Membaca
"Gesture" Diplomatik
Dian WIRENGJURIT ; Diplomat Utama
|
KOMPAS, 26 April 2017
Tidak heran kalau Presiden Jokowi
muring-muring (marah) atau secara lebih halus "sedikit" kecewa.
Megakunjungan Raja Salman dari Arab Saudi yang begitu heboh, bahkan sejak
sebelum kedatangannya dari Malaysia hingga kepergiannya (dalam kunjungan
lanjutan ke Brunei, Jepang, China, Maladewa, dan Jordania), ternyata tak
memberikan hasil yang diharapkan.
Padahal, kantor berita DW
menurunkan judul bombastis "Kunjungan Raja Salman Bawa Berkah Ekonomi
dan Politik" dan Enny Sri Hartati, ekonom Indef, mengatakan bahwa
kehadiran Raja Arab Saudi kali ini sangat strategis. Dengan delegasi terbesar
(sekitar 1.500 orang, dengan 112 delegasi resmi, membawa 500 ton kargo,
dan tujuh pesawat) dan masa tinggal terlama (9+2 hari), tidak heran
kalau Jokowi (dalam bahasa gaul) ngarep.com.
Padahal, untuk kunjungan yang
pertama sejak 47 tahun lalu itu, secara khusus Indonesia menyiapkan
mobilisasi penyambutan yang luar biasa; ribuan siswa sekolah, ribuan aparat
keamanan (TNI dan Polri), 140 juru masak, dan ratusan kendaraan mewah.
Bahkan, di Bogor, sekolah sengaja diliburkan. Kunjungan Raja Salman, yang di
media massa Arab Saudi digambarkan disambut oleh "lautan
cinta", ternyata telah menyebabkan "patah hatinya"
Presiden Joko Widodo.
Kekecewaan Jokowi itu disampaikan
secara terbuka dalam sambutannya di Pesantren Pondok Buntet, Cirebon, 13
April lalu. Jokowi kaget, janji investasi senilai Rp 89 triliun yang
dianggapnya besar sekali ternyata tak seberapa jika dibandingkan dengan
komitmen Arab Saudi kepada China sebesar Rp 870 triliun. Bahkan, komitmen
investasi Arab Saudi di Malaysia, sebesar Rp 91 triliun, juga masih lebih
besar daripada di Indonesia.
Mudah
"termehek-mehek"
Kekecewaan itu mungkin karena
beberapa hal. Pertama, Raja Salman tidak mampu membaca gesture tuan
rumah yang luar biasa ramahnya sehingga menganggap semua
"pelayanan" Pemerintah Indonesia itu "gratis". Atau
mungkin juga, sebagai "Penjaga Dua Masjid Suci", Raja Salman menganggap
sudah sepantasnya negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia
menyambutnya seperti itu. Sementara kunjungan itu sendiri sudah dianggap
cukup sebagai berkah; investasi dan biaya yang dikeluarkan itu dinilai sudah
cukup sebagai charity.
Padahal, kedua, mungkin tidak
diduga oleh kita, ternyata Jokowi yang awalnya dikenal sebagai presiden yang
polos dan tulus, kini sudah menjadi politisi atau diplomat yang sangat
realis. Jokowi yang senantiasa menekankan pentingnya "kerja, kerja,
kerja" dan "dagang, dagang, dagang" tampaknya sudah paham
benar prinsip dasar hubungan diplomatik, yaitu "there is no free
lunch". Dalam keluguannya, Jokowi bilang, "Saya sudah nyetiri (mobil golf) sendiri, saya
payungi sendiri, kok dapatnya lebih kecil." Padahal, penyambutan di
China dan Malaysia biasa-biasa saja.
Masalahnya, entah di mana jurang
itu terjadi. Hingga tahun lalu negara produsen minyak terbesar OPEC ini hanya
menempati ranking ke-57 dengan nilai Rp 11,9 miliar; yang bahkan berada di
bawah Kuwait, Afrika Selatan, bahkan Mali. Padahal, Saleena Saleem dari
Nanyang Technological University Singapore dari awal menyatakan bahwa "tujuan
utama tur Raja Salman ke Asia ini adalah untuk mendorong kerja sama ekonomi
dengan China dan Jepang." Maka, mungkin tidak heran kalau kunjungan Raja
Salman di Indonesia lebih dianggap sebagai berlibur sehingga investasi
senilai itu cukup dianggap sebagai ongkosnya.
Akan tetapi, dalam banyak kasus,
sering kali kita memang belum dapat membaca gesture petinggi
atau negara lain yang terlihat serius meski kenyataannya sebagian besar hanya
basa-basi diplomasi. Lalu, kita pun sering over-acting dan over-dosis dalam
menyambut tamu negara atau dalam mengadakan perhelatan internasional. Atau
kita tak mau belajar atau memang ada tujuan lain dari "hobi"
menyelenggarakan perhelatan internasional secara besar-besaran.
Kita dengan mudahnya termehek-mehek kepada
orang asing kalau mereka bilang, "saya suka nasi goreng" atau
"saya suka Bali" dengan nada yang memang cadel atau
dicadel-cadelkan. Kita juga akan sangat termehek-mehek kalau
dikatakan orang Indonesia ramah-ramah dan murah senyum. Akibatnya kita sering
memberikan balasan yang berlebihan, cenderung mengada-ada dan memaksakan
diri. Dalam praktiknya, kita cenderung mudah percaya (atau jatuh hati)
pada gesture diplomasi negara lain, baik dalam bentuk janji
lisan maupun tertulis.
Maka, tidak heran kalau kita
dengan mudah menerima tawaran ataupun permintaan untuk jadi tuan rumah
konferensi internasional, seperti GNB, OKI, IORA, atau bahkan ASEAN dan APEC
sekalipun. Kita akan tersanjung dengan puji-pujian "Indonesia adalah
negara besar, penting, berpengaruh, dan sebagainya". Maka, tak heran
kalau berbagai summit dan pertemuan internasional diadakan
dengan kehebohan dan gegap gempita (khususnya biaya) meski pemberitaan di
media internasional terkemuka hanya sedikit atau tidak ada sama sekali.
Kita senantiasa menutupi complacency dengan
berbagai alasan untuk menunjukkan hasil yang akan dicapai, seperti
mengembangkan kerja sama, meningkatkan citra, menarik wisatawan. Padahal,
mungkin biaya besar yang dikeluarkan akan lebih dibutuhkan untuk
membiayai proyek-proyek pembangunan dalam negeri. Lebih jauh, jika ditanya
apa hasil nyata pertemuan-pertemuan itu bagi rakyat dan negara kita, secara
jujur dan obyektif kita tidak pernah tahu.
Kurang
gegap gempita
Kita senantiasa merasa berhasil
kalau sudah bisa merangkul negara lain dalam suatu ikatan kemitraan, apalagi
yang sifatnya strategis. Misalnya dalam bentuk memorandum of
understanding (MOU) atau bahkan agreements. Saat ini
mungkin ratusan atau mungkin ribuan MOU di berbagai bidang yang telah
disepakati oleh Indonesia dengan berbagai negara atau organisasi
internasional. Sementara mungkin banyak MOU yang tidak ditindaklanjuti atau
hanya tetap "on the table", yang kemudian kedaluwarsa begitu
saja. Kita masih cenderung menganggap MOU sebagai prestasi, pencapaian, dan
bukan sebagai awal suatu kerja sama antar-negara.
Memang Helen Keller pernah
mengatakan, "Alone we can do so little, together we can do
so much", tetapi kita lupa bahwa pernyataan itu hanya cocok untuk
kegiatan-kegiatan kemanusiaan, seperti yang dilakukannya dalam membantu kaum
disabilitas. Sementara dalam hubungan antarnegara di era globalisasi saat ini
mungkin pernyataan Edward Whitacre Jr, "No partnership between two
independent companies, no matter how well run, can match the speed,
effectiveness, responsiveness and efficiency of a solely owned company",
malah lebih relevan dan realistis untuk visi kemandirian Tri Sakti-nya Bung
Karno yang ingin diwujudkan Presiden Jokowi.
Memang sudah waktunya kita
mengurangi gegap gempita penyambutan tamu negara dan perhelatan pertemuan
internasional yang hanya menghamburkan tenaga, pikiran, waktu dan, tentunya
dana. Sudah waktunya kita menempatkan hal-hal tersebut secara proporsional,
tetapi tetap profesional.
Keramahtamahan yang jadi ciri khas
bangsa kita perlu tetap dipertahankan, tapi secara wajar. Hal ini tidak hanya
menghindari muring-muring-nya Presiden, tetapi lebih penting
menghindari muring-muring-nya rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar