Rabu, 21 Mei 2014

Politik Pangan Pulau Kecil

Politik Pangan Pulau Kecil

Muhamad Karim ;   Dosen Bioindustri UniversitasTrilogi,
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Isu pulau-pulau kecil kian naik daun. Sebagai negara kepulauan, Indonesia punya ribuan pulau kecil. Ada yang berpenghuni, ada yang kosong, ada yang letaknya dekat pulau besar, ada yang jauh hingga terpencil di samudra. Tantangan keberdaannya pun beragam; Keterbatasan pasokan pangan, air tawar, hingga ancaman perubahan iklim.

Eksistensinya di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bencana mengancam, yang amat menakutkan pasokan pangan. Pulau kecil kerap tak punya lahan pertanian subur. Kala gelombang tinggi disertai angin topan, praktis pasokan pangan absen. Bukankah penduduknya terancam kelaparan?

Ancaman Krisis

Kebijakan politik pangan kita hingga kini bergantung beras. Pulau kecil pun demikian. Pasalnya, amat sulit menemukan pulau kecil berlahan subur buat menanam padi, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Apalagi, pulaunya miskin sumber air tawar. Praktis pasokannya bergantung air hujan, atau membeli dari kapal penjual air tawar. Semua masalah ini mengancam ketahanan dan daya dukung pulau kecil.

Dari kacamata pasokan sumber pangan dan air tawar, pulau kecil dapat dikelompokkan. Pertama, pulau kecil berlahan subur dan berair tawar. Pulau ini mampu memasok kebutuhan air tawar penghuni dan pangannya.

Umpamanya Pulau Palue di NTT. Penduduknya bisa menanam pangan nonberas (jagung dan umbi-umbian). Pasalnya, tanaman padi tidak tumbuh baik. Kendati demikian, amat jarang masyarakatnya mengalami defisit pasokan pangan hingga kelaparan. Inilah bukti empiris masyarakat pulau kecil yang berdaulat dan mandiri pangan.

Kedua, pulau kecil berlahan gersang tanpa air tawar. Pulau ini amat jarang dihuni. Penduduk hanya menjadikannya sebagai persinggahan sementara tatkala menangkap ikan hingga mencari teripang. Mereka pun bisa berlindung kala ombak laut ganas disertai badai. Kendati begitu, jenis pulau ini kerap berpanorama indah.

Pantai berpasir putih, air lautnya bersih, dan dikelilingi gugusan terumbu karang, amat cocok buat berwisata menyelam, memancing, hingga berenang. Jarang penduduk menanam bahan pangan pokok. Acap kali lahannya kurang subur karena didominasi bebatuan. Kalaupun ada, lahan tanah umumnya kurang subur. Pasalnya, bercampur pasir dan lumpur.

Pulau semacam ini amat rawan ancaman krisis pangan. Uniknya, tanaman kelapa dan sukun kerap tumbuh baik di gugusan Kepulauan Seribu. Selain ancaman pangan dan keterbatasan air tawar. Pulau kecil juga rawan ancaman perubahan iklim. Topan, badai, empasan gelombang tinggi hingga kenaikan muka air laut. Imbasnya daya dukungnya kian merosot.

Pemerintah Kepulauan Vanuatu di Pasifik—melalui pendekatan adat—menghijaukan pulaunya. Mereka menanam pepohonan. Tanaman tumpang sari ditanam di bawahnya. Jenisnya umbi-umbian, sayuran, dan kacang-kacangan. Dalam lima tahun, Pulau Vanuatu kian hijau. Daya dukung ketahanan pulau meningkat.

Masyarakatnya pun mampu menyediakan pangan secara mandiri dan sehat melalui sistem pertanian organik berupa agroekologi. Imbasnya meningkatkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan masyarakatnya. Pelajaran dari Pulau Vanuatu ini mengingatkan urgensi pangan di pulau kecil karena menyangkut hidup mati penghuninya. Jika absen, ancaman kelaparan mengadang di depan mata.

Kebijakan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ribuan pulau kecil berpenghuni. Ketersedian pangan bagi penghuninya tak bisa ditawar lagi. Pemerintah mesti menerapkan kebijakan politik pangan tepat di pulau kecil. Ada penduduk yang sewaktu-waktu nyawanya terancam akibat kekurangan makanan. Apalagi kita kian hari kian bergantung pada pangan impor.

Pertama, pengembangan sistem transportasi pemasok pangan. Mesti ada sistem logistik pangan terapung yang bisa melayari pulau kecil kala mengalami kekurangan pasokan pangan. Hal ini penting agar pasokannya aman. Terutama pulau kecil di perbatasan, terpencil dan tak mampu memproduksi pangan sendiri. Jika gelombang tinggi dan cuaca buruk otomatis kapal sulit berlayar.

Jalan pintasnya, pemerintah mesti menyediakan transportasi udara khusus pemasok pangan pulau kecil. Pesawatnya multifungsi hingga mampu mendarat di laut. Ini akan memudahkan penduduk mengambil pasokan pangan. Mau tidak mau politik anggaran kita mesti mengalokasikan di masa datang.

Kedua, pemerintah mengembangkan kebijakan affirmative soal diversifikasi pangan. Kebijakan mesti mendapatkan dukungan anggaran memadai. Imbasnya, pemerintah pusat maupun daerah kian masif membudayakan inovasi-inovasi baru pangan nonberas di pulau kecil.

Pulau Lingga di Kepulauan Riau, pulau-pulau di Maluku dan Raja Ampat tumbuh subur pohon sagu, umbi-umbian, dan ikan melimpah. Mestinya diversifikasi pangan berbasis sagu, umbi-umbian, dan ikan kian marak. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api.

Di Pulau Lingga, malah sagu dijual dalam bentuk gelondongan ke luar daerah. Jika ini dibiarkan impian memperkuat kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan di pulau kecil tinggal cerita. Jika sebaliknya pulau kecil mampu memproduksi keragaman pangan secara mandiri dan berdaulat, ketahanan pangan pulau kecil kian terjamin juga mengurangi ketergantungan beras. Bukan tidak mungkin, dalam jangka panjang rakyatnya mensubtitusi beras dengan produk diversifikasi pangan.

Ketiga, mengembangkan pertanian agroekologi. Pendekatan multisistem dalam memproduksi pangan berkelanjutan. Agroekologi juga mencakup sistem sosial, budaya, dan politik guna mewujudkan keberlanjutan sistem pangan. Terutama untuk pulau berlahan subur dan cukup air tawar. Contohnya, Pulau Natuna, Enggano, dan Nias.

Pola polikultur maupun permakultur. Jenis tanaman pepohonannya berupa sukun, kelapa, jenjeng, waru, dan ketapang. Tanaman ini dapat ditumpangsarikan dengan sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan hingga padi ladang. Bila sebuah pulau kecil mampu menyediakan pasokan pangan, otomatis ia mampu menyuplai pulau lainnya yang kurang subur.

Pertanian agroekologi ini bersifat terpadu karena selain tanaman pangan, juga jenis ternak besar hingga unggas. Feces maupun air seninya bisa dibuat pupuk organik cair, kompos, hingga energi alternatif terbarukan. Model pertanian ini, selain menyediakan pangan aman dan sehat, juga ramah lingkungan. Imbasnya, pulau kecil mampu berdaulat pangan, energi hingga keberlanjutan ekosistemnya.

Pulau Vanuatu sukses mempraktikkan ini. Pendekatannya memberdayakan kelembagaan adat. Pertanian agroekologi diperkenalkan melalui kelambagaan adat ini hingga masayarakatnya menerima hanya tanpa hambatan berarti. Pelajaran spektakuler lainnya, yaitu kesukseskan mempraktikkan pertanian agroekologi membebaskan rakyat Kuba dari ancaman kelaparan selama 40 tahun akibat embargo ekonomi PBB.

Keempat, merevitalisasi dan membudayakan masyarakat pulau kecil mengonsumsi pangan lokalnya, semacam singkong maupun sagu. Orang Buton punya makanan khas bernama kasuami terbuat dari singkong kukus. Makanan ini mampu bertahan lama hingga kerap jadi makanan kala melaut. Makanan ini pun kerap dikonsumsi bersama ikan asap maupun asin, mirip orang Maluku dengan sagu bakarnya. Mereka juga mengonsumsinya dengan ikan asap, kering, dan asin.

Masyarakat pulau kecil di Buton dan Maluku menjadikannya pangan pokok hingga kini. Bukankah hal ini solusi strategis menghadapi ancaman kelaparan di pulau kecil? Pendek kata, pengolahan pangan lokal di pulau kecil mesti dihidupkan kembali sekaligus melestarikan kuliner berbasis budaya.

Inilah salah satu agenda “penting” bagi presiden pemenang Pemilu 2014. Kita berharap presiden terpilih setidaknya mampu mengaktualisasikannya hingga membebaskan pulau kecil dari ancaman krisis pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar