Mendambakan
Pemimpin Pluralis Sejati
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 28 Mei 2014
INDONESIA,
tulis sang multikulturalis Will Kymlica (2000), adalah sebuah multibangsa
yang terbentuk dan terbangun atas pluralisme komunitas sejarawi (historical community) yang sama. Oleh
karena itu, dalam perjalanan bangsa ke dapan harus berlandaskan kepada
warisan sejarah yang merupakan instrumen perekat kolektivitas sebagai sebuah
bangsa, dan hendaknya bermuara pada cita-cita yang sama pula.
Dengan
demikian, apa pun alasannya, ke depan, perlu dibangun sebuah sejarah kolektif
bangsa yang kental sebagai sebuah komunitas sejarawi secara berkesinambungan,
dengan kehendak untuk melanjutkan kehidupan bersama yang kuat dan harmonis.
Itu agar dalam suka-duka dan dalam
pahit-getirnya berbangsa sebagai akibat dari ketidakberesan dalam tata kelola
negara oleh para pemimpin, semua anak banga tetap merasa sebagai satu negara
bangsa, yaitu Indonesia.
Tanpa
perasaan senasib dan kehendak untuk melanjutkan kehidupan bersama yang kuat
dan harmonis, bangsa ini cepat atau lambat akan mengalami kekacauan yang bisa
berujung pada disintegrasi.
Untunglah
hingga kini perasaan senasib dan kehendak untuk tetap melanjutkan kehidupan
bersama masih terpelihara. Pada 1998 misalnya, orang mengira Indonesia akan
mengalami balkanisasi dan dihapus dari peta dunia. Namun, meski didera aneka
kerusuhan, konflik etnis, dan ketegangan agama, Indonesia masih tetap berdiri
gagah.
Solidaritas Sosial
Bertolak
dari ulasan di atas, kita didorong untuk mengingat kebangsaan Indonesia
sesungguhnya sejak awal dimengerti sebagai suatu bentuk solidaritas agung.
Logika
pendiriannya adalah, penjajahan yang sekian lama telah menimbulkan
kesengsaraan bagi bangsa Indonesia akibat penindasan, harus diakhiri.
Satu-satunya jalan keluar adalah jika seluruh kelompok agama, suku, ras, dan
antargolongan yang terjajah bersatu membangun solidaritas melawan politik memecah
belah devide et impera, yang dikembangkan penjajah.
Oleh
karena itulah, benar seperti yang ditulis Ernest Renan dalam artikel
pendeknya What is a Nation, kebangsaan harus dipahami sebagai suatu bentuk
solidaritas moral yang dipupuk dan dipertahankan melalui kesadaran sejarah
yang khas. Kesadaran akan masa lalu yang gelap gulita, yang dirasakan bersama
sebagai bangsa terjajah, dan keinginan untuk membangun masa depan nan cerah
yang penuh keberhasilan.
Itulah
yang disari secara cerdas oleh para pendiri bangsa, serta membangkitkan
semangat rakyat untuk menatap masa depan yang gemilang. Bung Karno misalnya,
secara tegas mengatakan, “Kemerdekaan
adalah jembatan emas, di seberangnya akan diwujudkan masyarakat adil dan
makmur.”
Tepatnya,
di depan pengadilan terhadap dirinya pada 1930, Bung Karno menegaskan
keinsyafan rakyat akan punya “masa
silam yang indah, masa kini yang gelap gulita, dan janji-janji suatu masa
depan yang melambai-lambai, berseri-seri.”
Memang,
sebuah eksistensi kebangsaan yang kuat dan tetap lestari, dapat dipikat dan
direkat oleh cita-cita bersama nan agung terhadap suatu masa depan yang adil
dan makmur, beradab, dan bersahaja. Tulis Octavio Paz, intelektual Meksiko
dan pemenang hadiah nobel, kebangsaan dijangkar pada janji-janji masa depan
yang bisa jadi sangat ilusif, namun sangat kuat dalam membangkitkan imajinasi
kolektif.
Di dunia
ini ada sejumlah negara yang sanggup menggalang kekuatan masa depannya lewat
penggalangan kebersamaan dalam bercita-cita. Artinya, cita-cita bersama dalam
meraih hari esok yang cemerlang menjadi alat perekatnya yang mempererat
kebersamaan. Negeri imigran seperti Amerika Serikat dengan “The American Dream”-nya adalah sebuah
contoh.
Sayang
bahwa kebersamaan dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif di
negeri ini senantiasa mendapat ancaman atau kerap mengalami krisis yang
disebabkan meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangatkan
partikularistik.
Radikalisme
agama, suku, dan politik uang, semakin menjadi implikasi praktis pudarnya
“bangsa” sebagai metafora solidaritas. Demokratisasi yang diharapkan dapat
menyegarkan dan merehabilitasi solidaritas kebangsaan, justru menjadi arena
produksi kekerasan dan diskriminasi.
Uang
yang senantiasa terimpikan menjadi alat penunjang kesejahteraan, namun secara
pasti semakin menjadi alat perusak kebersamaan dan mencederai bentuk-bentuk
solidaritas kebangsaan. Selain itu, politik uang ikut merusak demokrasi dan
mencabik-cabik tubuh politik, sehingga semakin tidak sanggup menggerakkan
antusiasme solidaritas.
Indonesia
menjadi kuat, hebat, agung, dan disegani berbagai negara di dunia karena
sanggup membangun kebersamaan dan terus memperkokoh kemajemukannya. Namun,
bagaimana jadinya jika kesadaran akan kebersamaan kian melemah? Tidak dapat
dimungkiri, akan terus terjadi krisis solidaritas yang akan memicu krisis
kebersamaan dalam kemajemukan.
Dalam
hal ini, sulit mengharapkan lenyapnya konflik atas nama suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Bukan tidak mungkin juga Pancasila, yang sudah menjadi
kesepakatan dasar sebagai rumah bersama bagi kebhinnekaan bangsa, bisa runtuh
suatu saat kelak. Lalu?
Pemimpin Demokratis-Pluralis
Untuk membangun rumah kebersamaan dalam
kemajemukan kemajemukan sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa, yang
terus-menerus dibutuhkan adalah pemerintahan demokratis, dengan pemimpin
demokratis dus pluralis sejati.
Kehadiran
pemerintahan dan pemimpin yang demokratis dan pluralis guna membangun serta
menciptakan solusi-solusi kreatif untuk memodernisasi perbedaan, supaya
Indonesia semakin menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara-negara
di dunia.
Melahirkan
pemimpin demokratis dan pluralis, harus dilakukan dengan terlebih dahulu
menciptakan pemilu demokratis serta menghindarkan sejauh mungkin politik uang
yang selama ini telah menjadi momok demokrasi. Pemilu kita hingga kini boleh
dikatakan sebagai pemilu damai. Namun, itu sesungguhnya hanya karena rakyat
menerima politik uang sebagai sesuatu yang lumrah. Tetapi, jangan lupa efek
politik uang dapat menjadi bom waktu di kemudian hari.
Pertama-tama,
yang dibutuhkan bangsa ini terutama dalam pagelaran pemilu presiden dan wakil
presiden, adalah segera melahirkan pemimpin demokratis dan pluralis sejati
yang berkarakter kuat serta berani mengambil risiko dan sanggup membayar
harga. Ia diharapkan sanggup menghentikan politik uang yang menjadi momok
demokrasi.
Lahirnya
pemimpin demokratis dan pluralis yang berkarakter, akan lebih mencintai
demokrasi dan menjunjung tinggi pluralisme. Di situ, jelas ia akan
berkomitmen kuat dalam perjuangan untuk memartabatkan dan mengagungkan bangsa
dalam pluralitasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar