Menegakkan
Integritas Penyelenggara Pemilu
Ferry Kurnia Rizkiyansyah ;
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)
|
KORAN
SINDO, 28 Mei 2014
Penyelenggaraan
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah memasuki babak akhir. KPU telah
menetapkan hasil perolehan suara setiap partai politik dan anggota DPR, DPD,
dan DPRD terpilih untuk periode 2014-2019.
Kini KPU
sudah kembali disibukkan dengan tahapan pemilu presiden dan wakil presiden.
Pelaksanaan agenda lima tahunan ini menjadi salah satu tolok ukur kinerja
penyelenggara pemilu. Meski dalam penyelenggaraan pemilu juga sangat terkait
dengan kinerja peserta pemilu, pemilih, dan pemerintah. Tetapi secara teknis
penyelenggaraan, KPU dan jajarannya memiliki porsi tanggung jawab yang lebih
besar dalam memastikan tahapan demi tahapan pemilu berjalan dengan baik.
Kini
kritik dari publik dialamatkan ke KPU dan jajarannya karena dianggap belum
maksimal dalam mengelola tahapan demi tahapan pemilu, khusus pemungutan,
penghitungan dan rekapitulasi suara. Salah satu aspek yang mendapat banyak
sorotan adalah kinerja penyelenggara di tingkat KPU kabupaten/kota, panitia
pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok
penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
KPU
tidak menutup mata dengan beberapa peristiwa dan tindakan yang menciderai
integritas dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena sejak awal, KPU
telah berkomitmen untuk mewujudkan Pemilu 2014 sebagai pemilu yang
berintegritas. Salah satu langkah yang ditempuh untuk mewujudkan komitmen itu
dengan mendorong terciptanya integritas penyelenggara, selain juga harus
didukung integritas peserta pemilu dan pemilih.
Menyikapi
sejumlah dugaan kecurangan yang terjadi selama penyelenggaraan pemilu, KPU
telah mengambil sejumlah langkah-langkah penanganan. Hal ini dilakukan agar
kejadian serupa tak terulang dalam penyelenggaraan tahapan pemilu presiden
dan wakil presiden yang saat ini sudah memasuki tahap pencalonan. Pertama ,
melakukan klarifikasi kepada penyelenggara yang diduga melakukan pelanggaran
selama tahapan penyelenggaraan pemilu.
Klarifikasi
dilakukan untuk mendapatkan penjelasan secara detail terkait dengan kebijakan
dan tindakan yang dilakukan penyelenggara dan dicurigai sebagai pelanggaran
pemilu. Kesempatan yang seluas-luasnya diberikan kepada penyelenggara untuk
menjelaskan kronologi setiap peristiwa untuk menegaskan posisinya dalam
peristiwa tersebut. Klarifikasi juga dilakukan dengan meminta informasi dari
para pihak di luar penyelenggara pemilu untuk mendapatkan informasi sebagai
pembanding terhadap keterangan yang diberikan oleh penyelenggara.
Semua
informasi yang dihimpun itu menjadi pertimbangan bagi KPU untuk mengambil
tindakan terhadap peristiwa yang terjadi, apakah akan memberhentikan atau
tetap mempertahankan keberadaan penyelenggara pemilih yang diduga melakukan
pelanggaran tersebut. Kedua , KPU telah memberikan tindakan tegas kepada
penyelenggara yang secara nyata telah melakukan pelanggaran pemilu.
Hingga
saat ini terdapat 25 anggota KPU kabupaten/ kota, 57 anggota PPK, 75 anggota
PPS, dan 88 anggota KPPS yang telah diberhentikan sementara. Mereka yang
diberhentikan sementara karena dalam pelaksanaan penghitungan dan
rekapitulasi suara, bekerja tidak sesuai dengan standar operasional prosedur
(SOP) yang ditetapkan oleh KPU. Sejumlah KPU di kabupaten/ kota tidak dapat
menyelesaikan rekapitulasi suara tepat waktu.
Selain
itu, terdapat KPU kabupaten/kota yang melakukan rekapitulasi secara tertutup.
Terhadap kinerja KPU kabupaten/kota yang buruk, KPU tidak hanya
memberhentikan sementara, tetapi meminta KPU provinsi mengadukan mereka ke
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Setelah ada putusan DKPP, KPU
akan mengambil keputusan pemberhentian tetap.
Tindakan
tegas ini sebagai bentuk komitmen KPU untuk menegakkan integritas dan
profesionalitas penyelenggara pemilu. KPU tidak ingin komitmen
menyelenggarakan pemilu berintegritas yang telah dibangun secara nasional
terciderai gara-gara adanya kepentingan individu dan kepentingan sesaat dari
oknum penyelenggara di beberapa daerah.
Para
penyelenggara yang telah diberhentikan ini, datanya harus tetap
terdokumentasikan dengan baik sehingga dalam rekrutmen untuk periode
berikutnya tertutup peluang mereka untuk lolos. Ketiga , KPU telah memberikan
sanksi berupa teguran kepada para penyelenggara yang melakukan pelanggaran
ringan.
Terdapat
25 anggota KPU kabupaten/kota, 57 anggota PPK, 75 anggota PPS, dan 88 anggota
KPPS yang telah diberi sanksi. Tindakan ini sebagai bentuk komitmen KPU yang
tidak akan memberikan toleransi terhadap kesalahan penyelenggara sekecil apa
pun.
Setiap pelanggaran
yang dilakukan oleh penyelenggara meski masuk dalam kategori pelanggaran
ringan, tetap harus dikenai sanksi. Hal ini penting untuk memberikan
peringatan kepada setiap penyelenggara bahwa KPU secara berjenjang tetap
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja penyelenggara.
Keempat
, memperkuat monitoring dan supervisi. Bagi KPU, integritas dan
profesionalitas mutlak dimiliki semua jajaran penyelenggara pemilu.
Penyelenggara harus memiliki daya tahan terhadap setiap godaan yang datang
dari luar, termasuk godaan yang datang dari para kandidat yang ikut
berkontestasi dalam pemilu.
Karena
itu, KPU memperkuat pelaksanaan supervisi secara berjenjang untuk memastikan
kinerja penyelenggara di kabupaten/ kota, kecamatan, desa/kelurahan dan TPS sesuai
dengan SOP yang ditetapkan. KPU provinsi memiliki posisi yang sangat
strategis dalam pelaksanaan fungsi monitoring dan supervisi tersebut. Ke
depan, KPU provinsi harus dapat melakukan pemetaan kondisi kerawanan di
daerahnya masingmasing, beruparawankonflik, rawan kecurangan, rawan sumber
daya manusia, dan sebagainya.
Kegiatan
monitoring ke daerah-daerah yang rawan dilakukan secara intensif untuk dapat
melakukan tindakan antisipasi agar kerawanan yang bersifat laten tidak
berubah menjadi sesuatu yang manifes. Kelima , memperkuat koordinasi dan
konsolidasi. Koordinasi yang intensif di antara sesama penyelenggara pemilu
akan membuat penyelenggaraan merasa terawasi setiap saat.
Ketika
seseorang merasa dalam pengawasan, posisinya akan selalu waspada dan berusaha
menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Koordinasi yang baik
antar penyelenggara akan mendorong terbangunnya komunikasi interaktif dan
terbuka di antarsesama penyelenggara. Keterbukaan ini merupakan kunci untuk
saling berbagi masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan tahapan demi
tahapan pemilu.
Dengan
mengetahui dan memahami peta masalah di setiap daerah secara gamblang,
kegiatan supervisi di setiap jenjang dapat berjalan secara maksimal.
Koordinasi juga dilakukan dengan pengawas pemilu untuk mendapatkan informasi
pembanding terkait dengan kinerja penyelenggara.
Informasi
ini penting sebagai masukan kepada KPU dalam melaksanakan kegiatan evaluasi
dan pengisian ulang jajaran penyelenggara pemilu untuk tingkat KPPS, PPS,
PPK, dan KPU kabupaten/kota. Sementara untuk konsolidasi dilakukan dalam
rangka memberikan pemahaman yang utuh kepada penyelenggara terhadap setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu.
Transfer
yang dilakukan tidak hanya sebatas meningkatkan pengetahuan dalam teknis
kepemiluan, tetapi yang tidak kalah penting menumbuhkan pemahaman akan
pentingnya nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam melaksanakan
tahapan pemilu. KPU sudah melakukan upaya preventif dan represif dalam
menegakkan integritas dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu.
Sejak
rekrutmen, KPU telah menerapkan pola proaktif dan partisipatif dalam
menjaring figur yang potensial untuk menjadi penyelenggara pemilu. Pola ini
sebenarnya cukup efektif dalam mengurangi pelanggaran yang dilakukan oleh
penyelenggara. Dari sekitar lima juta penyelenggara pemilu, hingga saat
terdapat 229 petugas penyelenggara pemilu yang telah dikenai sanksi karena
kurang profesional dalam menjalankan tugas. Secara presentasi, jumlah itu
tentu sangat kecil.
Tetapi
KPU tidak melihat banyak atau sedikitnya pelanggaran pemilu. Sekecil apa pun
kasus yang terjadi akan disikapi secara serius sebagai bentuk komitmen KPU
menegakkan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar