklim usaha peternakan
ayam ras terus dibiarkan berlanjut seperti sekarang, lonceng kematian usaha
peternak kecil jelas tinggal menunggu hari. Penuturan Sutikno, peternak layer
di Dusun Ponggok, Blitar, yang kandangnya hanya tersisa 3.000 dari sebelumnya
20.000 ekor sejak dua tahun lalu menuturkan: ayam produktif terpaksa
dikurangi untuk dijual guna membeli
pakan. Ini dilakukan agar usahanya tetap berjalan meski merugi, setelah semua
aset, seperti mobil, motor, rumah, dan kebun juga sudah "disekolahkan" alias jadi agunan bank.
"Baru terjadi sekarang, sebutir telur lebih murah
daripada sebatang rokok atau sebuah
kerupuk," katanya. Pernyataan Sutikno ini menunjuk pada anjloknya
harga jual 1 kilogram telur (berisi
15-18 butir) di tingkat peternak sebesar Rp 14.500, sementara HPP sebesar Rp
15.500 per kilogram.
Refleksi persoalan
Harus diakui, lonjakan produksi daging ayam dan telur
lima tahun terakhir yang membuat harga
protein hewani itu terjangkau masyarakat mampu mendorong double consumption
dari 4,6 kilogram telur dan 8,3
kilogram daging per kapita pada 2012, menjadi 10,2 kilogram telur dan 14,6 kilogram daging per kapita tahun
2016. Struktur konsumsi daging
masyarakat turut berubah: 17 persen red meat (daging sapi dan kerbau), 67
persen white meat (daging ayam), serta sisanya daging kelinci, kambing, babi,
dan lain-lain.
Kapitalisasi seluruh lini industri peternakan ayam
ditaksir mencapai Rp 470 triliun tahun 2016 dan jumlah tenaga kerja yang
terserap mencapai empat juta orang. Efisiensi yang terjadi melalui rekayasa
genetika terus-menerus, perbaikan kualitas pakan, dan tumbuhnya daya serap
pasar merupakan pemicu utama integrasi bisnis vertikal hulu-hilir.
Dengan produksi total ayam pedaging dan petelur sekitar
2,5 miliar ekor tahun 2016, terjadi kelebihan pasokan yang membuat harga di
tingkat peternak fluktuatif dan cenderung turun. Tanpa pembatasan impor grand
parent stock (GPS) dan pengawasan tata niaga yang fair, gejolak peternakan
ayam ras akan terus berlangsung. Selama lebih dari empat dekade, kisruh ini
tetap permanen dan sering dintersep dengan kebijakan yang tidak memadai
dalam mengatasi akar masalah.
Kelebihan impor GPS yang berakibat day old chick (DOC)
melonjak, fluktuasi harga dan kelangkaan
bahan baku pakan, terutama jagung dan bungkil kedelai, kurang validnya
kategori jumlah peternak rakyat mandiri, peternak kemitraan, peternak besar,
dan perusahaan raksasa closed house,
mendesak dilakukan sensus akurat. Data sahih diperlukan untuk menata
ulang kebijakan yang memberikan peluang semua pelaku usaha mendapatkan keuntungan
dan mencegah persaingan tidak seimbang.
Dari sisi konsentrasi produksi, Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Sumatera Utara sangat dominan sehingga rantai distribusi juga terlalu
panjang. Peran broker yang amat menentukan dalam tata niaga daging dan telur
menunjuk pada ketiadaan fasilitas pembiayaan, lembaga penyangga harga, dan
lemahnya perolehan nilai tambah karena tidak berkembangnya industri olahan
dan rantai dingin (cold chain).
Kelebihan pasokan produksi semata-mata menjadi persoalan harga, tidak ditransfer
untuk mendorong tumbuhnya aneka industri turunan atau membuka peluang ekspor.
Solusi mendasar
Agar industri ayam ras yang telah berkembang pesat terus
bertumbuh dan tidak menimbulkan gejolak setiap saat, harus ada intervensi
mendasar. Pertama, penetapan dan pengawasan kuota impor GPS harus transparan
dan tidak melebihi kapasitas tampung pasar. Kedua, kegiatan budidaya
mayoritas diserahkan kepada peternak untuk mencegah penguasaan hulu-hilir di
integrator.
Ketiga, struktur biaya produksi dari pakan yang tinggi dan
sebagian besar bahan baku impor, membutuhkan terapi terarah dan
berkelanjutan. Swasembada jagung tak efektif jika harganya lebih mahal
daripada pasar internasional. Keempat, diciptakan role model kemitraan
inti-plasma agar adil dengan posisi tawar setara. Kontrol terhadap ketentuan
ini perlu diperkuat mekanisme pengawasan transparan dan akuntabel beserta
sanksi tegas.
Koperasi peternak perlu dikembangkan dengan pendampingan
tata kelola yang efisien dan bankable untuk memotong peran para pemburu rente
(broker) dan mendorong terbangunnya produk olahan dan cold storage. Stigma buruk koperasi akibat salah urus dan memuat banyak
kepentingan tak selaras dengan tujuan memberdayakan kemampuan berorganisasi
produsen, terutama dalam pendampingan budidaya teknis dan tata kelola usaha,
perlu dirombak dengan pendekatan efisiensi, soliditas, dan kemampuan
beradaptasi.
Koreksi mendasar itu mendesak untuk mengantisipasi ancaman
dari luar. Jika hasil sidang Organisasi Perdagangan Dunia 12 Mei 2017 kelak
memenangkan gugatan Selandia Baru dan Brasil, Indonesia tidak dapat mengelak
dari serbuan produk daging ayam murah
dari luar negeri. Demikian pula, menyongsong pemberlakuan animal welfare dan
biosecurity pada 2025, perlu tahapan penyesuaian pola produksi dan konsumsi.
Semua tantangan ini membutuhkan antisipasi kebijakan yang komprehensif,
afirmatif, dan mampu mengonsolidasikan peran seluruh pelaku.
Perguruan tinggi dan lembaga riset semestinya didorong
mengembangkan rekayasa genetik dari plasma nutfah lokal. Terdapat 57 fakultas
peternakan dan puluhan badan penelitian, tetapi sampai sekarang GPS 100
persen impor. Bandingkan dengan China dan Vietnam yang sukses mendorong
konsumsi daging ayam lokal masing-masing 60 persen dan 74 persen dari total
konsumsi daging nasional karena kuatnya keberpihakan pemerintah pada sumber
genetika lokal.
Peternak rakyat adalah pahlawan sesungguhnya dalam sejarah
panjang penyediaan protein hewani masyarakat dengan harga terjangkau. Mereka
juga pembayar pajak, pencipta lapangan kerja, terutama di desa-desa, dan
tidak pernah beroleh subsidi negara.
Kehancuran peternak kecil bukan semata-mata ironi terhadap upaya
pemerintah mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan, melainkan lebih jauh dari itu juga membunuh habis aset dan
kreativitas lokal yang mandiri serta bertahan dari aneka guncangan selama
lebih dari 40 tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar