Jokowi,
Pelanggaran HAM, dan Pemilu
Al Araf ; Direktur Imparsial;
Ketua DPP Ikadin dan Mengajar di
Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 17 April 2017
Masih teringat dalam ingatan, pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla menggunakan isu pelanggaran HAM dalam debat Pilpres 2014. Waktu itu,
pasangan Jokowi-JK menanyakan kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
bagaimana cara mereka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan
bagaimana mempertahankan HAM di masa datang.
Secara normatif, di satu sisi pertanyaan itu dapat
dimaknai sebagai bentuk keraguan terhadap Prabowo untuk dapat menyelesaikan
kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), mengingat ia diduga jadi bagian
masalah HAM di masa lalu. Di sisi lain, pertanyaan itu menyiratkan makna
bahwa pasangan Jokowi- JK akan lebih bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
masa lalu dan memajukan penegakan HAM di masa datang karena tidak memiliki
beban HAM di masa lalu.
Sayangnya, sampai saat ini, komitmen menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM masa lalu masih lebih banyak sebatas komitmen.
Nasib kasus HAM
Dalam konstruksi sejarah Indonesia, kasus pelanggaran HAM
adalah buah dari praktik negara hitam yang menjadikan kekerasan sebagai
metode ampuh untuk menghadapi kelompok kritis terhadap rezim. Dengan dalih
atas nama kepentingan keamanan nasional, tindakan penangkapan secara
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan dan pembunuhan jadi metode dan cara
kotor yang digunakan rezim. Padahal, selimut kepentingan keamanan nasional
itu hanya tameng untuk mempertahankan kekuasaan yang bobrok.
Ketika rezim politik berubah pada 1998, tentu harapan agar
rezim pemerintahan baru dapat mengoreksi kesalahan yang terjadi pada masa
lalu, dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM melalui mekanisme
hukum, sangat dinantikan. Penantian penyelesaian kasus itu bukan hanya untuk
kepentingan keluarga korban, melainkan juga kepentingan kita yang
menginginkan kepastian bahwa praktik kotor negara teror ala Orde Baru tidak terjadi lagi di masa
datang.
Dengan menghukum para pelaku pelanggaran HAM itulah kita
bisa dengan tenang mendapatkan kepastian bahwa kasus serupa tidak terjadi
lagi. Sebab, dengan menghukum mereka, diharapkan aparat negara tidak mau
melakukan tindakan pelanggaran HAM karena akan berujung pada jeruji penjara.
Akan tetapi, nyatanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu tidak juga kunjung tuntas. Tidak heran jika di masa reformasi ini
kasus kekerasan dan pelanggaran HAM masih terjadi, semisal di Papua dalam
kasus pembunuhan Theys Eluay (2002), kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir
(2004), dan kasus-kasus lainnya.
Selama ini sebenarnya Komnas HAM sudah menyelidiki
sebagian besar kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi pada masa lalu.
Sayangnya, berkas hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah dilimpahkan ke
kejaksaan selalu dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung dengan berbagai
alasan. Sikap kejaksaan yang tak mau menindaklanjuti berkas kasus pelanggaran
HAM bisa karena ketidakmauan kejaksaan menyelesaikan kasus HAM dan bisa juga
karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Di masa dua tahun pemerintahan Jokowi, penyelesaian kasus
pelanggaran HAM juga belum menemukan titik terang. Alih-alih menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM melalui mekanisme hukum, Menko Polhukam justru ingin
membentuk Dewan Kerukunan Nasional
(DKN) yang kabarnya akan menjadi dewan yang berfungsi menangani
konflik sosial dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui
jalur nonyudisial yang akan di atur kemudian melalui peraturan presiden.
Jika DKN ingin dibentuk untuk tujuan menangani konflik
sosial, sebenarnya hal itu kurang tepat. Mekanisme penyelesaian konflik
sosial sudah di atur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial. Meski terdapat kritik
dari masyarakat sipil atas UU itu, mekanisme dalam UU tersebut tidak
memandatkan kepada pemerintah untuk membentuk DKN dalam menangani konflik
sosial. UU No 7/2012 sudah memiliki mekanisme sendiri dalam penanganan
konflik sosial dan bukan melalui DKN. Oleh karena itu, rencana membentuk DKN
sesungguhnya tidak memiliki urgensinya.
Lebih dari itu, jika DKN ditujukan untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur nonyudisial,hal itu melawan
suara-suara dan aspirasi keluarga korban yang selama ini menginginkan
pengungkapan kebenaran dan keadilan hukum bagi mereka. Posisi DKN juga tidak
bisa mengalahkan posisi Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
dan tidak boleh mengambil alih kewenangan Komnas HAM. Sebab, DKN dibentuk
atas dasar peraturan presiden, sedangkan Komnas HAM di atur secara jelas
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999.
Jika benar DKN akan dibentuk untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur nonyudisial, hal itu akan membuka
ruang impunitas baru bagi para pelaku pelanggaran HAM. Dalam negara hukum,
sudah sepatutnya mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM diutamakan di
selesaikan melalui jalur yudisial.
Belum terlambat
Presiden Jokowi sebenarnya belum terlambat untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan dalam memajukan penegakan HAM di
Indonesia.
Kasus terdekat yang bisa diselesaikan oleh pemerintah
adalah dengan segera membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan
paksa/orang hilang pada 1997-1998. Sebagaimana di ketahui, DPR sudah
merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera membentuk pengadilan HAM ad
hoc kasus penghilangan paksa/orang hilang. Karena itu, sudah jadi kewajiban
pemerintah menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Langkah terdekat kedua yang bisa dilakukan oleh Presiden
Jokowi adalah dengan memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti proses hukum
terhadap semua berkas kasus pelanggaran HAM yang sudah dilimpahkan Komnas HAM
ke Kejaksaan Agung. Jika Jaksa Agung tidak mau tunduk kepada perintah
Presiden, sebaiknya posisi Jaksa Agung diganti.
Langkah ketiga terdekat yang dapat dilakukan adalah dengan
tidak menandatangani draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang DKN. Sudah
sepatutnya Presiden mendengarkan suara- suara korban dan pembela HAM yang
menolak rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui DKN.
Langkah keempat yang dapat dilakukan pemerintah adalah
merevisi UU No 39/1999 untuk memperkuat kelembagaan Komnas HAM. Salah satu
penguatan kelembagaan itu adalah dengan memberikan kewenangan yang lebih kuat
kepada Komnas HAM dalam hal menangani kasus pelanggaran HAM. Komnas HAM
sering kali terbentur dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM karena
berkasnya dikembalikan terus oleh kejaksaan.
Langkah kelima, pemerintah sebaiknya meratifikasi Statuta
Roma (ICC: International Criminal Court/ Mahkamah Pidana Internasional)
sebagai komitmen pemerintah dalam pemajuan penegakan HAM di Indonesia dan
dunia
Keberanian politik
Kemauan dan keberanian politik Presiden menjadi kunci
dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan di dalam memajukan
penegakan HAM di Indonesia. Jika Presiden tidak memiliki kemauan dan keberanian
politik, penanganan kasus pelanggaran HAM tidak dapat diselesaikan dan
pemajuan penegakan HAM sulit terwujud.
Presiden harus keluar dari tekanan-tekanan politik dari
mereka yang merasa terganggu oleh penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Presiden juga harus keluar dari bayang-bayang dan ilusi ketakutan bahwa
resistensi dari pihak-pihak yang tidak ingin kasus pelanggaran HAM selesai
akan menimbulkan jatuhnya Presiden dari kekuasaan.
Meski demikian, terlepas dari hitungan kalkulasi politik
pada Pemilu 2019, upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah tanggung
jawab negara sehingga sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk
menyelesaikannya. Di sini, Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar