Percepatan
Dukungan SDM Industri
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 17 April 2017
Potensi sumber daya alam yang melimpah lebih dari cukup
menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan utama basis produksi bagi para
investor. Dengan luas hutan yang mencapai lebih dari 130 juta hektar,
semestinya Indonesia mampu menjadi jawara untuk industri kertas. Namun,
ekspor barang cetakan (kertas) Indonesia baru mencapai 226 juta dollar AS.
Sementara ekspor Singapura yang tidak memiliki hutan dan industri kertas
mencapai 1,5 miliar dollar AS.
Demikian juga, sekalipun memiliki perkebunan karet yang
luas, impor ban dan plastik masih tinggi. Akibatnya, industri karet dan
plastik turun 8,34 persen pada 2016. Dengan predikat negara yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia, industri pengolahan ikan banyak yang
gulung tikar. Bahkan, Indonesia masih termasuk negara yang mengimpor ikan
cukup tinggi.
Industri makanan dan minuman sebenarnya masih tumbuh cukup
tinggi, di atas 8 persen. Namun, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan
baku. Bahkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan kulit
dapat dikatakan tinggal menjadi industri jasa jahit (maklon). Di sisi lain,
kelapa sawit yang bisa dikembangkan tidak hanya menjadi minyak goreng, masih
diekspor dalam bentuk komoditas mentah atau setengah jadi.
Pengembangan industri tidak hanya dilakukan pada sumber
daya yang berada di atas bumi, tetapi juga yang berada di perut bumi
Indonesia. Pengembangan industri logam, baja, besi, dan aluminium akan
menjadi fondasi percepatan industrialisasi. Artinya, terdapat anomali dalam
kebijakan industrialisasi di Indonesia karena berbagai komoditas strategis
yang dapat dikembangkan menjadi industri unggulan diekspor dalam bentuk
mentah.
Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri
mencapai 5,5 persen pada 2017. Untuk itu, harus ada strategi akselerasi dan
efisiensi yang konkret. Akselerasi dapat dilakukan dengan pengoptimalan
kapasitas terpasang dan percepatan realisasi investasi yang telah disetujui.
Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan untuk
meningkatkan realisasi investasi. Ketersediaan SDM industri yang terampil dan
berkualitas akan menjadi daya tarik investor karena akan meningkatkan
produktivitas.
Kualitas SDM industri memang masih menjadi salah satu
hambatan. Lembaga pendidikan belum mampu menghasilkan tenaga kerja yang siap
pakai. Porsi tenaga kerja terampil level menengah baru mencapai 30 persen
dari total pekerja industri. Porsi tenaga kerja industri bidang produksi
cenderung stagnan, hanya berkisar 12-13 persen. Sering terjadi ketidakcocokan
antara keahlian lulusan dan spesifikasi kebutuhan industri. Pendidikan
vokasi, terutama sekolah menengah kejuruan (SMK), juga sering tidak cocok
dengan kebutuhan industri. Padahal, terdapat 13.600 SMK dengan 142 jenis
kompetensi. Sebanyak 36 jenis di antaranya berkaitan dengan kompetensi
industri. Salah satu penyebabnya, di samping terbatasnya sarana dan
prasarana, hanya 22 persen dari total 302.000 guru SMK yang merupakan guru
produktif atau mampu mengajar praktik. Padahal, seharusnya proses
pembelajaran di SMK adalah 60 persen praktik dan 40 persen teori.
Balai latihan kerja
Data Bank Dunia menunjukkan, hanya 7,7 persen perusahaan
di Indonesia yang mampu memberikan pelatihan formal kepada tenaga kerja.
Kesenjangan ketersediaan keahlian SDM industri tersebut yang menyebabkan
realisasi industri padat karya terhambat. Untuk itu, program pelatihan
melalui balai latihan kerja (BLK) harus ditingkatkan. Terdapat 301 BLK yang terdiri
dari 17 BLK Kementerian Ketenagakerjaan dan 284 BLK milik pemerintah daerah.
Dari total BLK daerah, 38 BLK tidak lagi beroperasi karena tidak memiliki
instruktur dan peralatannya rusak. Sebanyak 246 BLK masih beroperasi, tetapi
hanya 65 BLK yang memenuhi standar baik, sedangkan sisanya berstatus cukup
atau buruk.
Mestinya, porsi anggaran pendidikan 20 persen lebih dari
cukup untuk pemenuhan kebutuhan SDM industri. Melalui kolaborasi dengan
asosiasi industri, frekuensi dan kualitas pelatihan dapat ditingkatkan.
Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri yang memiliki program
peningkatan kualitas SDM. Jika perlu, pemerintah mewajibkan penggunaan dana
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) difokuskan untuk peningkatan
keterampilan dan keahlian tenaga kerja yang belum memiliki keterampilan dan
keahlian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, baru sekitar
10 persen dari tenaga kerja yang memiliki sertifikat keterampilan atau
keahlian kerja. Rendahnya tingkat sertifikasi dan akreditasi kompetensi ini
diidentifikasi menyulitkan perusahaan atau investor baru mencari tenaga kerja
profesional. Untuk itu, lembaga yang berperan melakukan sertifikasi dan
akreditasi tenaga kerja semestinya berperan aktif dan memberikan berbagai
kemudahan, tentu tanpa mengurangi ketentuan standardisasinya. Jika perlu,
berkolaborasi dengan lembaga sertifikasi internasional agar memperoleh
penguatan keabsahan dari sertifikasi yang dikeluarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar