Strategiskah
Blusukan?
Erwin Suryadi ; Kandidat
Doktor Ekonomi Universitas Atmajaya, Praktisi Manajemen
|
KORAN
SINDO, 28 Mei 2014
Akhir-akhir
ini perdebatan muncul di media membicarakan apakah pemerintahan Presiden SBY
itu berhasil. Ini mengingat banyak orang berpikir skeptis bahwa SBY adalah
tipe pemimpin yang lamban mengambil keputusan.
Ada juga
yang mengatakan bahwa kepemimpinan yang baik harus cepat, walaupun kadang menabrak
aturan seperti yang ditunjukkan oleh JK saat menjadi wakil presiden. Atau
seperti model Soeharto, seperti yang tercermin dengan munculnya jargon ”piye kabare, enak jamanku tho”. Dari
semua pilihan itu, yang paling membius masyarakat sebuah jargon baru; blusukan yang dipopulerkan Jokowi.
Apa
sebenarnya blusukan? Apa fungsi blusukan? Mengapa blusukan itu tiba-tiba menjadi sebuah
tema yang banyak dipakai oleh para caleg dalam kampanye pemilu legislatif
yang baru lewat? Apakah memang sesungguhnya blusukan itu memiliki nilai strategis untuk memimpin negara
kepulauan terbesar di dunia ini?
Blusukan
sendiri apabila meminjam definisi yang disampaikan oleh Mathias Hariyadi
dalam ”Blusukan ”, Strategi Pastoral Keuskupan Purwokerto, 21 Agustus 2011
dalam www.sesawi.net, disebutkan bahwa kata ini merupakan sebuah kata dari
bahasa Jawa yang artinya aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang
memasuki suatu tempat untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Dari
definisi itu, jelas dapat menunjukkan bahwa blusukan bertujuan untuk
berkelana masuk sana masuk sini, sekadar untuk mengenal suatu keadaan dan
kondisi suatu tempat secara alami atau secara kultural. Yang menarik, mengapa
istilah ini menjadi begitu populer, padahal sebenarnya Jokowi bukan merupakan
yang pertama melakukan kegiatan ini.
Seorang
Presiden Soeharto pada masa kepemimpinannya juga sering mengunjungi
masyarakatnya dan menggagas sebuah acara bernama kelompencapir (kelompok
pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang bertujuan menampilkan para petani dan
nelayan yang berprestasi untuk dapat berbagi ilmunya, sekaligus mengukur ilmu
yang telah dimilikinya.
Selanjutnya,
presiden-presiden lain juga melakukan acara-acara kunjungan kerja untuk
melihat langsung potret masyarakat yang ada walaupun namanya bukan blusukan .
Blusukan menjadi sebuah fenomena baru, karena salah satunya disebabkan rasa
rindu masyarakat untuk dapat berdialog dengan pemimpinnya.
Sehingga
manakala ada pemimpin seperti Jokowi yang mau turun dan menyapa rakyatnya,
maka serta-merta sosok ini seolah-olah dianggap sebagai pemimpin yang langka
di mata masyarakat.
Hal
tersebut jelas sungguh ironis, benarkah presiden kita harus selalu
berperilaku seperti itu. Rasanya tidak, hanya pada saat seseorang sudah
ditetapkan menjadi pemimpin apalagi pemimpin negara (RI-1) maka ia harus
mendapatkan perlindungan ketat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
seluruh dunia.
Bisa
kita lihat presiden Amerika Serikat pada saat berkunjung ke Indonesia, maka
standar pengamanan yang digunakan adalah standar pengamanan yang ditetapkan
oleh undang-undang di Amerika Serikat. Ketatnya pengawalan itu kerap memang
membatasi ruang gerak dari seorang pemimpin negara untuk dapat berinteraksi
langsung dengan rakyatnya.
Sehingga
untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatlah sebuah sistem kepemimpinan yang
terdiri dari gubernur, wali kotabupati, camat, lurah, ketua RWRT sebagai
perwakilan dari pemimpin negara untuk dapat berinteraksi dengan warganya
sekaligus menampung keluhan-keluhan yang ada di masyarakat. Sistem inilah
yang sebenarnya belum disadari betul oleh masyarakat kita dan mungkin juga
para pemimpin daerah yang dipilih oleh rakyat juga belum memahami apa yang
menjadi tugas dari seorang pemimpin daerah.
Kebanyakan
pemimpin daerah menganggap dirinya adalah raja kecil di daerah yang kerap
kali sulit ditemui di daerahnya karena sibuk berkeliaran di Jakarta. Kondisi
ini guncang saat muncul pemimpin daerah yang memahami fungsinya untuk
mengetahui kondisi rakyat secara langsung, seperti Jokowi dan Ridwan Kamil.
Rakyat pun terbius dan menganggap bahwa orang yang melakukan blusukan adalah
orang yang sanggup menjadi pemimpin negara dan bahkan sanggup menjadi
nabi.
Kembali
pada definisi di atas, bahwa blusukan bertujuan sekadar mengenal daerah atau
permasalahan yang ada di suatu tempat. Ini merupakan langkah yang pada teori
manajemen strategis disebut audit eksternal. Ini merupakan langkah pembuka
dari pembuatan perencanaan strategis.
Hanya,
melakukan audit eksternal ini jelas tidak mungkin dilakukan dengan blusukan
seorang pemimpin negara saja tanpa dibantu oleh jajarannya, karena Indonesia
sedemikian luas. Luas Indonesia mencapai 1.913.578,68 km2 yang terbagi dalam
34 provinsi, 412 kabupaten (tidak termasuk 1 kabupaten administratif di
Jakarta), 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif di Jakarta), 6.994
kecamatan, 8.309 kelurahan, serta 72.944 desa.
Jelas
pula tidak mungkin diblusuki satu demi satu selama masa kepemimpinan lima
tahun tersebut. Padahal, menjadi pemimpin negara seperti Indonesia ini harus
melakukan banyak sekali pekerjaan, karena sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku maka presiden di Indonesia merupakan kepala negara merangkap
kepala pemerintahan.
Sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan, sudah seharusnya presiden itu harus
menjalankan tugas berupa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sesuai dengan Pembukaan
UUD 1945.
Untuk
menjalankan itu semua, presiden harus membuat perencanaan program pembangunan
negara, melaksanakan pembangunan negara dan mengevaluasi pembangunan negara
untuk setiap tahunnya. Untuk menjalankan tugas berat tersebut, rasanya
blusukan bukan jawaban, melainkan bagaimana seorang presiden dapat
menjalankan sistem dengan baik, sesuai dengan peraturan perundangan yang ada
dan juga berani bertanggung jawab atas segala kebijakan yang telah dibuatnya.
Perlu
menggabungkan ide blusukan dengan
sistem birokrasi yang ada di Indonesia dan sebab itu hal yang perlu dilakukan
oleh presiden RI ke depan adalah menghindari blusukan secara pribadi.
Presiden harus memahami sistem birokrasi dan dengan ketegasannya mampu
memerintahkan seluruh kepala daerah dari tingkat provinsi sampai desa untuk
dapat melakukan blusukan berjamaah guna dapat mengetahui permasalahan dan
kebutuhan sesungguhnya dari rakyat, sekaligus mengontrol pencapaian rencana
pembangunan tersebut.
Apalagi
sekarang ini, setelah UU No 6 Tahun 2014 mengenai desa diterbitkan, program
penyaluran anggaran Rp1 miliar per desa harus jelas pada program- program
yang memang dibutuhkan oleh masyarakat.
Karena
itu, blusukan berjamaah di bawah
presiden yang berwawasan serta mampu menangani sistem besar yang harus
menjadi tren gaya kepemimpinan ke depan untuk membawa Indonesia yang lebih
baik, bukan blusukan sendirian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar