UU
Pemerintahan
Miftah Thoha ; Profesor (ret) Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 19 April 2017
Beberapa bulan lalu saya diundang dengar pendapat oleh Komite 1 Dewan
Perwakilan Daerah membahas rencana undang-undang tentang etika pemerintahan.
Suatu rancangan yang bagus sekali kalau
hal semacam itu bisa diwujudkan dan dilaksanakan.
Mengatur tata etika bukanlah upaya yang mudah walaupun
sebenarnya etika itu telah bertebaran di beberapa perundangan yang ada. Tidak
mudahnya hal itu dapat dilihat dari kejadian akhir-akhir ini di Dewan (DPD)
sendiri.
Sebagai contoh, belum sampai rancangan itu ditindaklanjuti
lebih jauh tiba-tiba kita semua menyaksikan keributan yang memalukan
dilakukan oleh anggota Dewan berdemonstrasi di forum paripurna DPD. Anggota DPD berselisih
berebut posisi pimpinan; suatu posisi kekuasaan yang seharusnya dilakukan
secara etis, bukan menonjolkan kekuasaan yang politis.
Terasa akhir-akhir ini persoalan praktik etika dalam
pelaksanaan administrasi negara kita menjadi pertanyaan. Banyaknya pejabat,
baik di lembaga birokrasi pemerintah maupun di lembaga perwakilan dan
kehakiman, yang tidak lagi menjadikan etika sebagai pertimbangan untuk
bertindak dan membuat keputusan. Keterlibatan mereka dalam perkara korupsi jelas sekali selain melanggar hukum
juga telah melanggar tata etika pemerintahan yang baik.
Kejadian keributan di DPD, seperti disinggung di atas,
sungguh sangat memalukan hati rakyat. DPD sebagai suatu lembaga perwakilan
daerah telah mempraktikkan warna politik yang seharusnya bukan warna
sesungguhnya. DPD lembaga perwakilan yang mewakili golongan daerah
sebagaimana UUD 1945 dahulu menyebutnya bukan mewakili golongan partai
politik. Dengan menampilkan perilaku keributan di forum sidang tersebut telah
tercium sangat tajam bau politiknya.
Kemerdekaan politik
Mengatur etika pemerintahan bukanlah hal yang ringan,
sementara kemerdekaan politik dalam pemerintahan yang demokratis merupakan
warna yang kuat dan tajam. Selama era reformasi ini kelihatannya masalah ini
belum pernah ditata dengan baik.
Pemerintahan yang demokratis yang ditonjolkan akhir-akhir
ini-dengan menunjukkan adanya kemerdekaan berbeda pendapat-tanpa dilambari
etika berbeda pendapat. Berbeda pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi,
munculnya bermacam-macam partai politik yang menunjukkan perbedaan adalah
warna dari sistem demokrasi. Demonstrasi wakil rakyat di lembaga yang
dibiayai uang rakyat sulit untuk bisa ditangkap-dalam pandangan dan pikiran
rakyat-bahwa pemimpinnya berperilaku dan beretika politik yang terpuji.
Sejak diciptakan UU terkait kebebasan berpendapat (UU No
40/1999 tentang Kebebasan Pers) dan diikuti dengan disahkan UU politik (UU No
2/1999; UU No 3/1999; dan UU No 4/1999), maka seakan-akan kemerdekaan
berpolitik sangat maju. Profesi politik yang dilakukan oleh partai politik
memberikan harapan bagi kehidupan rakyat. Wakil-wakil mereka di lembaga
perwakilan disebut sebagai pejabat negara yang lengkap menyandang fasilitas
negara yang mencerminkan kekuasaan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Di DPD, selain sebutan pejabat negara, mereka pun disebut
senator; suatu sebutan untuk wakil terhormat dari kelas nomor satu bagi
negara yang mempunyai dua kamar
perwakilan. Di negara-negara yang memiliki lembaga perwakilan dua kamar,
seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, ada kamar yang mewakili
rakyat biasa (parpol) dan ada yang
mewakili distrik yang berdaulat dan golongan elite ningrat. Perwakilan kelas
elite dari kalangan ningrat dan distrik pemegang kedaulatan negara membawa
mereka ke dalam kamar kelas nomor satu dalam konstitusinya. Jabatan wakilnya
disebut senator. Bukan seperti di negara kita, di mana pemegang kekuasaan dan
kedaulatan itu di tangan rakyat yang diwakili oleh partai politik, bukan
diwakili pemerintah daerah atau kalangan elite ningrat dan raja di
daerah-daerah. Semua raja di daerah setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus
1945, telah menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Sebenarnya sebutan senator bagi wakil pemerintah daerah di
DPD kurang tepat, cukup disebut pejabat negara saja. Dengan demikian, maka
etika administrasi negaranya-kedudukan dua kamar di lembaga perwakilan
kita-segera ditata dengan baik, yakni yang disebut kamar pertama dan kamar
kedua.
Dalam konstitusi kita bahwa pemerintahan yang demokratis
itu kekuasaan di tangan rakyat yang wujudnya dilaksanakan oleh partai
politik. Kekuasaan rakyat di bidang perundangan dijalankan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan rakyat di bidang pelaksanaan perundangan
di tangan Presiden. Dan, kekuasaan rakyat di bidang kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung (MA) dan badan pengadilan di bawahnya.
Kalau seandainya DPD dijadikan kamar pertama, maka
pemegang kekuasaan mengesahkan rancangan UU yang (selama ini) dilakukan DPR
dan pemerintah perlu alasan penguat yang jelas. Misalnya pemerintahan
kerajaan daerah ini adalah bentuk kedaulatan yang ada di bumi Nusantara yang
membentuk NKRI. Atau ketika di awal era reformasi semangat dan cita-cita
melaksanakan desentralisasi dan otonomi pemerintahan daerah sangat kuat
sehingga peranan otonomi pemerintah daerah diutamakan. Dengan demikian,
alasan amandemen UUD 1945 yang melahirkan DPD menjadi lebih jelas.
Etika pemerintahan
Sebenarnya UU terkait etika pemerintah itu telah banyak
terbentang di beberapa perundangan kita. Etika adalah suatu seni dan
pertimbangan yang mengandung nilai baik dan buruk. Semua perundangan yang ada
selalu mengemukakan pertimbangan seperti itu. Tuhan pun telah menunjukkan
kepada manusia ini bahwa ada perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk.
Tinggal kita yang disuruh memilihnya dengan tanggung jawab masing-masing.
Misalnya UU No 30/2014 tentang Sistem Administrasi
Pemerintahan (SAP) dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
memuat aturan tentang etika pemerintahan. UU terkait pemberantasan korupsi
(UU KPK) dan UU terkait pemilihan umum (UU KPU) jelas mengatur ketentuan yang
mengandung nilai baik dan buruk. Akan tetapi, pemahaman nilai baik dan buruk
itu dalam perjalanannya mengalami
intervensi kekuasaan atau intervensi politik yang menonjolkan perbedaan pendapat
dan kekuasaan.
UU yang telah mengatur pelaksanaan etika pemerintahan itu
tiba-tiba ada upaya perlu direvisi atas usul aspirasi politik dari pemegang
kekuasaan agar aspirasi politiknya bisa mewarnai UU tersebut.
Ada pejabat politik yang baru saja melakukan perjalanan
riset di luar negeri, sepulang ke Tanah Air mengusulkan revisi UU KPU agar
anggota komisioner KPU diisi dari wakil partai politik. Padahal, partai
politik itu pula yang nantinya berebut menang dalam pemilihan umum, lalu
bagaimana wakil dari partai politik di KPU bisa netral?
Hal seperti ini jelas terlihat bahwa masalah etika bukan
menjadi pertimbangan utama, melainkan pertimbangan politiklah yang
ditekankan. UU SAP dan UU ASN juga mengalami hal yang serupa. UU ASN
dimaksudkan akan menciptakan UU profesi dan menciptakan proteksi sistem merit
yang netral dari intervensi politik. UU ASN ini pun diancam oleh partai
politik untuk direvisi agar kader-kader mereka bisa masuk dalam jajaran
pemerintah, tanpa dilihat kompetensinya.
Hal semacam ini yang saya sebut aspirasi politik memegang kemerdekaan
dalam mengatur segala ketentuan yang meninggalkan aspirasi etika.
Sudah tiba saatnya intervensi politik tidak dijadikan
pertimbangan yang pertama, yang bisa
merusak tatanan aturan yang mengandung nilai baik dan buruk. Seharusnya ribut
yang memalukan terkait perebutan kekuasaan pimpinan di DPD itu tidak akan
terjadi kalau kemerdekaan demokrasi tidak kebablasan, tetapi tetap
dikendalikan oleh seni dan
pertimbangan etika. Pendapat ini jangan lalu ditafsirkan bahwa pertimbangan
politik itu tidak baik. Akan tetapi, kalau pertimbangan politik lebih karena
semata-mata hanya untuk memenangkan kekuasaan dan substansi egoisme sendiri
dari suatu partai politik sendiri, maka ini yang bahaya. Partai politik itu
memang tidak bisa dipisahkan dari ambisi kekuasaan. Bung Karno pun dulu pernah
mengatakan bahwa partai politik itu aspirasinya adalah kekuasaan untuk
mencapai, menguasai, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan.
Pertimbangan etika dalam menata administrasi negara
seharusnya menebar di tiga lembaga pemegang kekuasaan rakyat. Kita berharap,
ke depan, semua peraturan perundangan di lembaga kekuasaan yang dipegang
Presiden selalu menjadi etika sebagai bahan pertimbangan. Demikian pula di
lembaga kekuasaan pembentuk UU di DPR dan DPD tidak akan lepas pertimbangan
etika ini. Tidak ketinggalan di lembaga kekuasaan kehakiman, jika memberikan
keputusan, jauhkan dari pertimbangan politik dan tampilkan pertimbangan etika
ini.
Dahulu Bung Karno dan Bung Hatta walaupun berselisih dalam
pandangan politik tetapi tidak berpengaruh dalam hubungan pribadi mereka.
Etika pergaulan pribadi yang sangat akrab dan
mulia dibawa sampai akhir hayat mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar