Ikhtiar
Manusiawi
Said
Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
|
JAWA
POS, 27 Mei 2014
ISRA
Mikraj telah menjadi peristiwa historis dan fenomenal. Nabi Muhammad yang
ditulis Alquran sebagai manusia biasa yang menggenggam wahyu ''ditamasyakan''
Allah ke ''dunia lain''. Di sana, Nabi menjumpai banyak kejadian yang bisa
menjadi alat pembuktian bagi kebenaran ilahi.
Penganugerahan
derajat kenabian belum cukup sebelum diperhadapkan dengan ''alam syahadah''.
Seperti pula Nabi Musa yang diberi petunjuk Allah untuk belajar kepada Nabi
Khidir. Dengan begitu, Nabi Musa tidak merasa paling benar sendiri.
Isra
Mikraj merupakan mukjizat yang diberikan Allah bagi utusan-Nya.
Selama
14 abad nabi telah meninggalkan kita. Dan kita menerima ajaran nabi sebagai
pandangan hidup dan pedoman bagi hidup sehari-hari.
Sementara
itu, dunia dan kehidupan terus berjalan bagaikan lautan yang pasang surut.
Pada zaman ''rasio instrumentalis'' terus mengepakkan sayapnya, segala hal
bisa terjadi. Sejarah masih gamang untuk ditafsirkan puncak akhirnya.
Kapitalisme
yang ditopang segala pranatanya dinujumankan sebagai ''puncak'' cita-cita
kemanusiaan. Sementara itu, spiritualisme dengan segala rupanya juga kian
memanjangkan langkahnya. Karena itu, orang yakin ada ''titik balik'' dari
sejarah peradaban manusia.
Perjalanan Kemanusiaan
Isra
Mikraj dapat dibaca bukan semata sebagai peristiwa teologis dan metafisis.
Segala peristiwa keagamaan selalu menyimpan hikmah sosial-kemanusiaan.
Misalnya, salat yang diperintahkan sejak Isra Mikraj bukanlah semata ibadah
murni (ibadah al-mahdhah) yang
melangit.
Salat
mempunyai fungsi kemanusiaan, yakni melatih manusia untuk membersihkan
jiwanya (tazkiah al-nafs) setiap
waktu. Dengan kesucian jiwa, manusia diharapkan mampu mewujudkan reformasi
jiwa yang akan membentuk tertib sosial.
Orang
yang menjalankan pelatihan jiwa (riyadhah
al-nafs) secara optimal tentu tidak akan mudah bertindak kriminal seperti
korupsi. Sebab, dia selalu sadar bahwa tindakan korupsi akan menyengsarakan
banyak orang serta berakibat pada hukuman dunia dan akhirat.
Agama
''hanya'' menyediakan petunjuk (nash)
tentang perintah dan larangan yang semua demi kebaikan umat manusia. Jadi,
mudah menjawabnya bila ada pertanyaan mengapa banyak yang tampak beragama
tetapi gampang melakukan kejahatan atau korupsi.
Pendaratan
petunjuk agama bergantung pada manusianya. Muhammad Iqbal menyatakan, Alquran
tidak mempunyai kaki. Maksudnya, berjalannya petunjuk agama membutuhkan usaha
manusia. Manusia adalah makhluk multidimensi. Dalam dirinya tersimpuh saling
silang antara baik dan buruk. Nurani, akal, dan syahwat tak henti bertarung
dalam dirinya.
Kaki
manusia menginjak tanah, tidak mengawang di langit. Artinya, manusia berdiam
dalam dunia yang secara sunatullah selalu berubah dan beragam. Perubahan
serta keragaman itulah yang menjadi ''ujian'' bagi manusia untuk tetap
berjalan pada prinsip-prinsip keilahian dan kemanusiaan.
Konflik
sesungguhnya merupakan produk manusia sendiri. Manusia, seperti yang
dinyatakan Alquran, memang memendam potensi konflik (ifsad al-dima'). Karena itulah, Tuhan menurunkan agama melalui
rasul-Nya dalam rangka ''menyublimasi'' atau mengarahkan potensi buruknya ke
arah kebaikan.
Karena
itu, jelas-jelas tidak ada agama yang mengajarkan konflik atau membuat
kekacauan. Kalau mereka yang melakukan tindakan anarkistis berdalih pada
ajaran agama, sudah pasti pemahaman keagamaannya yang harus diralat.
Agama
tidak dapat dipahami secara sepotong-sepotong, tetapi harus dimaknai secara
menyeluruh. Bila hanya bersandar pada satu ayat, tanpa hirau pada ayat
lainnya atau lebih menekankan pada tafsir tekstualis, mudah terjadi salah
tafsir dan salah bertindak. Itulah salah satu problem internal keagamaan yang
dewasa ini, tampaknya, tengah menjadi sorotan secara mondial.
Demikianlah,
diturunkannya nabi senantiasa berhadap-hadapan dengan aneka warna sifat-sifat
manusia. Kenyataan itu bagaikan sebuah teater peragaan yang dipertontonkan
Tuhan antara kebaikan dan keburukan. Misi kenabian tampil untuk melawan
dominasi, tirani keangkaramurkaan, atau kesewenang-wenangan struktur
kekuasaan serta budaya barbarian. Itulah misi utama kenabian.
Isra
Mikraj menjadi salah satu wahana bagi Nabi Muhammad untuk lebih dulu ''dicuci
hatinya'' dalam menghadapi tantangan kenabiannya. Kekuasaan dan keangkuhan
manusia akan terus bercokol yang bisa menjadi batu ujian untuk memperjuangkan
panji-panji keilahian dan kemanusiaan.
Isra
Mikraj pun mempertontonkan kemanusiaan nabi yang memerlukan persiapan melalui
penatapan langsung realitas keilahian. Dengan cara begitu, nabi akan lebih matang
dalam memperkuat basis perjuangannya.
Mengangkat Derajat
Isra
Mikraj merupakan gambaran ikhtiar manusiawi untuk pelatihan diri guna mendaki
puncak kemanusiaan dan spiritual (maqam
al-'Ula). Manusia sesungguhnya mempunyai potensi untuk menaikkan ''derajat''
kediriannya. Artinya, kedirian manusia tidak stagnan, melainkan mampu
''diangkat'' pada derajat yang lebih tinggi dan itu melalui pelatihan secara
kontinu.
Ritual-ritual
yang disediakan agama sesungguhnya mengarah pada upaya untuk mengangkat derajat
mental manusia. Secara praksis, ada tiga pelatihan diri. Yaitu, jihad (pelatihan fisik), ijtihad (pelatihan rasio), dan mujahadah (pelatihan batin). Ketiganya
bersifat integrated system. Dengan pelatihan tersebut, manusia akan
mereformasi dirinya sehingga mampu membangun nilai-nilai luhur yang berguna
bagi peradaban.
Alhasil,
hakikat Isra Mikraj berkesinambungan dengan misi profetis. Yakni, manusia
dengan niat dan kesadarannya bisa mengolah jiwanya untuk menaiki (mi'raj) tangga kemuliaan jiwa. Betapa
indahnya peringatan Isra Mikraj kali ini kita jadikan momentum reformasi jiwa
demi meningkatkan martabat bangsa di tengah situasi negeri kita yang dilanda
banyak tantangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar