Silaturahim
Antar-iman
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga
|
KOMPAS, 26 April 2017
Beberapa
lembaga kredibel mencatat, kasus intoleransi agama di Tanah Air semakin
mengkhawatirkan. Bahkan, disinyalir
sikap yang semakin intoleran terhadap perbedaan agama telah merasuki banyak siswa kita di sekolah, sejak tingkat
dasar hingga atas, bahkan di perguruan tinggi. Mereka semakin
"canggung" bergaul dengan kawan berbeda agama, dengan alasan
perbedaan agama.
Situasi ini
adalah tantangan serius bagi masa depan bangsa dan masyarakat kita. Jika ini
terus berkembang, dikhawatirkan pengotakan masyarakat berdasarkan agama
(sekte) seperti di Lebanon, Irak, dan Yaman benar-benar akan menimpa
masyarakat kita dalam satu atau dua dekade ke depan.
Hal terpenting
adalah membangun kesadaran masyarakat kita bahwa persoalan ini benar- benar
ada, sungguh serius, dan merupakan ancaman terhadap kohesi masyarakat dan
bangsa kita. Selanjutnya, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk mencari
pemecahan konkret dan terus-menerus. Keterlibatan orangtua, guru, pemerintah,
dan penentu kebijakan lainnya-termasuk media-begitu krusial.
Sebagai dosen
di perguruan tinggi Islam, penulis punya pengalaman yang mungkin bermanfaat
dibagikan melalui tulisan ini. Selama 14 tahun, penulis mengampu mata kuliah
Agama-agama di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menyadari
kondisi di atas, penulis mencoba berbagai cara untuk membangun kesadaran dan
komitmen para mahasiswa akan pentingnya kebersamaan dalam keragaman.
Menurut
pengalaman penulis, salah satu cara membangun kesadaran itu adalah
silaturahim antar-iman. Silaturahim adalah metode yang melampaui dialog sebab
ia hadir dengan motivasi yang lebih dalam, tetapi cair, yakni persaudaraan.
Silaturahim adalah "dialog" untuk mengalami dan merasakan sesuatu
yang melampaui batas dirinya.
Metode
tersebut ternyata begitu efektif untuk mengikis stereotip dan prasangka yang
kadang kala sangat kuat dalam pikiran para mahasiswa, tentu secara perlahan.
Stereotip terhadap umat beragama lain sering kali ditopang oleh pemahaman
agama tertentu, guru, orangtua, bahkan komunitas yang luas dalam waktu lama
sehingga sangat sulit diruntuhkan. Namun, pengalaman silaturahim antar-iman
ternyata amat membantu mengikis prasangka-prasangka itu secara perlahan
dengan sendirinya.
Silaturahim
antar-iman itu juga terbukti membantu membangun kesadaran dan komitmen para
mahasiswa untuk menerima dan mensyukuri keberagaman. Dari berbagai respons
balik, tulisan, komentar, serta diskusi "tajam" antar-mahasiswa,
penulis merasakan pengaruh silaturahim itu begitu dalam. Penulis bahkan
kadang tak menduga efek positif dari silaturahim antar-iman sebesar itu,
kendati kekhawatiran akan "akibat negatif" dari kegiatan itu juga
sering disampaikan orang kepada penulis.
Mahasiswa
dibagi ke dalam beberapa kelompok pada setiap kelas. Masing-masing kelompok
ditugasi melakukan silaturahim kepada umat beragama sesuai tugas. Ada yang ke
umat Kristiani (Katolik maupun Kristen), umat Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Dalam beberapa kesempatan, penulis juga turut serta dalam rombongan
silaturahim ini.
Mencari solusi
Pesan penulis
kepada para mahasiswa yang semuanya Muslim sebagai berikut. Silakan
bersilaturahim kepada umat Buddha misalnya. Datanglah dengan hati dan pikiran
bahwa Anda datang kepada saudara yang kebetulan berbeda agama. Boleh Anda
datang kepada para tokoh ataupun kepada masyarakat biasa, yang
penting-sebagai silaturahim-tujuannya adalah menyambung persaudaraan.
Bukan untuk
dialog mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Bukan juga untuk membanding-bandingkan.
Sampaikan niat silaturahim, lalu jika ada kesempatan ngobrol, ya, ngobrol apa
saja. Mungkin tentang keluarga, aktivitas keseharian, atau yang terkait agama
juga tak apa-apa. Jangan lupa sampaikan dengan terus terang bahwa Anda adalah
mahasiswa Muslim yang ingin bersilaturahim.
Sebagian
mahasiswa menyampaikan keberatan dengan tugas itu karena alasan
"agama". Penulis pun tak memaksakan hal itu. Sebagian sangat
antusias karena keingintahuan mereka yang besar terhadap agama lain langsung
dari pemeluk atau bahkan tokohnya. Sebagian lain mungkin biasa saja, dan
mengerjakan tugas itu karena tugas kuliah yang terkait dengan penilaian
formal.
Hasilnya,
perjumpaan secara langsung dalam suasana silaturahim itu ternyata jauh lebih berkesan
dan berpengaruh bagi para mahasiswa daripada diskusi rumit di kelas mengenai
teori-teori hubungan antar-agama.
Penulis
sengaja mencatat secara rinci dan menyimpan berbagai komentar dan tulisan
para mahasiswa pasca-silaturahim itu. Di antara komentar mereka sebagai
berikut: "Ketika saya telah melakukan silaturahim, saya berubah
pandangan terhadap orang-orang yang menganut agama Kristen-Protestan dan
Katolik. Dari awalnya yang merasa begitu takut dan begitu awam terhadap
mereka semua, menjadi semakin mengerti".
"Dengan
melakukan tugas silaturahim ke umat Buddha, kami mendapatkan pengalaman dan
pengetahuan yang tak bisa kami lupakan. Banyak di antara kita yang secara
sempit beranggapan agama kitalah yang paling benar, sedangkan yang lain
salah. Padahal, semua agama itu benar menurut pemeluknya masing-masing."
Mahasiswa lain
berujar, "Dengan berkunjung ke Wihara dan berdialog dengan umat Buddha,
bukannya kami kemudian murtad (keluar Islam) dan mengikuti agama mereka. Hal
ini justru memperkuat keimanan saya sebagai Muslim. Tetapi, saya dapat
mengambil banyak contoh sikap baik dari mereka untuk diamalkan untuk
membangun kehidupan bersama yang lebih baik."
Bahkan, suatu
kali, penulis begitu terkesan saat seorang mahasiswa saya pada 10 tahunan
lalu menceritakan pengalamannya melakukan tugas silaturahim antar-iman yang
telah banyak mengubah cara pandangnya tentang umat lain. Ia kini juga
mengajar di perguruan tinggi Islam negeri dan akan melakukan hal yang sama
dengan penulis.
Praksis mengajar dari penulis ini diinspirasi oleh gagasan John
B Cobb Jr dalam Transforming Christianity and The World, Jamal al-Bana dalam
al-Ta'addudiyyah fi Mujtama' Islamiy, dan gagasan Machasin tentang
Silaturahmi Kebudayaan. Di tengah semangat untuk melestarikan pikiran-pikiran
Gus Dur di dalam praksis bermasyarakat dan berbangsa saat ini, cara sangat
sederhana ini bisa jadi salah satu metode alternatif dalam pengajaran
toleransi di tengah menguatnya intoleransi di lingkungan kita. Baik untuk mata kuliah Agama-agama,
kewarganegaraan, Pancasila, atau mata kuliah lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar