Ekonomi
Perikanan dan Kesejahteraan Nelayan
Suhana ;
Peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban
Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 26 Mei 2014
Pembangunan
ekonomi perikanan dalam masa terakhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid II memberikan catatan buruk bagi kesejahteraan nelayan. Kesejahteraan
nelayan terus menurun dalam lima tahun terakhir. Bbahkan yang terjadi dalam
triwulan I/2014, kesejahteraan nelayan berada di titik terendah.
Padahal,
pertumbuhan ekonomi perikanan cenderung meningkat. Hal ini pun memperkuat
dugaan publik selama ini, bahwa program bantuan 1000 kapal di atas 30 GT
tidak berdampak ke peningkatan kesejahteraan nelayan.
Data
Badan Pusat Statistik (2014) menunjukkan, pada periode 2005-2013, pertumbuhan
ekonomi perikanan berkisar 5,07-6,96 persen. Sementara itu berdasarkan data
nota keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014
terlihat, ekonomi nasional dalam periode 2004-2008 rata-rata tumbuh 5,9
persen per tahun. Dengan demikian terlihat, sektor perikanan memiliki
pertumbuhan di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Produksi
perikanan juga memperlihatkan peningkatan serupa. Data FAO (2014) menunjukkan,
pada periode 2000-2012, pertumbuhan produksi perikanan mencapai 9,34 persen
per tahun. Dalam periode tersebut pertumbuhan perikanan budi daya tercatat
mencapai 20,59 persen per tahun dan perikanan tangkap hanya 2,93 persen per
tahun.
Total
produksi perikanan pada 2000 mencapai 5,12 juta ton, terdiri atas 4,12 juta
ton perikanan tangkap dan 882.99.000 ton perikanan budi daya.
Namun
demikian pada 2012, produksi perikanan meningkat tajam menjadi 15,42 juta ton
per tahun, terdiri atas 5,822 juta ton produksi perikanan tangkap dan 9,60
juta ton produksi perikanan budi daya.
Demikian
juga dengan perkembangan perdagangan ikan dan produk perikanan. Data
UN-Comtrade (2014) menunjukkan, dalam kurun 1996-2013, neraca perdagangan
ikan dan produk perikanan Indonesia cenderung terus meningkat, walaupun dalam
beberapa tahun terjadi penurunan yang cukup tinggi.
Data
UN-Comtrade (2014) menunjukkan pula, neraca perdagangan ikan dan produk
perikanan pada 1996 mencapai US$ 1,57 miliar. Sementara itu, pada 2013 meningkat
menjadi US$ 2,64 miliar.
Berdasarkan
data yang sama, terlihat penurunan tertinggi neraca perdagangan ikan dan
produk perikanan terjadi pada 2009. Penurunan tersebut terjadi seiring
meningkat tajamnya nilai impor ikan dan produk perikanan Indonesia. Sementara
itu, nilai ekspor turun. Nilai impor ikan dan produk perikanan pada 2009
mencapai US$ 148,96 juta dan nilai ekspor US$ 1,71 miliar.
Berdasarkan
perkembangan nilai terlihat, neraca perdagangan ikan dan produk perikanan
dalam periode 1996-2013 rata-rata tumbuh 3,52 persen per tahun. Pertumbuhan
tertinggi terjadi pada 2011 dan 2012, yaitu 21,52 persen per tahun dan 16,30
persen per tahun. Sementara itu, pertumbuhan terendah terjadi pada 2009,
mencapai negatif 16,12 persen per tahun. Pertumbuhan negatif tersebut diduga
disebabkan meningkatnya nilai impor ikan, khususnya yang berasal dari
Tiongkok.
Kesejahteraan Turun
Meningkatnya
pertumbuhan ekonomi perikanan, pertumbuhan produksi perikanan, dan neraca
perdagangan ikan nasional ternyata belum berdampak terhadap peningkatan
kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan. Bahkan dalam lima tahun
terakhir, kondisi kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan cenderung
turun.
Data BPS
(2014) menunjukkan, rata-rata nilai tukar nelayan pada 2009 mencapai 105,69
dan pada 2013 turun menjadi 104,98. Sementara itu pada 2014 (per bulan
April), rata-rata nilai tukar nelayan turun menjadi 102,49. Bahkan dalam
Januari-April 2014, kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan periode bulan
yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini
memperlihatkan, pertumbuhan ekonomi perikanan, pertumbuhan produksi
perikanan, dan neraca perdagangan ikan nasional lebih banyak dinikmati para
pemodal besar dan asing.
Berdasarkan
catatan yang penulis miliki, peningkatan investasi asing di sektor perikanan
sudah terjadi sejak awal 2006. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM
2014) menunjukkan, investasi asing (PMA) pada 2006 mencapai 99,94 persen,
sedangkan penanaman modal dalam negeri hanya mencapai 0,06 persen.
Peningkatan PMA tersebut mencapai puncaknya pada 2008.
Data
BPKM memaparkan, investasi sektor perikanan pada tahun tersebut 100 persen
PMA. Namun demikian, memasuki 2009, investasi asing turun menjadi 67,37
persen, sedangkan investasi dalam negeri (PMDN) meningkat menjadi 32,63
persen.
Peningkatan
peran PMDN tersebut tidak terlepas dari desakan publik kepada pemerintah
untuk membatasi kepentingan asing di sektor perikanan. Puncaknya ketika
menteri kelautan dan perikanan mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan (Permen KP) No 5/2008 tentang Izin Usaha Perikanan Tangkap,
dipertegas kembali dengan disahkannya revisi Undang-Undang (UU) No 31/2004
tentang
Perikanan
menjadi UU No 45/2009 tentang Perikanan, pada masa akhir periode Pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan DPR periode 2004-2009.
Pada
kedua peraturan tersebut, kepentingan asing di sektor perikanan sangat diperketat.
Peraturan itu juga lebih mendorong keterlibatan nelayan, pembudi daya ikan,
investor dalam negeri, dan pengusaha ikan nasional.
Namun
demikian, tahun 2010, persentase PMA kembali meningkat seiring tidak
konsistennya kebijakan menteri kelautan dan perikanan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II, yang kembali memasukkan kepentingan asing di sektor
perikanan.
Berdasarkan
hal tersebut, di akhir masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II
ini, menteri kelautan dan perikanan perlu memperkuat kebijakan-kebijakan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudi daya ikan nasional.
Selain itu, penguatan penyuluh perikanan sangat mendesak dilakukan dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para penyuluhlah yang ada di
garis paling depan dalam membina para nelayan dan pembudi daya ikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar