Jurnalis
"Multitasking"
Ignatius Haryanto ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 17 April 2017
Ketika membicarakan konvergensi media, hal terkait
personel jurnalis seperti apa yang kita butuhkan di era konvergensi ini, kata
multitasking journalist menjadi suatu istilah yang kerap disebut-sebut.
Bagaimana sesungguhnya ide tersebut dalam cita-citng lebih cepat lewat
saluran media sosial. Pertanyaannya: apakah semua kegiatan ini bisa dilakukan
oleh satu jurnalis (yang multitasking tersebut)?
Di tengah kecemasan tentang makin turunnya oplah surat
kabar, iklan yang makin menciut di halaman koran, kemunculan media digital
(tetapi iklannya masih juga seret), perkembangan gawai yang makin canggih,
maka pertanyaannya: jurnalis macam apa yang dibutuhkan? Betulkah jurnalis
hari ini harus bisa melakukan semua: melaporkan peristiwa, menulis di media
daring, membagikan berita lewat media sosial, memotret, mengambil video, dan
wawancara sekaligus?
Tentu saja semua hal di atas bisa dilakukan oleh seorang
jurnalis yang memiliki 10 tangan, persis seperti gambar Rahwana dalam
kisah-kisah pewayangan. Tangan yang satu memegang alat rekam suara, tangan
lain mengambil gambar video, tangan lain lagi mengambil foto, tangan lain
menulis untuk media sosial, tangan lain lagi menulis butir-butir penting
hasil wawancara atau reportase. Otak yang cuma satu ini harus dibagi-bagi
konsentrasinya untuk mengendalikan semua perangkat tadi.
Pertanyaannya: betulkah bisa? Kalaupun memang bisa
dilakukan, bagaimana dengan hasilnya? Istimewa, bagus, biasa saja, atau malah
sangat buruk?
Jurnalis yang multitasking memang seperti
mantra yang diucapkan bersamaan dengan kita membicarakan soal konvergensi
media. Logikanya, jika platform medianya saling berbaur, si jurnalis sebagai
aktornya harus memiliki kemampuan fungsional yang beragam dalam dirinya dan
harus bisa dilakukan dalam satu kesatuan waktu.
Pertanyaannya: masuk akalkah? Bagaimana dalam
kenyataannya?
Memang, jika konvergensi mau efektif, ia harus meleburkan
pelbagai platform newsroom jadi satu atau menghasilkan suatu
kolaborasi tanpa harus menanggalkan kekuatan dari masing-masing platform.
Namun, konvergensi ini tak perlu menyingkirkan para penulis esai atau laporan
berita yang bagus. Sebaliknya, konvergensi bisa memaksimalkan hasil foto yang
kuat dan bercerita. Suatu kisah menarik yang diangkat dari kehidupan masyarakat
bisa keluar dalam pelbagai platform sekaligus. Bahkan, yang lebih ekstrem,
Josh Stearns dalam artikelnya menyebutkan bahwa di AS sudah berakhir era
"kompetisi dan diganti dengan era kolaborasi"-hal ini sudah dibahas
dalam Columbia Journalism Review pada 2009.
Yang penting dilakukan di sini adalah semangat bekerja
sama, bahu-membahu, memahami "budaya" dari masing-masing platform
yang ada dan mencoba untuk bekerja sama dari adanya kesepahaman budaya baru.
Dan membangun kesepahaman baru ini membutuhkan rapat rutin untuk menyamakan
persepsi sekaligus rapat rutin untuk merespons aneka peristiwa di sekitar
kita dan bagaimana masing-masing platform bisa berkontribusi untuk kondisi
ini.
Jurnalisme lebih baik?
Multitasking yang sering didengung-dengungkan sebagai
kecakapan wartawan zaman sekarang memang terdengar enak di telinga. Namun,
dalam kenyataannya sulit untuk mendapatkan hasil liputan aneka platform
dengan kualitas yang sama. Penulis yang baik belum tentu seorang yang bisa
menghasilkan tulisan cepat untuk media daring dan ia belum tentu orang yang
bisa memaksimalkan operasi kamera foto, apalagi kamera video.
Memiliki kemampuan lebih dari kondisi minimal tentu saja
baik. Akan tetapi, meminta semua wartawan memiliki kemampuan yang multitasking demikian
tidaklah realistis dan kerja semacam begini tak dapat dilakukan setiap hari.
Harus ada perencanaan serius untuk suatu acara tertentu yang mau diliput
dengan cara multitasking untuk multiplatform tersebut.
Tulisan Courtney Zwicker berjudul Does Multitasking
means Better Journalism? membukakan mata kita bersama
(http://thekjr.kingsjournalism.com/the-job- of-the-juggling-journalist/).
Artikel itu menunjukkan bahwa jurnalis yang dituntut untuk bertugas pada
lebih dari satu macam platform kerap mengalami gangguan (distraction)
besar untuk mengelola platform yang ia layani. Hasilnya kemudian adalah:
serba sedikit di sini dan serba sedikit di sana, dan akhirnya tak
menghasilkan karya jurnalistik yang mumpuni.
Seorang psikolog yang dikutip dalam artikel itu mengatakan
justru tugas ganda membuat jurnalis kebingungan untuk menyelesaikan tugasnya.
Selain itu, berpindah-pindah tugas untuk menghasilkan berita bagi dua
platform akan membuat jurnalis menguras pikiran lebih banyak dan ada
kecenderungan konsentrasi pun memudar serta kesalahan pun kerap
terjadi.
Editor publik dari New York Times pun
mengatakan bahwa kecenderungan jurnalis mengerjakan dua hal sekaligus membuat
kesalahan makin sering dilakukan oleh jurnalis alias beritanya banyak yang
tidak akurat.
Masih dari artikel yang sama, Prof Bill Grueskin, guru
besar jurnalisme di Columbia University, menulis di Nieman Journalism
Lab, bahwa sesungguhnya organisasi media membutuhkan "jurnalis yang
menguasai hal-hal yang luar biasa untuk satu dua hal saja ketimbang jurnalis
yang menguasai banyak hal tetapi biasa-biasa saja." (News orgs want
journalists who are great at few things, rather than good at many.)
Harus realistis
Grueskin punya istilah menarik untuk jurnalis yang multitasking ini,
yaitu Swiss army Knife" journalist. Kata Grueskin, "Swiss
Army Knife sangat bermanfaat jika digunakan pada saat berkemah. Akan
tetapi, kita tidak memerlukannya di dapur karena kita sudah memiliki
masing-masing alat bagus yang kita butuhkan."
Tentu saja tidak ada salahnya wartawan koran mengetahui
cara mengambil foto yang baik, memahami cara mengoperasikan kamera video,
ataupun menyebarkan berita lewat media sosial secara efektif. Akan tetapi,
dalam kenyataannya tak semua hal tersebut bisa dikerjakan satu orang.
Kalaupun memang direncanakan demikian, pastilah tidak mungkin untuk meliput
berita yang dikerjakan secara tergopoh-gopoh, tetapi berita yang lebih ringan
ataupun lebih membutuhkan perencanaan panjang sebelumnya.
Apakah lalu ide soal konvergensi media dan jurnalis multitasking harus
ditolak? Tidak juga, tetapi harus realistis dengan kondisi yang ada, dan
dilakukan lewat suatu perencanaan yang matang. Jika tidak, jurnalistik tidak
akan jadi lebih baik karenanya, padahal ide konvergensi ataupun multitasking tadi
sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki tampilan jurnalisme hari ini, dan
juga bukan datang dari suatu ide tentang mengerucutkan jumlah jurnalis dari
media yang terkonvergensi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar