Memilah
Korupsi Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 26 April 2017
Korupsi desa
mulai terungkap (Kompas, 3/3). Kini tengah disidik 0,06 persen desa atas
sangkaan korupsi, rata-rata Rp 216,7 juta per desa. Angka ini senilai kucuran
dana desa pada 2015.
Sebelum
menggurita laksana korupsi pada 54 persen pemerintahan daerah (pemda) dan 35
persen kementerian, korupsi desa harus ditangani secara sistemis. Sayang,
terdapat dua kelemahan mendasar, yaitu (1) minimnya regulasi korupsi desa dan
(2) ketiadaan advokasi legal bagi pemerintahan desa.
Dari tahun ke
tahun, tanggung jawab korupsi dana desa kian menukik ke level birokrasi lebih
rendah. Saat prasangka korupsi dana desa berjemaah merebak pada 2014, Kemendagri, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kemenkeu mementahkan korupsi
tingkat kementerian. Alasannya, dana desa tersalur langsung dari bendahara
negara ke kas pemda.
Mustahil
menihilkan korupsi di tengah euforia dana desa. Pemda juga enggan menyalurkan
dana desa karena berisiko tersangkut kasus korupsi. Kota Batu, misalnya,
sempat diganjar pengurangan dana pusat karena menolak dana desa pada 2015
meskipun mulai 2016 menerimanya kembali.
Beban pemda
menguap setelah pemerintah pusat mensyaratkan laporan penggunaan keuangan
desa untuk pencairan dana desa berikutnya. Rincian laporan desa mengubah
makna pelimpahan tanggung jawab kasus korupsi kepada kepala desa.
Pseudo-korupsi
Penyalahgunaan
dana di desa perlu dipilah antara korupsi riil dan pseudo-korupsi. Kepala
desa melakukan korupsi riil ketika ia menilap dana desa, melarikan uang
tersebut, tertangkap tangan menerima suap, menggunakannya untuk konsumsi
keluarga. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, mestinya terbukti motivasinya
menggangsir dana desa. Akhirnya, pengadilan menetapkannya sebagai koruptor
dengan hukuman pidana/perdata.
Namun,
pendekatan sistem mendeteksi pseudo-korupsi sebagai sumber lain
penyalahgunaan dana. Indikasi utamanya: tak ada motivasi kepala desa korupsi
dan selama ini ia dikenal bersih.
Kepala desa
terjerembap kasus pseudo-korupsi, terutama karena lalai menetapkan regulasi
sebelum bertindak. Padahal, aparat pemerintah hanya legal bertugas sesuai
aturan yang berlaku. Contohnya, kepala desa diciduk ketika meningkatkan
kualitas bangunan penahan banjir dengan mengurangi panjang bangunan dari dana
desa, tapi menambah panjangnya lewat pemasukan desa dan iuran warga. Sayang,
ia lupa menulis pengembangan rencana dalam perubahan peraturan desa.
Kepala desa
juga jadi pesakitan lantaran menetapkan penggunaan dana desa di luar Permen
Desa PDTT. Pencairannya untuk perbaikan balai desa dan pemenuhan bahan serta
peralatan birokrasi desa diharamkan. Padahal, disertasi Nata Irawan
membuktikan pentingnya alat, bahan, dan ruangan untuk meningkatkan layanan masyarakat
dan deliberasi keputusan desa.
Secara
sistemis perlu digugat, sampai mana pemerintah desa dan warganya berhak
memutuskan dana desa. Aturan tahunan menteri dan kepala lembaga di pusat,
serta peraturan bupati di daerah, telah menyempitkan ruang keputusan desa.
Akibatnya, kebutuhan desa tak terakomodasi dalam penggunaan dana desa.
Kritiknya,
saat ini dana desa diperlakukan semacam anggaran kementerian dan anggaran
tugas pembantuan. Ini dipamerkan pemerintah pusat dan daerah kala langsung
memutuskan penggunaannya untuk embung, lapangan bola, holding atau perseroan
terbatas badan usaha milik desa pada level kabupaten hingga nasional.
Kepala desa
juga dituduh korupsi saat mengalihkan pendapatan desa atau meminta iuran
warga guna mendanai proyek pemerintah pusat dan daerah. Padahal, UU No 6/2014
Pasal 22 menegaskan, setiap penugasan kepada pemerintah desa harus disertai
tambahan anggaran. Kini kepala desa sedang meminta regulasi penggalangan dana
di desa untuk menutupi ketiadaan anggaran program nasional sertifikasi tanah.
Kebijakan advokasi
Makna
pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang
ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan
aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun
meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.
UU No 6/2014
telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan
Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak
ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.
Karena itu,
paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian,
kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya
indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi,
proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa,
perangkat desa, serta anggota BPD.
Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa,
perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan
Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah
hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka,
seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah
daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat
mengadvokasi proses legal mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar