Menakar
Jurnalisme Prasangka
Atmakusumah ;
Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS);
Ketua Dewan Pers
2000-2003
|
KOMPAS,
30 Mei 2014
PENDERITAAN
subyek berita akibat ”jurnalisme prasangka” seperti diuraikan S Sinansari
Ecip di harian Kompas, baru-baru ini, merisaukan setiap pakar jurnalisme dan
pengamat kebebasan pers. Sebab, jurnalisme semacam itu tak memenuhi standar
jurnalisme profesional yang berpedoman pada kode etik jurnalistik. ”Sebagian liputannya mengandung hasil yang
kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada
orang atau lembaga tertentu (obyek liputan) dengan publikasi yang dahsyat,”
demikian digambarkan dalam tulisan Ecip berjudul ”Awas, Jurnalisme Prasangka” pada Kompas edisi 2 April 2014.
Laporan
seperti itu dapat terjadi karena kelalaian dan kurang uletnya para wartawan
pengelola media pers yang memberitakan persoalan yang dialami oleh subyek
berita tersebut. Bisa jadi juga karena media pers itu tak independen, tetapi
memiliki kepentingan politik atau ekonomi tertentu yang bukan merupakan
kepentingan publik pada umumnya.
Kemungkinan
lain, media itu memang bukan media pers arus utama yang profesional yang
sudah memiliki kelengkapan persyaratan untuk dapat menjalankan program
peliputan investigasi atau penyidikan. Media pers profesional lazimnya punya
kemampuan mengerahkan sejumlah wartawan berpengalaman.
Peliputan
investigasi butuh biaya cukup besar dan tak jarang menelan waktu lama karena
laporan itu perlu disajikan secara obyektif: berimbang dan fair (adil), tidak
diskriminatif, serta tidak berprasangka. Bekal lain dalam penyajian karya
jurnalisme investigasi tentulah keberanian, tanggung jawab, dan soliditas
redaksi karena sering harus menghadapi tanggapan yang sangat kritis, terutama
dari pihak subyek laporan itu yang merasa dirugikan atau dicemarkan.
Dengan
demikian, laporan investigasi pers profesional perlu memberikan gambaran
peristiwa atau persoalan secara lengkap atau yang dalam istilah jurnalistik
dikenal sebagai obyektif dan komprehensif. Jadi, upaya peliputan pers yang
ideal tidak bertujuan ”pukul dulu,
urusan belakang,” seperti yang dikhawatirkan oleh Sinansari Ecip.
Memang,
media pers kita tidak lepas dari kemungkinan menyajikan karya jurnalistik
yang tidak adil. Laporan seperti ini dapat muncul dalam berita-berita cepat
atau seketika yang mungkin perlu segera diberitakan meski hanya berdasarkan
sumber-sumber yang belum lengkap. Misalnya, informasi baru bersumber dari
kepolisian, kejaksaan, atau sidang pengadilan yang masih berkelanjutan.
Hak jawab
Penggunaan
hak jawab dengan langsung memberikan keterangan tertulis atau lisan kepada
redaksi media pers ataupun pemanfaatan mediasi oleh Dewan Pers antara subyek
berita dan media pers termasuk di antara empat cara penyelesaian konflik
akibat pemberitaan. Keempat jalur ini dapat menjadi pilihan sejak awal, bukan
seperti dikatakan oleh Sinansari Ecip bahwa ”pengaduan kepada polisi atau pengadilan tidak dilarang asal setelah
diadukan kepada Dewan Pers.”
Akan
tetapi, apabila kasus itu sudah berada di jalur hukum, Dewan Pers tidak akan
dapat diminta sebagai mediator, kecuali jika pihak pengadu menarik kembali
pengaduan itu dari lembaga penegak hukum. Paling-paling, jika diminta, Dewan
Pers hanya dapat mengirimkan saksi ahli ke pengadilan. Majelis hakim, ketika
mulai menyidangkan delik pers, kadang-kadang masih menawarkan kepada
penggugat untuk berdamai dengan tergugat melalui penggunaan hak jawab atau
mediasi oleh Dewan Pers.
Di
manakah hak jawab dapat disajikan pada media pers cetak atau media massa
lainnya? Sinansari Ecip menyindir pemuatan hak jawab yang pendek dalam rubrik
”Surat Pembaca” sehingga tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi
pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.
Sebenarnya
hak jawab tidak selamanya dimuat di rubrik ”Surat Pembaca”. Ada kalanya
klarifikasi subyek berita yang serupa dengan hak jawab disajikan sebagai
berita baru dengan huruf-huruf judul dan kolom yang lebih mencolok daripada
berita awal yang ditanggapi. Redaksi, memang, memiliki kewenangan untuk
memilih cara penyajian dan melakukan penyuntingan bagi seluruh isi medianya,
termasuk hak jawab.
Dewan Pers-Komisi I DPR
Empat
jalur tempuh yang dapat dilalui oleh khalayak ketika bersengketa dengan media
pers juga telah disepakati oleh Komisi I DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
dengan Dewan Pers pada 6 Juni 2000. Namun, penggunaan hak jawab tetap
ditempatkan pada urutan jalur yang pertama.
Komisi I
DPR sependapat dengan Dewan Pers agar ditempuh jalur yang lazim berlaku di
negara-negara lain dan Indonesia selama ini jika terjadi konflik antara
publik dan media pers.
Pertama,
penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Upaya ini memberikan kesempatan
kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi narasumber atau
obyek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan
dengan isi berita yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Ini adalah jalur
yang paling singkat, paling praktis, serta tidak menelan energi dan biaya.
Kedua,
penyelesaian melalui Dewan Pers sebagai mediator. Apabila kedua pihak tidak
dapat dicapai penyelesaian, mereka dapat meminta Dewan Pers sebagai mediator.
Penyelesaian melalui Dewan Pers biasanya memerlukan waktu lebih lama, mungkin
selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan, bergantung pada sederhana
atau peliknya persoalan yang dihadapi.
Ketiga,
penyelesaian melalui jalur hukum. Cara penyelesaian terakhir—jika salah satu
atau kedua pihak merasa tidak puas dengan rekomendasi dan putusan Dewan Pers
atau salah satu pihak atau keduanya tidak berniat meminta bantuan Dewan
Pers—dapat ditempuh jalur hukum melalui pengadilan. Seperti dikatakan oleh
Komisi I DPR, ini adalah ”jalan paling
panjang” yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa: bisa
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini adalah upaya yang paling menelan
energi dan biaya.
Keempat,
boikot media pers. Selain menyepakati ketiga jalur di atas, Komisi I DPR juga
menyarankan alternatif menggunakan social
punishment dengan memboikot atau tidak menggubris media pers yang oleh
Komisi I DPR disebut ”tidak jujur”.
Dengan kata lain, masyarakat dapat melakukan tindakan: tidak membeli media
pers cetak seperti surat kabar, tabloid, dan majalah; tidak mendengarkan
siaran radio; atau tidak menonton siaran televisi yang ”tidak jujur” atau disengketakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar