Kepentingan
Nasional Pemberantasan Korupsi
Adnan Topan Husodo ; Koordinator Indonesia Corruption Watch
|
JAWA
POS, 18
April 2017
TIDAK sulit memahami bahwa pemberantasan korupsi menduduki
posisi yang sangat penting, terutama bagi keberlanjutan sebuah bangsa.
Almarhum Gus Dur, dalam sebuah acara talk show di televisi nasional, pernah
mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya, tetapi
kenyataannya sangat melarat karena pembiaran terhadap kejahatan korupsi.
Tidak menindak korupsi telah mengakibatkan kejahatan ini
menjadi bagian dari ’’nilai’’ yang tak terpisahkan dari cara hidup individu,
masyarakat, dan pemerintahan. Hampir semua menerimanya sebagai sesuatu yang
lumrah serta wajar dan adanya segudang pembenaran untuk melakukannya.
Padahal, dampak dan risiko yang ditimbulkan begitu merusak.
Kita bisa ambil contoh dalam perkara skandal korupsi e-KTP
yang menurut dakwaan KPK telah menyeret berbagai nama penting, mulai sektor
politik (politisi), elite di eksekutif, dan sektor swasta. Jejaring korupsi
antartiga ranah itu memang terlihat dalam berbagai perkara korupsi yang lain.
Menurut catatan ICW (2016), sektor pemerintah dan sektor
swasta menduduki peringkat pertama dan kedua untuk kategori aktor korupsi
yang paling banyak diproses hukum. Sementara itu, menurut laporan Global
Barometer Korupsi yang diluncurkan TI Indonesia (2016), parlemen kembali
ditempatkan sebagai institusi terkorup.
Selain korupsi merupakan kejahatan yang di dalamnya
berkelindan berbagai kepentingan dari pemegang kendali kekuasaan, korupsi
(e-KTP) sebagai contoh telah menciptakan ketidakpastian yang sangat luas
dalam pelayanan publik. Padahal, mendapatkan identitas diri dengan data yang
benar dan akurat merupakan hak mendasar setiap warga negara. Pengakuan negara
atas warganya salah satunya ditunjukkan dari identitas diri yang dimiliki
warga.
Akibat lanjutan persoalan itu, layanan publik lain yang
mensyaratkan adanya KTP juga terganggu. Bisa dikatakan, nyaris di semua
wilayah di Indonesia, layanan pembuatan e-KTP lumpuh. Demikian pula, proyek
senilai Rp 5,9 triliun itu sejatinya dimaksudkan untuk menyediakan informasi
data diri penduduk yang akurat yang didukung konsep single identity number (SIN). Database tersebut bisa digunakan
untuk kepentingan besar lain seperti pemilihan umum, baik tingkat nasional
maupun regional. Namun, dugaan korupsi e-KTP yang menelan kerugian negara
hingga Rp 2,3 triliun telah menghancurkan semua tujuan awalnya.
Kita juga bisa melihat ’’karya’’ monumental pelaku korupsi
pada proyek lain yang menelan anggaran triliunan seperti proyek pembangkit
listrik dan proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang. Hampir sebagian
nilai bangunan atau fisik proyek menyusut drastis atau bahkan tidak bisa lagi
dihitung (total loss) plus nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari
praktik penggarongan anggaran publik secara masif.
Dalam skala yang lebih kecil, berbagai macam proyek
infrastruktur seperti jalan, gedung, dan jembatan teronggok tak terurus
karena ditinggalkan kontraktor yang tidak bertanggung jawab dan menjadi
bangkai berserakan di berbagai tempat. Dampaknya, tidak terjadi efek
multiplier ekonomi karena akses publik untuk melakukan mobilisasi barang
sangat terbatas dan jikapun tetap dilakukan akan sangat tidak efisien
lantaran biaya transportasi yang teramat mahal.
Insentif Agenda Antikorupsi
Karena pelaku korupsi adalah mereka yang berada di pusaran
kekuasaan dan paling bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan publik,
pemberantasan korupsi sulit mendapatkan tempat dalam agenda negara.
Pemberantasan korupsi sering dikalahkan atau ditundukkan berbagai macam
kepentingan personal atau golongan yang secara pelan tapi pasti telah
menggerogoti imajinasi bersama banyak orang terhadap Indonesia. Tak ayal, ada
berbagai geliat protes berujung tuntutan untuk memisahkan diri atau
sebaliknya, meyakini secara bersama-sama bahwa korupsi adalah jalan bagi
setiap orang untuk selamat dan bertahan hidup di republik ini.
Jika korupsi sudah dipahami sebagai jalan hidup, kita akan
terjebak pada situasi yang disebut collective
action problem (Anna Persson dkk, 2013). Dalam praktik busuk korupsi yang
menggurita dan sistemik, tidak ada insentif bagi siapa pun yang berperilaku
jujur. Sikap jujur yang diambil tidak akan bisa mengubah sistem permainan
yang berlaku. Meski sebagian besar masyarakat secara moral sangat mengutuk
korupsi, dan mereka mungkin sadar akan bahaya serius yang dirasakan akibat
korupsi, setiap individu tetap melakukannya. Pendek kata, ada prinsip, jika
yang lain melakukannya, mengapa saya tidak?
Karena tingkat dan dampak korupsi yang sangat merusak,
sedangkan pada saat yang sama korupsi telah menjadi bagian dari rule of the game, korupsi dan
pemberantasannya tidak bisa diperlakukan hanya sebagai masalah sektoral.
Finlandia, contoh negara yang berhasil memberantas korupsi, telah mengatur
dan mengkriminalisasi korupsi di berbagai tempat, baik sektor publik, sektor
swasta, maupun sektor politik, dalam konstitusi mereka sejak tiga abad lalu.
Sangat mustahil kita bisa memberantasnya jika perbuatan korupsi dan bukan
korupsi dibedakan hanya karena perbedaan tempatnya, meski secara substansial
perbuatan yang dilakukan adalah korupsi.
Demikian halnya, kondisi darurat korupsi dan dampaknya
perlu dibunyikan lebih keras supaya ada kesadaran kolektif bahwa korupsi
merupakan penggerus moralitas publik yang paling ganas. Upaya membalikkan
keadaan perlu diambil cepat, terutama menghadirkan sebuah realitas bahwa
tidak melakukan korupsi memiliki berbagai keuntungan daripada melakukannya.
Kepercayaan publik terhadap upaya melawan korupsi mesti
dituntun oleh bukti adanya perbaikan di berbagai macam sektor kehidupan.
Merasakan langsung manfaat program antikorupsi menjadi kunci usaha
mengembalikan kepercayaan publik terhadap keseriusan negara dalam perang
panjang melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar